Tao Heng Kan meluncurkan pedang demikian cepat. Belum lagi pikiran I Giok Hong habis, dadanya sudah terasa nyeri. Ternyata pedang itu sudah menghunjam ke dalam. Mata I Giok Hong habis, dadanya sudah terasa nyeri. Ternyata pedang itu sudah menghunjam ke dalam. Mata I Giok Hong menjadi gelap seketika. Dia merasa tubuhnya seperti selembar kertas yang melayang tertiup angin. Telinganya masih sempat mendengar orang itu tertawa dengan terkekeh kemudian berkata, "Mari kita pergi!"
I Giok Hong mendengar desir angin yang semakin lama semakin menjauh. Lalu tidak terde-ngar lagi, karena orangnya sendiri sudah terkulai pingsan di atas tanah.
***
Entah berapa lama sudah berlalu. Lambat laun kesadarannya tergugah kembali. Ketika dia mem-buka matanya, tampak matahari sudah di ufuk barat. Hari sudah menjelang senja. Sebentar lagi malam akan merayap. I Giok Hong membiarkan matanya terpejam beberapa saat.
I Giok Hong membuka matanya kembali dan menatap ke sekelilingnya. Tampak bebatuan dan rerumputan di sekitarnya penuh dengan percikan darahnya. Tapi yang paling banyak nodanya justru pakaiannya yang putih. Bahkan hampir seiuruhnya terpercik darahnya sendiri.
Mendapatkan dirinya masih belum mati, I Giok Hong justru merasa keheranan. la ingin memak-sakan dirinya untuk bangkit dan duduk. Tetapi baru saja bergerak sedikit, telinganya sudah mendengar seseorang berkata, "Sio cia, jangan bergerak!"
I Giok Hong sudah lama tinggal bersama-sama dengan Seebun Jit di dalam lembah Gin Hua kok, tetapi selania itu dia belum pernah menemui sikap seperti sekarang ini. Tampak pinggangnya agak menekuk dan berdiri di samping I Giok Hong. Seandainya tidak ada golok yang dijadikan penyanggah, mungkin orang tua itu sudah terkulai jatuh sejak tadi.
I Giok Hong ingin menggerakkan mulutnya untuk berbicara, tetapi dia tidak mempunyai tenaga sedikit pun.
"Siocia, antara aku dan ayahmu terdapat permusuhan yang dalam. Dan sampai sekarang masih belum terselesaikan. Sekarang aku sedang menderita luka parah. Tetapi tampaknya luka yang kau derita justru lebih parah lagi. Seandainya pedang Tao Heng Kan tadi menusuk lebih dalam satu dua cun saja, tidak usah diragukan siocia sekarang pasti sudah terkapar menjadi mayat. Tetapi aku berniat menolongmu agar bisa hidup terus, asal kau bersedia mengabulkan permintaanku."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, suasana jadi hening esaat. I Giok Hong menatap ke atas langit. Tampak beberapa ekor elang sedang beter-bangan mengelilingi tempat itu. Tiba- tiba saja timbul rasa takut dalam hatinya. la takut menerima kenyataan dirinya akan mati. Lagi pula dia tidak rela dirinya yang masih demikian muda mati begitu saja. Dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk bertanya.
"Permintaan ... a ... pa?"
Seebun Jit maju selangkah kemudian menatap I Giok Hong lekat-lekat. I Giok Hong dapat melihat sinar mata Seebun Jit yang mengandung kekalutan hatinya. Seperti ada keinginan mebiarkan I Giok Hong mati cepat-cepat, tetapi juga ada keinginan membiarkan dia hidup terus agar permintaannya dapat terlaksana.
Beberapa saat kemudian, baru terdengar Seebun Jit menarik nafas panjang sambil mendo-ngakkan wajahnya menatap langit.
"Seebun Jit ... Seebun Jit ... Tidak disangka kau akan mengorbankan selembar jiwamu untuk menyelamatkan putri musuhmu sendiri. Tetapi selain ini, apakah masih ada car a lainnya?" tanya I Giok Hong.
I Giok Hong tahu, selania tinggal di dalam lembah Gin Hua kok, Seebun Jit setiap waktu mencari kesempatan untuk melampiaskan keben-cian hatinya kepada ayahnya ataupun dirinya. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, maka dari awal hingga akhir dia tidak pernah melakukan apa-apa. Ayahnya sendiri berkali-kali memperingatkan dirinya agar berhati-hati terhadap Seebun Jit. Ayahnya pernah mengatakan bahwa Seebun Jit adalah tokoh golongan hitam yang dulunya sangat terkenal. Meskipun di luarnya tampak dia patuh sekali kepada mereka ayah dan anak, tetapi sebetul-nya mereka memelihara musuh da lam selimut.
Justru karena ilmu kepandaian Seebun Jit mempunyai keistimewaan tersendiri dan cukup tinggi. Maka I Giok Hong pun tidak segan-segan memanggilnya 'paman'. Tentu saja Seebun Jit tidak akan mengajarkan ilmu kepandaiannya kepada I Giok Hong juga tidak akan belajar darinya. Tetapi terhadap kejadian yang aneh bagaimana pun dalam dunia bu lim, boleh dikatakan bahwa pengetahuan Seebun Jit sangat luas. Dia sering mengungkitnya di hadapan I Giok Hong. Karena itu, kalau ditilik dari luarnya, hubungan mereka baik- baik saja. Meskipun kenyataannya dalam hati masing-masing terdapat ganjalan yang tidak pernah diperlihatkan. Sampai saat ini Seebun Jit baru menyatakan isi hatinya secara terus terang.
I Giok Hong hanya memandang Seebun Jit lekat-lekat. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Sekali lagi Seebun Jit menarik nafas panjang.
"Siocia, aku ingin mengajukan sebuah permin-taan kepadamu. Tetapi apakah kau bersedia melaksanakannya?"
I Giok Hong tidak mengerti urusan apa yang dimaksud oleh Seebun Jit. Untuk sesaat dia tidak tahu harus menjawab apa. Wajah Seebun Jit tiba-tiba saja menjadi garang. Dia membentak dengan suara keras.
"Perempuan she I, apakah selembar nyawa Seebun Jit kurang berharga ditukar dengan sekali anggukan kepalamu?"
"Jit siok, katakan ... lah ... a ... pa ... per . . . minta . . . anmu!" kata I Giok Hong dengan susah payah.
"Seandainya kau bersedia melaksanakan permintaanku, maka aku akan mengoperkan darah yang ada dalam tubuhku ke dalam lukamu. Dengan demikian, bukan saja jiwamu akan tertolong, bah-kan tenaga dalammu akan bertambah. Kau jawab dulu, kau bersedia mengabulkan permintaanku atau tidak?"
Saat itu I Giok Hong merasa tubuhnya sudah terlalu lemah. Dirinya bagai ada di ambang kematian. Asal suara ucapan Seebun agak keras sedikit saja, telinganya terasa mendengung-dengung. Dengan susah payah dia baru berhasil menyimak apa yang dikatakan Seebun Jit.
Sampai Seebun Jit menyelesaikan kata-katanya, I Giok Hong baru menyadari lukanya ternyata demikian parah. Kalau tidak, mana mungkin Seebun Jit sudi mengorbankan dirinya untuk menolong I Giok Hong. Tentu saja dia tidak tahu bahwa watak Seebun Jit sangat keras, pen-diriannya kukuh sekali. Dia Sudan bertekad untuk membalaskan dendam penolongnya yakni tocu Hek cuito yang dibunuh oleh I Ki Hu. Tetapi Seebun Jit juga sadar bahwa ia tidak punya kesempatan lagi.Lukanya terlalu parah.
Seebun Jit mengerti satu hal. Walaupun lukanya dapat disembuhkan, kepandaiannya sudah menyusut terlalu banyak. sekarang saja dia bukan tandingan I Ki Hu. Apalagi setelah lukanya sembuh dan kepandiannya semakin menurun. Karena itulah dia bersedia menolong I Giok Hong agar cita-citanya yang belum tercapai semasa hidup dapat dilaksanakan oleh gadis itu. Juga demi keselamatan Lie Cun Ju. I Giok Hong merenung sejenak. Dia tahu, apabila tidak mengabulkan permintaan Seebun Jit, pasti dirinya akan mati. Permintaan apa pun yang diajukan orang itu, asal bukan mati, dia tidak akan menolaknya. Biarpun permohonan Seebun Jit itu mungkin suatu yang membahayakan jiwanya, se-tidaknya dia juga sudah memperoleh keuntungan.
I Giok Hong menggeretakkan giginya erat-erat. "Baik, Jit ... siok, aku ber ... se ... dia."
Seebun Jit menatapnya lekat-lekat.
"Aku tahu kalian ayah dan anak memang berhati keji dan tidak segan membunuh siapa saja. Tetapi aku juga tahu bahwa kalian mempunyai satu segi kebaikan, yakni selalu memegang janji. Namun, karena hal ini penting sekali bagiku, aku minta kau bersumpah!"
"Ka . . . lau . . . aku sam . . . pai . .. menya . . . lahi... jan .
. . ji, biarlah ... a ... ku mati . . . dengan ... pe ... dang menembus di. .. jan . . . tung."
Tampaknya Seebun Jit puas terhadap sumpah yang diucapkan gadis itu.
"Baik, dengarkan baik-baik permintaanku! Aku ingin kau mencari Lie Cun Ju sampai ketemu dan sampaikan padanya agar jangan melupakan apa yang pernah kukatakan kepadanya. Ilmu kepandaiannya tidak seberapa, kau juga hams melindunginya apabila dia sampai berhadapan de¬ngan musuh. Tidak perduli siapa pun musuhnya, pokoknya kau harus membantunya sekuat tenaga!"
I Giok Hong mendengarkan permintaan Seebun Jit dengan seksama. Setelah selesai, ia merasa per¬mintaan orang itu tidak terlalu sulit. Dengan kekuatan ayahnya dan dia sendiri, apahiia ingin melindungi seseorang yang tidak memiliki ilmu sama sekali pun, juga bukan ha! yang sulit. Dia tidak perlu turun tangan sendiri. Dengan lencana Gin leng hiat ciang, dia bisa memerintahkan tokoh mana pun untuk melakokan tugas itu.
"Apa masih ada yang Iain?" tanya I Giok Hong.
"Siocia, kau jangan menganggap permintaan ini terlalu ringan!"
"A . . . ku tahu!" sahut I Giok Hong.
Seebun Jit menarik nafas panjang. Kemudian dia mengangkat goloknya yang tadi dijadikan tongkat penyanggah tubuhnya.
"Siocia, aku mempunyai dua macam hadiah yang akan kuberikan kepadamu. Pertama, golok lemas ini. Yang satu lagi tempat tidur pusaka yang dinamakan Ban nian si ping. Kau harus merebahkan diri di atasnya selama satu kentungan. Tidak boleh sembarangan bergerak, satu kentungan ke¬mudian, kau boleh bangun. Tetapi satu kentungan lagi, kau harus kembali merebahkan diri di atasnya dan kali ini tidak boleh bergerak sefama tujuh hari tujuh malam. Di bagian atas tempat tidur itu aku meninggaikan sebuah kitab kecil yang berisi tujuh belas jurus terampuh yang pernah kupelajari. Senjatamu sendiri seutas pecut, tentu ilmu yang kau miliki jauh lebih hebat. Tetapi tujuh belas jurus yang kutulis itu merupakan kombinasi antara pecut dengan golok lemas ini, kau belum pernah mem-pelajarinya."
I Giok Hong mengunggukkan kepalanya. Tiba-tiba Seebun Jit mengangkat goloknya ke atas kemudian memotong urat nadi pergeiangan tangannya sendiri. Darah langsung mengucur dengan deras. Seebun Jit cepat-cepat membungkukkan tubuhnya lulu menempelkan pergeiangan tangan yang disayatnya tadi ke luka di dada I Giok Hong. Seebun Jit menekannya kuat-kuat. I Giok Hong merasa ds dalam tubuhnya ada darah hangat yang mengalir. Tidak lama kemudian, keadaannya sudah seperti sebelumnya. Matanya terasa ingin dipejamkan agar dapat tertidur dengan pulas. Seehun Jit sendiri sudah Terkulai di samping tubuh I Giok Hong. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya sudah dingin dan kaku. Ternyata Seebun Jit sudah mati kehabisan darah.
Udara lambat laun meajadi gelap. I Giok Hong tahu dirinya telah tertolong. Dia membiarkan tubuhnya oerbanng di atas tanah. Tanpa bergerak sedikit pun dia melewati .sepanjang malam.
Pada hari kedua, I Giok Hong merasa hawa murni di dalam tubuhnya sudah dapat diedarkan dengan lancar. Dia bangun dan beriatih ilmu. Sampai menjelang sore harinya, I Giok Hong baru menghentikan gerakannya. Cepat-cepat dia memanggul jenasah Seebun jit kemudian mencelat ke atas kudanya. Tidak lupa dia mengambil golok lemas yang dihadiahkan orang tua itu. Kemudian melesat ke arah lembah Gin Hua kok.