Tepuk tangan riuh dan sorakan memuji menyambut anak muda yang tampan dan gagah ini hingga Lie Kiat segera menjura dan mengangguk keempat penjuru.
Pada saat itu, Biauw Kak juga loncat ke atas panggung dengan tipu loncat Le-hi-ta- teng atau Ikan Lehi Loncat Ke Atas.
Juga untuk pemuda tinggi kurus ini para penonton memberi sambutan meriah, hingga pada saat itu di antara penonton sendiri, terutama mereka yang datang dari Bi-ciu dan Lun-kwan, terpecahlah menjadi dua kelompok yang saling bertentangan dan membela jago masing-masing.
Setelah saling memberi hormat, maka Lie Kiat dan Biauw Kak saling serang dengan hebat. Untuk merebut kedudukan juara, mereka tidak mau saling mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka. Bahkan mengirim serangan-serangan berbahaya yang dapat mendatangkan maut kepada lawan.
Setelah bertempur puluhan jurus, belum juga Lie Bun mengerti mengapa Biauw Kak mendapat julukan tangan maut. Karena menurut pendapatnya, ilmu silat Biauw Kak yang mirip cabang Kun-lun itu tidak lebih tinggi dari pada ilmu silat kakaknya.
Bahkan diam-diam Lie Bun menghela napas lega karena ia yakin bahwa akhirnya Lie Kiat pasti keluar sebagai pemenang dan juara.
Agaknya Lie Kiat juga tahu akan hal ini, maka ia perhebat serangannya dan segera mendesak Biauw Kak yang berkelahi sambil mundur-mundur dan kebanyakkan hanya menangkis saja.
Para pendatang dari Bi-ciu dan Lie Bun merasa gembira dan girang sekali. Ketika tiba-tiba Lie Bun melihat sesuatu yang membuat ia terkejut sekali dan seketika wajahnya berubah pucat.
Ia melihat sesuatu yang bagi orang-orang lain sama sekali tidak dimengerti. Tapi baginya merupakan tanda maut bagi kakaknya.
Ketika ia melihat ke arah lengan Biauw Kak, kulit lengan si tinggi kurus itu ternyata perlahan-lahan berubah menjadi merah seakan-akan darah di tubuhnya dialirkan ke situ semua.
Lie Bun tahu bahwa orang itu tentu ahli Ang-see-ciang atau Lengan Pasir Merah, sebuah ilmu yang sangat berbahaya karena lengan tangan yang telah terlatih hebat dan kemasukkan hawa beracun itu dapat mengirim pukulan yang mematikan. Biarpun kepalan tangannya tidak menyentuh tubuh lawan, tapi angin pukulannya saja yang membawa tenaga dalam serta hawa racun dapat merobohkan lawannya. Inilah yang membuat Lie Bun terkejut dan cemas. Kalau saja kakaknya tahu akan hal ini masih baik, karena tentu Lie Kiat bisa berlaku waspada dan hati-hati. Tapi celakanya, agaknya Lie Kiat tidak tahu akan hal ini dan masih merangsek hebat.
Memang kelihatannya Biauw Kak mundur dan repot sekali karena desakan Lie Kiat. Tapi Lie Bun tahu benar bahwa si tinggi kurus itu mundur-mundur sambil mencari kesempatan dan menunggu sampai tenaga Ang-see-ciangnya sudah berkumpul penuh di kedua lengannya, baru mengirim pukulan mematikan.
Karena kepandaian inilah agaknya, maka Biauw Kak diberi julukan si Tangan Maut.
Sekarang barulah Lie Bun mengerti. Tapi sudah terlambat karena tak mungkin ia memberitahu kakaknya sekarang.
Hal yang dikhawatirkan Lie Bun terjadilah. Ketika Lie Kiat sedang menyerang
dengan pukulan tangan kanan, Biauw Kak tidak mau berkelit dan menerima poukulan itu dengan dadanya. Tapi berbareng ia pukulkan kedua tangannya yang mengandung tenaga Ang-see-ciang itu ke dada Lie Kiat.
Terdengar teriakan Lie Bun dan pada saat yang genting itu tiba-tiba Lie Bun ayunkan tangan kirinya hingga dua sinar hitam yang kecil dan hampir tak terlihat melayang cepat ke arah sambungan siku Biauw Kak.
Karena kerikil itu tepat mengenai urat terpenting di lengan, maka ketika itu juga, lengan Biauw Kak menjadi lumpuh dan hilang tenaganya hingga pukulannya tertunda. Tapi karena ia tadi tidak kelit pukulan Lie Kiat, maka tiada ampun lagi dadanya kena terpukul hingga tubuhnya terjungkal ke bawah panggung.
Untung baginya bahwa Lie Kiat tadi yang merasa terkejut melihat betapa lawannya dengan nekad mengadu jiwa dengan membarengi memukul padanya, berubah heran sekali, karena tangan lawannya menjadi lemas tiba-tiba, membuat ia tercengang dan pukulannya juga tidak sepenuh tenaga. Oleh karena ini, maka Biauw Kak hanya mendapat luka ringan saja.
Berbareng dengan tepuk sorak riuh rendah menyambut kemenangan Lie Kiat yang dengan gagah angkat dada karena bangga, tiba-tiba terdengar teriakan keras dan marah dari seorang hwesio tinggi besar.
“Bangsat kecil, kau berani betul main curang!”
Hwesio tinggi besar itu lalu menerjang kepada Lie Bun dan anak muda itu cepat menghindari serangan hwesio yang kalap itu.
Lie Kiat di atas panggung melihat betapa adiknya diserang orang, segera loncat turun dan menghadang di depan adiknya. Ketika ia melihat penyerang adiknya, ia merasa terkejut lalu menjura sambil berkata.
“Hok Hwat Losuhu, mengapa kau orang tua menyerang adikku?” tanyanya. “Setan kecil ini kurang ajar sekali dan berani bermain curang hingga melukai muridku!” jawab Hok Hwat Losuhu yang bukan lain ialah guru Biauw Kak.
Hwesio yang kosen ini ternyata dapat melihat gerakan tangan Lie Bun ketika menolong kakaknya dari bahaya maut dan menjatuhkan Biauw Kak dengan dua buah kerikil kecil. Tapi tentu saja pernyataan ini membuat Lie Kiat heran sekali dan ia segera membantah.
“Hok Hwat Losuhu, janganlah menuduh sembarangan. Adikku ini walaupun mengerti sedikit ilmu silat, mana ia dapat melukai muridmu?”
Hok Hwat Hwesio makin marah, sambil gerak-gerakan tangan ia berkata. “Kau jangan turut campur, lepaskan adikmu untuk kuhajar!”
“Kau orang tua enak saja bicara. Bagaimanapun aku tidak suka melihat adikku dihajar orang,” jawab Lie Kiat dengan berani, hingga Lie Bun merasa girang sekali. Timbul hati sayangnya yang besar kepada kakaknya ini. Karena ternyata walaupun sombong dan bengal, kakaknya ini cukup mempunyai kegagahan dan ketabahan untuk membela dia.
Lie Bun dari belakang pegang lengan kakaknya seakan-akan minta bantuan. Lalu sambil kernyitkan hidung, jebirkan bibir ke arah Hok Hwat Hwesio, ia berkata kepada Lie Kiat.
“Koko, jangan takut, koko!”
“Huah, kau diam saja, Lie Bun!” kata Lie Kiat karena ia melihat betapa hwesio itu makin marah.
“Lie Kiat, aku masih pandang muka gurumu dan orang tuamu maka aku tidak mau turunkan tangan padamu. Tapi kalau kau tetap hendak membela anak setan ini, terpaksa aku turun tangan.”
Lie Kiat angkat dadanya. “Kalau kau orang tua tidak malu hendak menyerang aku, sesukamulah. Tapi kau pasti akan ditertawai orang-orang gagah seluruh dunia. Kalau kau memang gagah dan hendak memperlihatkan kelihaian, bukan aku lawanmu!”
“Siapa? Siapa yang hendak kau ajukan? Hayo, suruh dia maju!” tantang Hok Hwat Hwesio.
“Tadi muridmu menjadi lawanku, maka lawanmu tiada lain orang ialah suhuku!” jawab Lie Kiat yang sebetulnya jerih terhadap hwesio kosen itu.
“Apa katamu? Kau bawa-bawa gurumu Kong Liak? Aku tidak hendak bermusuhan dengan dia. Tapi kalau dia tetap membela setan hitam ini, biarlah dia maju.”
Kebetulan sekali pada saat itu terdengarlah orang-orang yang berada di dekat situ berkata. “Kong Lo-kauwsu datang !”
Benar saja orang tua she Kong yang menjadi guru Lie Kiat itu datang dengan tindakan lebar. Ia telah mendengar bahwa muridnya ikut memasuki pertandingan itu hingga ia merasa tidak senang. Karena ia takut kalau-kalau muridnya itu akan mendatangkan ribut.
Lie Kiat sambut suhunya dengan girang dan bangga. Sebaliknya Kong Liak memperlihatkan muka tidak senang.
“Lie Kiat, untuk apa kau ikut dalam permainan berbahaya ini?” tegurnya.
“Teecu telah dapat berhasil menjadi juara, suhu,” jawab muridnya dengan bangga. Tapi suhunya geleng-geleng kepala seakan-akan hal itu tidak penting sama sekali. Kemudian Kong Liak melihat betapa Hok Hwat Hwesio berdiri di situ sambil memperlihatkan sikap bermusuhan, maka ia buru-buru menjura.
“Ah, tidak tahunya Hok suhu juga berada di sini!”
Dengan heran Kong Liak melihat betapa hwesio itu membalas salamnya dengan sikap dingin sekali.
”Suhu, Hok Losuhu agaknya tidak rela muridnya dapat teecu kalahkan,” Lie Kiat yang cerdik mendahului.
“Kong-kauwsu! Tolong kau suruh muridmu itu jangan mencampuri urusanku,” Hok Hwat Hwesio berkata marah.
“Eh, eh! Ada urusan apakah, Hok suhu?”
“Aku hendak memberi hajaran kepada setan muka hitam yang jahat itu, tapi muridmu hendak membelanya. Kalau aku tidak melihat mukamu, sudah tadi-tadi dia kuhajar sekalian.”
“Lie Kiat, kesalahan apakah yang kau perbuat kepada Hok suhu? Jangan kau kurang ajar terhadap orang dari tingkatan tua,” tegur Kong Liak kepada muridnya.
“Suhu, lihatlah anak muda ini. Kau kira siapakah dia? Dia adalah Lie Bun, adikku
yang telah tujuh tahun pergi. Dia sekarang telah kembali. Tapi tiada hujan tiada angin tahu-tahu Hok losuhu hendak menyerangnya. Tentu saja teecu tidak tinggal diam.”
Tercenganglah Kong Liak melihat Lie Bun. Ia telah lupa akan wajah anak kecil yang dulu dibawa pergi oleh Kang-lam Koay-hiap. Tapi melihat pakaian aneh yang dipakai oleh Lie Bun, guru silat she Kong ini teringat lagi akan pengemis aneh yang gagah itu. Ia pandang Lie Bun agak lama, lalu menghela napas.
“Aku menjadi orang selamanya tidak suka mencari permusuhan. Kalau aku sudah melakukan sesuatu, maka aku akan tanggung semua akibatnya sebagai seorang laki- laki. Tak perlu menyeret-nyeret orang lain ke dalam urusan itu. Hok suhu, kau tahu akan aturan kita yang menyebut diri orang-orang kang-ouw. Lihat, lui-tai masih berdiri teguh. Untuk apa kau mengejar orang di bawah panggung?”
Pada saat itu, si gendut tukang pidato sudah naik ke panggung dan mengumumkan bahwa yang menjadi juara adalah Lie Kiat-enghiong dari Bi-ciu.
Tapi tiba-tiba dari bawah panggung berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu seorang hwesio tinggi besar telah berdiri di depannya dan membentaknya.
“Pergi kau dari sini!”
Si gendut begitu terkejut hingga kedua kakinya lemas dan ia terhuyung-huyung. Lenyaplah sikap dan lagaknya yang gagah tadi dan ia tinggalkan panggung bagaikan seekor anjing kena pukul.