Terhadap Khabuli dan mengingat bahwa Khabuli adalah seorang panglima Mongol, maka kebenciannya terhadap permerintah Mongol yang menjajah semakin berkobar.
Tiba-tiba dia bangkit duduk, seluruh sendi tubuhnya menegang. Terdengar suara banyak orang menuju ke gua itu! Siapa lagi kalau bukan para pengejarnya? Tentu para anggota Jang- kiang-pang yang terus mengejar. Dia lalu menyingkap semak-semak, mengintai keluar.
Nampak sedikitnya dua puluh orang mendaki lereng itu dan dia terbelalak ketika melihat bahwa di antara orang-orang Jang-kiang-pang terdapat pula beberapa orang yang berpakaian seragam. Perwira-perwira pasukan pemerintah. Hemm, kiranya orang-orang Jang-kiang-pang sudah minta bantuan pasukan pemerintah, pikirnya geram. Apakah Khabuli berada di antara mereka? Kalau benar demikian, dia akan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membunuh panglima itu! Dengan pedang rampasan di tangannya yang masih berlumuran darah dan berbau amis, dia siap menanti mereka. Dia tahu bahwa dia meninggalkan jejak, dan orang-orang itu akhirnya tentu akan sampai di gua. Kalau mereka sampai tiba di dalam gua itu, tentu saja dia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan leluasa. Tempat itu terlampau sempit dan dia akan terhimpit. Dia melupakan rasa nyeri di pundak dan pahanya, melupakan tubuhnya yang sudah lemah. Melihat para perwira itu, seperti bangkit semangatnya karena dia harus membunuh Khabuli! Membayangkan betapa semalam Khabuli mempermainkan dan menghina tubuh dan kehormatan kekasihnya, kebenciannya memuncak dan melihat serombongan pengejarnya itu tiba di tempat terbuka yang datar, diapun meloncat keluar dan dengan pekik dahsyat seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang mereka, terutama kepada mereka yang berpakaian perwira.
“Hyaaaaatttt !!” Pedang di tangannya menyambar-nyambar ganas dan biarpun pasukan itu
segera mengeroyoknya, namun dua orang di antara mereka roboh terkena sabetan pedang. Bagaikan seekor harimau atau seekor rajawali terluka, Goan Ciang mengamuk dengan pedangnya. Dia sudah lupa akan keadaan dirinya, yang hidup pada saat itu hanyalah semangatnya untuk melawan, mengamuk dan membunuh musuh yang dibencinya. Ditambah lagi dia memainkan ilmu yang dia andalkan, yaitu Sin-tiauw-ciang-hoat, maka gerakannya bagaikan seekor rajawali yang menyambar-nyambar menyebar maut. Akan tetapi karena pihak pengeroyok cukup banyak dan di antara mereka terdapat banyak perwira yang tangguh, maka biarpun Goan Ciang berhasil merobohkan sedikitnya sepuluh orang, dia sendiri menderita luka-luka di seluruh tubuhnya. Hanya keadaan tubuhnya yang kuat itu saja yang membuat dia mampu menerima luka-luka itu dengan pengerahan tenaga sehingga tidak ada luka yang cukup parah untuk merobohkannya. Namun, dia merasa semakin lemah karena banyak darah keluar, maka akhirnya terpaksa dia melarikan diri.
”Kejar!” “Tangkap!” “Bunuh. !!”
Pasukan pemerintah dan orang-orang Jang-kiang-pang melakukan pengejaran dengan penasaran dan marah sekali karena banyak kawan mereka yang tewas atau terluka oleh amukan pemuda buronan itu. Mereka mengambil keputusan untuk mengejar sampai berhasil menangkap pemuda itu, bahkan perwiranya lalu minta bala bantuan dan menyebar pasukan untuk terus melakukan pencarian.
Sambil menahan rasa nyeri dan mengerahkan semua sisa tenaganya, Goan Ciang berhasil meloloskan diri dari pada pengejarnya dan dapat menumpang sebuah perahu nelayan melanjutkan pelariannya dengan perahu yang sedang mencari ikan di tepi sungai Yang-ce.
Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang sedang mencoba peruntungannya menangkap ikan dengan jala. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan perahunya terguncang. Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, pakaiannya robek-robek berdarah, tangan kanan memegang sebatang pedang yang juga berlumur darah, dari darat sejauh kurang lebih sepuluh meter telah meloncat ke atas perahunya!”
“Heiii...siapa...kenapa ” Nelayan itu berseru sambil menoleh dan terbelalak, mukanya
kemerahan dan dia marah, juga takut.
“Ssttt, paman. Aku tidak akan mengganggumu, akan tetapi tolonglah aku. Aku dikejar-kejar pasukan, aku harus menggunakan perahumu ini untuk melarikan diri.” Tanpa banyak cakap lagi Goan Ciang mengangkat jangkar perahu, lalu mendayung perahu itu mengikuti arus dengan cepat ke tengah sungai. Nelayan itu terpaksa menarik jalannya.
“Siapakah engkau? Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menumpuk jala di perahu dan duduk memandang penuh perhatian.
“Nanti saja kuceritakan, sekarang bantulah aku melarikan diri, paman. Kalau paman menolak, aku tidak segan untuk menggunakan pedang ini yang telah membunuh banyak perajurit pasukan pemerintah.
Nelayan itu memang tidak perlu diancam lagi. Dia seorang nelayan sederhana yang tentu saja tidak ingin terlibat, akan tetapi melihat pemuda itu meloncat ke perahunya dan membawa pedang berlumur darah, dia sudah ketakutan. Diapun mengambil dayung kedua dan membantu pemuda itu mendayung perahu dengan cepatnya mengikuti aliran air sungai Yang- ce menuju ke timur.
Demikianlah, Cu Goan Ciang berhasil lolos dari pengejaran pasukan. Setelah dia mengaku kepada nelayan itu bahwa dia yang pernah menggegerkan bandar sungai Wu-han membela para pekerja kasar, nelayan itu tentu saja menghormatinya dan atas bantuan nelayan itu, Goan Ciang berhasil membeli obat-obat untuk luka-luka di tubuhnya, membeli pula pakaian kasar beberapa stel untuk mengganti pakaian pengantin yang masih menempel di tubuhnya, pakaian pengantin yang robek-robek oleh senjata para pengeroyok dan bernoda darah.
Setelah meninggalkan perahu dan nelayan itu di tempat yang jauh sekali dari Wu-han, dia melanjutkan perjalanannya melalui darat, berjalan kaki dan karena dia harus selalu hati-hati, bersembunyi dan tidak berani memperkenalkan diri, maka dia hidup sengsara sekali sebagai seorang buronan. Bahkan di mana dia melihat gambarnya ditempel di dalam kota dan dusun, dengan pengumuman bahwa dia adalah seorang penjahat dan pemberontak yang dicari-cari pasukan! Hal ini membuat dia semakin tidak leluasa bergerak. Kalau hanya dusun-dusun kecil dan dia lebih sering melanjutkan perjalanan di waktu malam. Dia tidak mungkin dapat bekerja untuk biaya hidupnya. Bekal uangnya sudah habis dan pakaiannya sudah tinggal menempel di tubuhnya. Itupun sudah penuh tambalan. Cu Goan Ciang terlunta-lunta dan kalau orang seorang bertemu dengan dia, tentu menganggap dia seorang jembel yang terlantar.
Pada suatu senja dia tiba di luar kota Nan-king. Kota yang besar, merupakan kota ke dua setelah kota raja Pe-king. Kota tua yang pernah menjadi kota raja. Biarpun keadaannya sudah seperti jembel dan mukanya penuh ditumbuhi brewok sehingga keadaannya berbeda sekali dengan gambar yang ditempel di dinding kota-kota besar, namun Goan Ciang tetap tidak mau memasuki kota Nan-king di waktu senja itu. Biasanya pintu gerbang kota lebih diteliti oleh para penjaga setelah hari mulai gelap.
Dengan perut perih karena lapar, tubuh dingin karena udara menjelang malam itu dingin dengan angin dari timur, tubuh lelah walaupun kini luka-lukanya telah sembuh semua. Goan Ciang memasuki sebuah kuil kosong yang berdiri terpencil di bukit kecil, sebelah kiri jalan raya yang memasuki pintu gerbang kota Nan-king. Melihat kuil itu berdiri terpencil dan ada jalan setapak menuju ke sana, diapun mendatangi kuil itu. Melihat bahwa kuil itu adalah kuil tua yang kosong dan tidak dipergunakan lagi, dia lalu memasukinya mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat itu.
Akan tetapi, biarpun dari luar nampak sudah kosong, setelah dia masuk ke dalam kuil yang besar namun keadaannya rusak dan kosong itu, di sebelah dalamnya sama sekali tidak kosong atau sepi. Banyak sekali orang di dalam kuil itu, para pengemis atau jembel yang semuanya memang mempergunakan tempat itu sebagai tempat bermalam mereka! Mereka tentulah para pengemis yang setiap hari berkeliaran di kota Nam-king, bekerja dengan cara meminta-minta, kemudian setelah matahari condong ke barat, mereka keluar kota dan melewati malam di tempat ini. Kuil ini merupakan sarang atau istana, hotel tanpa bayar bagi para pengemis!
Akan tetapi, agaknya para pengemis itu telah menjadi penghuni tetap di kuil itu, walaupun hanya penghuni malam karena kalau siang, tempat itu kosong sama sekali. Maka, begitu melihat ada seorang asing memasuki kuil, sedikitnya tiga puluh pasang mata mengikuti
gerak-gerik Goan Ciang dengan penuh perhatian dan kecurigaan, Tak seorangpun dari mereka rela kalau ada sudut yang telah menjadi tempat tinggal mereka terganggu orang asing. Mereka seperti sekumpulan binatang yang menjaga kandang masing-masing, kalau perlu dengan perkelahian!
Melihat betapa kuil itu, dari ruangan paling luar sampai paling belakang sudah ditempati orang sehingga sukar mencari tempat untuk melewatkan malam itu. Goan Ciang menjadi bingung juga. Apalagi tempat itu berbau apek dan lembab. Dia keluar lagi dan berdiri bengong di luar kuil. Haruskah malam ini dia berada di tempat terbuka, diterpa angin dan disiksa dingin dan kelaparan? Dia menengadah dan melihat betapa langit yang mulai gelap itu indah, bintang-bintang mulai nampak dengan sinar yang masih lemah disilaukan sinar matahari yang mulai mengundurkan diri. Langit cerah tiada awan. Dia menghela napas panjang. Langit demikian bersih dan damai, betapa jauh bedanya dengan keadaan di permukaan bumi yang kotor dan penuh penderitaan.
Dan di antara bintang-bintang yang mulai bermain mata dengannya, dia melihat sepasang mata Lee Siang! Dan nampak pula garis bentuk wajah gadis itu, kekasihnya, satu-satunya wanita yang pernah dikasihinya. Cantik, manis sederhana, gagah perkasa dan lembut.
“Lee Siang....moi-moi ” dia mengeluh penuh duka, teringat akan tubuh setengah telanjang
yang rebah dengan dada yang tertembus pedang. Dia meraba pedang yang disembunyikan di balik bajunya. Dia tidak akan berpisah dari pedang itu. Betapapun menyakitkan perasaan, namun pedang itulah satu-satunya benda terakhir yang pernah dekat dengan Lee Siang, teramat dekat karena pedang itu telah memasuki dada kekasihnya dan menembus jantungnya! Dan pedang itu pula yang telah dia pergunakan untuk membalaskan dendam kematian Lee Siang, membuntungi tangan Jang-kiang Sian-li Liu Bi, dan membunuh entah berapa banyaknya orang-orang yang mengeroyok dan hendak menangkap atau membunuhnya. “Siang-moi..” kembali dia mengeluh.
“Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya. “Ha-ha-ha-ha, seorang laki-laki pantang menghela napas dan mengeluh! Itu hanya sikap seorang yang lemah dan cengeng!”
Goan Ciang terkejut dan membalikkan tubuh, siap siaga menghadapi lawan. Akan tetapi dia tidak melihat ada orang yang hendak menyerangnya, hanya nampak seorang pengemis tua duduk di sana, bersandar dinding depan kuil, beralaskan jerami, duduk dengan santai dan memandangnya dengan sinar mata yang tajam dan mulut di balik kumis yang tersenyum mengejek.
Goan Ciang menghampiri kakek itu. Hanya seorang saja yang duduk di bagian luar kuil, yang terbuka dan tidak terlindung sama sekali. Kalau hujan akan kehujanan kalau angin bertiup akan kedinginan. Akan tetapi, setidaknya tempat itu tidak berbau apek dan hawanya segar dan bersih.
“Kakek yang baik, aku tidak mengeluh karena diri sendiri, melainkan karena mengingat keadaan orang-orang lain. Demikian banyaknya penderitaan kulihat di dunia ini.”
Kembali kakek itu tertawa, “Ha-ha-ha, kulihat engkau tadi masuk lalu keluar lagi. Tidak mendapatkan bagian tempat duduk atau tidur? Sama dengan aku. Nah, duduklah di sini, orang muda, kita dapat mengobrol dengan asyik!”
Goan Ciang tersenyum, mengangguk, lalu diapun duduk bersila di depan kakek itu. “Bagaimana kalau aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, kek?”
“Heh-heh, bagus sekali kalau begitu!”
Goan Ciang bangkit lalu keluar dari pekarangan kuil, mengumpulkan kayu kering. Setelah meraih cukup, dia kembali ke ruangan depan kuil itu dan segera membuat api unggun kecil yang ternyata menyenangkan mereka berdua. Selain api itu dapat mendatangkan kehangatan, mengusir nyamuk, juga mereka kini dapat saling pandang dengan cukup jelas.