Begitu Tao Ling memperhatikan ternyata mulutnya masih menggigit kepala ular itu. Dengan gugup memuntahkannya, puih! Kepala ular yang sudah terputus itu termuntahkan keluar, tetapi bagian tubuh dan ekor ular itu masih menggeletak di lehernya.
Tao Ling merasa bagian lehernya agak gatal, tanpa sadar dia mengulurkan tangannya dan membuang tubuh ular itu jauh-jauh. Ketika ular itu sudah melayang jauh, dia baru tersentak sadar, hatinya gembira sekali, dengan nada parau dia berteriak, "Aku bisa bergerak!"
Sebelurn tertidur, Tao Ling telah berusaha sekuat tenaga untuk mendongakkan kepalanya karena ingin mencaplok kedua butir buah dewa tadi. Tetapi biar tenaganya sampai habis, dia tetap tidak sanggup menggigit buah itu. Padahal bagi orang lain hanya perlu memhungkukkan tubuhnya untuk memetik, namun hagi Tao Ling justru sulitnya hukan kepalang. Padahal saat ini, tanpa disengaja dia membuang bangkai ular tadi, ternyata dia sudah bisa bergerak seperti orang biasa. Bagaimana hatinya tidak menjadi senang. Cepat-cepat Tao Ling menumpu kedua tangannya di atas tanah kemudian bangun dan duduk. Dengan tanpa menguras tenaga, kemudian dia berdiri, perasaannya seperti orang yang baru bangun tidur. Apa yang dialaminya selama dua puluhan hari seperti sebuah mimpi buruk yang panjang.
Di lain pihak, apa yang dialaminya selama dua puluhan hari ini memang merupakan kenyataan. Tao Ling tidak ingin memikirkan hal-hal iainnya. Dia segera duduk bersila dan mencoba peredaran hawa murni da lam tubuhnya. Padahal bagi setiap pesilat asalkan latihan, hawa murni di dalam tubuh otomatis akan beredar sendiri. Tetapi kali ini meskipun Tao Ling telah mengosongkan pikiran dan memusatkan perhatian, namun dia tidak merasakan apa-apa. Persis orang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Rasanya hawa murni di dalam tubuhnya terlalu meluap sehingga bergerak dengan kacau tanpa bisa dihimpun.
Ilmu kepandaian Tao Ling pada dasarnya belum tinggi. Dia juga tidak tahu apakah yang dirasakannya ini merupakan bencana atau keberuntungan, yang paling penting dia sudah bisa bergerak. Cepat-cepat dia mencabut sepasang pedang emas dan perak.
Ketika dia melirikkan matanya, dia melihat tanaman buah dewa itu sudah layu.
Meskipun tanaman itu sudah layu, tetapi Tao Ling bisa bergerak pasti karena khasiat buahnya. Tao Ling berpikir dalam hati, buah yang demikian berkhasiat, pasti daun dan akarnya berfaedah juga. Karena itu, Tao Ling segera menggunakan salah satu pedangnya untuk mengorek tanaman itu. Bahkan akarnya pun dicabutnya sekaligus. Setelah itu dia mengepal-ngepalkannya sehingga menjadi bulatan kecil lalu dimasukkannya ke dalam saku pakaian.
Setelah itu Tao Ling memperhatikan keadaan di sekitarnya. Dia baru memperhatikan dirinya berada di sebuah padang rumput yang luas. Di kejauhan terlihat pegunungan menjulang tinggi yang bayangan puncaknya penuh diselimuti salju yang putih bersih.
Pemandangan yang indah sekali, tetapi tidak terlihat adanya seorang manusia pun atau asap yang mengepul dari rumah penduduk.
Tao Ling merenung. Kereta itu sudah melakukan perjalanan selama dua puluh hari lebih. Apahila berangkatnya dari Hu Pak dan terus menuju ke arah barat, pasti jarak yang ditempuhnya sudah hampir mencapai tiga ribuan li. Berarti dirinya sekarang berada di wilayah Si Yu (Sekarang disebut Tibet). Sekarang dirinya sudah sehat. Yang paling penting tentu mengambil jurusan timur, dia ingin mencari Lie Cun Ju yang dilemparkan oleh gadis cantik itu ke tepi jalan. Karena itu, dia segera memasukkan sepasang pedang emas dan perak ke dalam selipan pinggangnya dan berjalan menuju timur.
Hampir setengah harian dia berjalan, bahkan dia sempat memburu beberapa ekor kelinci yang kemudian dibakarnya dengan api unggun dan dijadikan pengisi perut. Perasaannya sudah jauh lebih segar. Tenaganya juga pulih kembali. Tetapi bagian lehernya masih terasa gatal sekali.
Selama setengah harian Tao Ling berjalan, tidak menemukan sebuah sungai pun. Karena itu Tao Ling tidak dapat melihat apa yang terdapat di bagian lehernya yang masih terasa begitu gatal. Di permukaan tanah yang penuh dengan rerumputan masih terlihat jejak roda kereta. Tao Ling berpikir, seandainya dia mengikuti jejak kereta itu, pasti ada harapan menemukan Lie Cun Ju. Walaupun kemungkinan pemuda itu sudah mati, setidaknya Tao Ling dapat menguburkannya dengan layak.
Ketika malam tiba, dia menemukan sebuah hutan kecil dan terpaksa bermalam di sana. Pagi-pagi dia sudah bangun. Baru berjalan tidak seberapa jauh, tiba-tiba dia melihat dua ekor kuda pilihan yang berlari ke arahnya dengan cepat. Penunggang kuda itu terus melarikan kudanya sem-bari menundukkan kepalanya ke bawah seakan sedang mencari sesuatu.
Tao Ling seorang gadis yang berotak cerdas. Dia langsung mengerti apa yang sedang dilakukan kedua penunggang kuda itu. Akh! Orang-orang itu pasti mengikuti jejak roda kereta. Mungkinkah mereka sedang mengejar si orang tua dan gadis yang cantik itu?
Ketika Tao Ling memutar pikirannya, kedua ekor kuda itu sudah sampai di depan matanya. Tao Ling mendongakkan kepala. Kedua orang itu juga sudah melihatnya, tetapi yang aneh mereka menatapnya dengan mimik wajah menyiratkan perasaan kaget yang tidak terkirakan.
Wajah kedua orang itu hampir mirip, kemungkinan memang dua bersaudara. Usianya sekitar lima puluhan. Wajah mereka bersih dan lembut. Seandainya mereka tidak menunggang kuda dan di bagian pinggang tidak menyembul sebuah senjata yang bentuknya aneh, Tao Ling pasti mengira kedua orang itu pelajar atau sastrawan yang tidak mengerti ilmu silat.
Kedua orang itu menatap Tao Ling sekilas, kemudian salah satunya berseru.
"Lie kouwnio, apakah kau melihat sebuah kereta berwarna keperakan yang ditarik empat ekor kuda berwarna putih lewat di tempat ini?"
Ketika mendengar kedua orang itu me-nyapanya 'Lie kouwnio', Tao Ling agak tertegun. Tetapi setelah dipikirkan sejenak, dia langsung mengerti. Pasti karena sepasang pedang emas dan perak yang terselip di pinggangnya maka kedua orang itu mengira dia keturunan Pat Kua Kim Gin Kiam Lie Yuan. Dia segera mendongakkan wajahnya dengan maksud ingin menjelaskan siapa dirinya.
Tidak tahunya, begitu dia mendongakkan kepala, kedua orang itu langsung menarik tali pe-ngendali kudanya dan mundur beberapa tindak. Wajah mereka menyiratkan perasaan takut. Setelah saling pandang dengan saudaranya sekilas, mereka langsung menarik kembali tali laso bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Hei! Kalian ingin mengejar kereta itu? Tapi harap kalian beritahukan dulu, tempat apa ini?" teriak Tao Ling.
Salah satu dari orang itu langsung menghambur ke depan sejauh tiga-empat depa.
Sedangkan yang satunya lagi malah berhenti sejenak kemudian berkata.
"Lie kouwnio, ini wiiayah Tibet.Kau lihat gunung itu? Itulah gunung Thian San. Lie kouwnio, apabila kau tidak menemui Leng Coa ki cu jin (Pemilik rumah ular sakti) untuk mengobati penyakit keracunanmu itu, mungkin tidak sampai sore hari kau akan menemui kematian.Kami sudah lama mendengar nama besar ayahmu, sengaja memberitahukan hal ini!"
Hati Tao Ling dilanda kebingungan. Dia ber-pikir dalam hati, kalau dua hari yang lulu, aku memang hampir menemui kematian, tetapi sekarang aku toh dalam keadaan baik-baik saja, untuk apa aku memohon seseorang meminta dia untuk menyembuhkan entah penyakit keracunan apa? Siapa pula pemilik rumah ular sakti yang dikatakannya?
"Toako, mari kita pergi! Jangan menimbulkan masalah lagi!" ucap penunggang kuda yang satunya lagi.
"Jite, ucapanmu salah sekali. Kita toh memang harus mati, apalagi yang harus ditakutkan?" Kemudian keduanya pun menarik nafas panjang.
"Entah siapa nama Hong wi yang mulia? Mengapa aku harus memohon pertolongan pemilik rumah Ular sakti, dapatkah kalian menjelaskannya?" tanya Tao Ling.
"Kami mendapat julukan Sepasang Elang . . ." Tao Ling tidak menunggu orang itu menyelesaikan ucapannya, dia segera menjura dalam-dalam.
"Oh! Rupanya Elang Besi Ciang Pekhu?" Orang itu menganggukkan kepalanya.
"Dia itu adik kandungku, Ciang Ya Hu!" katanya sambil menunjuk ke arah orang yang satunya lagi.
Rupanya kedua orang itu yang mendapat julukan Sepasang Elang dari Hian Tiong. Mereka berasal dari keluarga Ciang. Mereka tinggal di sebuah pulau di tengah danau dan hidup dengan mewah. Keluarga Ciang merupakan salah satu keluarga terkaya di dunia kang ouw. limu mereka juga cukup tinggi, maka nama mereka tersohor sekali. Lagipula sejak kecil senang mempelajari berbagai ilmu dari berbagai aliran. Menurut selentingan di luaran, kedua orang itu bahkan pernah berguru kepada Pun Cing Sian Sing dari Bu Tong Pai di Hok Kian. Mereka menjadi murid tidak resmi dari tokoh Bu Tong Pai itu. Hal ini karena Pun Cing Sian Sing melihat watak kedua orang ini yang berjiwa pendekar. Juga merupakan tokoh yang disegani baik oleh hek to maupun pek to di dunia bu lim. Tao Ling merasa gembira dapat bertemu dengan kedua orang itu.
"Apakah kalian berdua ingin mengejar kereta itu? Aku justru dilemparkan dari kereta itu oleh seorang gadis cantik dan seorang laki-laki tua. Tetapi tu terjadi dua-tiga hari yang lain!"
Si Elang besi Ciang Pek Hu memandangnya dengan terperanjat.
"Kau dilemparkan dari kereta itu? Dia tidak membunuhmu?" Kedua orang itu terperanjat.
"Mungkin karena dia menganggap aku tidak mungkin hidup lagi, tapi kenyataannya aku justru hidup kembali." Tao Ling tertawa getir. Si Elang besi Ciang Pek Hu menarik nafas panjang. Dia tidak bertanya lebih jauh.
"Lie kouwnio, dengarlah nasehatku, dari sini ke arah timur, kurang lebih sepuluh li, ada sebuah sungai kecil, airnya jernih sekali. Mudah dikenali, di sampingnva ada heberapa pondok yang dikelilingi pohon Liu. Di sanalah tempat tinggal pemilik rumah ular sakti. Racun aneh yang mengendap di tubuhmu, kemungkinan hanya dia yang bisa menawarkannya. Cepatlah kesana memohon pertolongannya!"
"Terima kasih atas petunjukmu, tapi tadi kau mengatakan biar hagaimana kalian toh akan mati, apa maksudmu?"
"Lie kouwnio, biar kami katakan juga percuma . . ." Berkata sampai di sini, tiba-tiba seperti ada sesuatu yanjn teringat olehnya. "Lie kouwnio, ada sedikit urusan yang ingin kami minta bantuanmu, apakah kau tidak keberatan?"
Tao Ling sendiri seorang gadis yang berjiwa pendekar dan herhudi luhur, seperti ayahnya. Dia segera menganggukkan kepalanya.
"Harap Ciang cianpwe katakan saja!" jawab Tao Ling. "Apabila pemilik rumah ular sakti bersedia mengobatimu,
tolong kau sampaikan kepadanya bahwa sepasang elang dari Hian Tiong mengirim salam. Juga katakan kepadanya bahwa kami saat ini dikejar oleh kereta putih itu. Keadaan kami sangat gawat. Harap dia mengingat hubungan lama dan datang secepatnva memberikan pertolongan!" ujar si Elang Besi Ciang Pek Hu.
Tao Ling mendengarkan dengan penuh perhatian sampai Ciang Pek Hu menyelesaikan kata-katanya. Diam-diam hatinya menjadi bingung.
Ciang Pek Hu mengatakan bahwa mereka dikejar oleh kereta putih itu dan keadaannya gawat sekali sehingga meminta pertolongan dari pemilik rumah ular sakti. Tetapi kenyataannya kereta itu sudah lewat tiga hari yang lalu dan jauhnya dari tempat ini mungkin ada lima ratus li. Apalagi tadi mereka mengatakan bahwa mereka ingin mengejar kereta itu!