”Aha, ternyata engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah! Dan kulihat engkau juga tidak malas dan cekatan!” kakek itu memuji setelah mereka duduk berhadapan lagi. “Engkau pantas kuberi upah beberapa teguk arak. Nah, minumlah!” Dia menyodorkan sebuah guci arak. Tanpa sungkan lagi Goan Ciang menerimanya, membuka tutup guci dan dia terkejut mencium bau arak yang amat sedap, arak yang jelas bukan arak murahan! Diapun mendekatkan guci ke bibirnya, dan minum beberapa teguk. Benar dugaannya.
“Wah, arakmu hebat, kek! Sedap dan enak sekali!”
“Heh-heh-heh, tentu saja. Arak ini mengandung jin-som dan rendaman janin kijang hanya menjadi minuman kaisar di istana, ha-ha!”
Goan Ciang terkejut. Dia pernah mendengar tentang arak yang dicampur jin-som dan rendaman janin kijang yang merupakan minuman yang selain lezat juga amat baik untuk kesehatan. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang jembel tua bisa mendapatkan minuman yang takkan terbeli oleh seorang hartawan sekalipun?
“Engkau sudah makan?” tiba-tiba kakek itu bertanya dan wajah Goan Ciang berubah kemerahan. Sejak kemarin dia belum makan! Diapun menggeleng kepalanya.
“Sejak kemarin siang aku belum makan, kek,” katanya.
Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, lalu dia memandang ke atas dan suara ketawanya memecahkan kesunyian malam, bergelak. Diam-diam Goan Ciang mendongkol, akan tetapi dia mulai memperhatikan kakek itu karena merasa bahwa sikap jembel tua yang biasanya lemah dan selalu hendak menarik perhatian dan iba hati orang lain. Kakek itu usianya sudah enam puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus rambutnya itu panjang putih tiap-tiapnya dibiarkan bergantung di punggung dan kedua pundak, juga kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Sepasang matanya agak sipit, akan tetapi amat tajam dan kadang mencorong penuh wibawa, akan tetapi wajahnya ramah dan mulutnya selalu dibayng senyum sabar. Sikapnya lincah dan jenaka, ramah. Pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih, jelas sering dicuci. Bukan pengemis sembarangan, pikir Goan Ciang.
“Ha-ha-ha, aku suka sekali engkau seorang laki-laki yang jujur! Kalau begitu, kebetulan akupun belum makan malam dan aku masih mempunyai bekal roti kering dan daging dendeng yang cukup untuk kita berdua. Mari makan bersamaku orang muda.”
“Aku memang lapar dan akan senang sekali makan bekalmu, kek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak dan malu. Aku seorang pemuda bagaimana mungkin aku harus menyusahkan dan mengganggu seorang tua sepertimu?”
Kakek itu tertawa lagi, “Heh-heh-heh siapa mengganggu siapa? Heh-heh, kalau begitu, ketika aku mengambil makanan dan minuman ini dari orang lain, akupun mengganggu mereka?
Tidak sama sekali. Marilah, orang muda. Kita makan dulu baru nanti mengobrol melewatkan malam. Kalau sudah makan, perut hangat dan semangat menjadi kuat!”
Goan Ciang memang lapar. Ketika kakek itu mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan, dia melihat roti dan daging yang memang cukup banyak untuk mereka berdua, maka dengan hati lega diapun ikut makan.
Dan dia mendapat kenyataan bahwa seperti juga mutu arak tadi, roti dan dendeng yang dimakannya bukan merupakan makanan murah, apa lagi hanya sisa. Jelas bahwa roti dan dendeng itu bukan hasil mengemis, melainkan merupakan makanan orang mewah, lezat dan tentu mahal harganya. Karena mereka makan dengan lahap, dan keduanya merasa kenyang, dan sehabis makan, mereka minum arak dari guci itu, bergantian karena di situ tidak terdapat cawan untuk minum.
Setelah selesai makan, Goan Ciang menambah kayu pada api unggun, lalu mereka berdua duduk saling berhadapan di lantai yang tertutup jerami. Angin malam semilir lembut membuat api anggun menari-nari.
“Orang muda, siapa namamu? Dari mana kau datang dan hendak ke mana?” Dia memandang pedang yang tadi oleh Goan Ciang dikeluarkan dan diletakkan di atas lantai. “Dan untuk apa engkau membawa-bawa pedang tanpa sarung itu?” Pedang itu memang hanya dibuntal kain butut oleh Goan Ciang dan selalu dia selipkan di pinggang, disembunyikan di balik bajunya. “Kalau ada perajurit keamanan melihatmu, tentu engkau akan ditangkap karena membawa pedang ini.”
Goan Ciang menarik napas panjang. Dia seorang pelarian, seorang buruan. Tidak perlu mencari penyakit dengan memperkenalkan nama lengkapnya, akan tetapi diapun tidak tega untuk membohongi kakek yang telah begitu baik membagi makan malamnya dengan dia.
“Kek, namaku. biasa orang memanggilku Siauw Cu (Cu Kecil) dan aku datang ah, terus
terang saja aku hana bisa bilang bahwa aku datang dari belakang dan ingin pergi ke depan!” Melihat kakek itu tertawa, dia cepat menyambung, “Aku, tidak mempermainkanmu, kek.
Memang aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai tujuan perjalanan. Pedang ini adalah kawanku satu-satunya, untuk membela diri kalau diserang orang jahat.”
“Hemm, namamu Siauw Cu dan engkau hidup sebatang kara di dunia ini, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki tujuan. Engkau jelas bukan anggota kaipang (perkumpulan pengemis) walaupun pakaianmu tambal-tambal. Aku yakin engkau tidak pernah mengemis.”
“Mengemis? Ihh, aku tidak sudi mengemis, kakek yang baik. Mengemis adalah pekerjaan yang hina!”
“Ha-ha-ha, jangan katakan bahwa engkau mencari nafkah dengan bekerja? Apa sih pekerjaanmu?”
Siauw Cu menggeleng kepalanya. “Aku memang tidak bekerja, kek, aku menganggur dan aku menyusahkan hatiku.”
“Engkau tidak bkerja, dan mengemis tidak sudi, Lalu apa yang kaumakan setiap hari? Mencuri?”
“Lebih baik mencuri daripada mengemis!”
“Heh-heh-heh, itu kan alasan seorang pencuri. Kalau seorang pengemis tentu akan mengatakan bahwa mengemis lebih baik daripada mencuri. Apa salahnya mengemis makanan kalau kita lapar dan tidak mampu membeli? Setidaknya, mengemis berarti mengetuk hati nurani manusia lain agar menaruh iba kepada sesamanya.”
“Akan tetapi, sekali mengemis akan membuat orang menjadi malas bekerja dan hanya mengandalkan pemberian orang saja, bahkan dia lalu mengemis bukan untuk keperluan makan, melainkan untuk mengumpulkan harta.”
“Heh-heh-heh, yang demikian bukan pengemis namanya, melainkan penipu. Sudahlah, jangan bicara tentang pengemis, kalau mereka tersinggung, semua penghuni kuil ini akan keluar dan memaki atau mengeroyokmu. Aku ingin bertanya, kenapa engkau tadi menghela napas dan mengeluh panjang pendek? Engkau kelihatan seperti orang yang bersusah hati. Kenapa?”
Goan Ciang termenung. Sejak kecil, dia memang lebih banyak mengenal susah daripada senang. “Siapa yang takkan susah hatinya melihat semua penderitaan yang mewarnai kehidupan manusia ini, kek? Di mana-mana aku melihat kesengsaraan manusia!”
“Heh-heh-heh, maksudmu kemiskinan dan penyakit, usia tua dan kematian?” “Bukan itu saja, juga kekecewaan-kekecewaan, harapan-harapan hampa, keputusasaan. Aku sendiri sejak kecil belum pernah menikmati kebahagiaan. Yang kukenal hanya penderitaan, duka nestapa, kekecewaan, dan kesusahan belaka. Apakah memang kehidupan ini berarti penderitaan dan kesusahan, kek?”
“Heii, orang muda. Jawab terus terang, apakah engkau pernah merasakan apa yang dinamakan kesenangan itu? Pernahkah engkau senang sejak kecil sampai sekarang?”
“Kalau itu tentu saja pernah, kek. Akan tetapi, kesenangan sekelumit yang disusul kesusahan segunung.”
“Heh-heh-heh, itulah sebabnya! Karena engkau pernah merasakan senang, maka engkau merasakan susah. Coba andaikata engkau selama hidupmu belum pernah merasakan senang, tidak mengenal senang, aku yakin engkau tidak pula mengenal susah. Mengejar kesenangan sama dengan mengejar kesusahan. Coba pikir, engkau tadi makan minum bersamaku, senang atau tidak?”
“Ya, tentu. senang, kek.”