Kata-kata dalam lagu tadi membuat ia berpikir-pikir tentang cinta dan sampai saat itupun ia tidak tahu apakah ia mencinta Gwat Kong. Memang mendalam sekali isi kata-kata lagu itu dan iapun suka menjadi seperti teratai jelita kalau mempunyai kekasih yang demikian setia air danau Oei-hu. Ia tahu bahwa Gwat Kong mencintainya. Hal ini telah diutarakan oleh pemuda itu ketika mabok di rumahnya dan pengutaraan itu dulu telah membuatnya menjadi marah sehingga hampir saja ia membunuh pemuda itu!
Akan tetapi, sesungguhnya kemarahan itu bukanlah sekali-kali karena Gwat Kong karena mencurahkan cintanya dengan ucapan-ucapan penuh sindiran itu. Akan tetapi adalah karena tuduhan-tuduhan Gwat Kong yang mengatakan bahwa ia tidak berjantung tidak kenal budi dan menyindir pula menyatakan bahwa setelah bertemu dengan Gan Bu Gi, lalu lupa kepada pemuda itu yang hanya seorang pelayan. Bahwa ia tergila-gila oleh harta dan kedudukan! Akan tetapi, ia maklum bahwa tentu Gwat Kong menduga bahwa ia marah karena tidak sudi mendengar pengakuan cinta pemuda itu yang dianggapnya rendah! Dengan demikian, dalam anggapan Gwat Kong, ketika pemuda itu masih menjadi pelayan, ia tidak menyukainya, dan sekarang setelah diketahuinya bahwa Gwat Kong ternyata pandai ilmu silat bahkan putera pembesar pula, apakah ia akan menyatakan cintanya kepada pemuda itu?
Memikirkan hal ini, tiba-tiba wajah Tin Eng menjadi merah. Tentu, tentu Gwat Kong akan berpikir demikian dan tentu pemuda itu akan memandangnya sebagai seorang gadis yang rendah budi, yang hanya memandang keadaan dan tergila-gila oleh pangkat dan kedudukan. Seorang gadis yang dulu membenci pemuda pelayan, akan tetapi berbalik pikir karena melihat bahwa pelayan itu ternyata seorang putera pembesar yang pandai! Ah, tidak! Aku tak boleh merendahkan diri semacam itu!
Demikian Tin Eng berpikir dengan marah kepada diri sendiri. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa berduka karena semenjak Gwat Kong lari dari rumah, semenjak ia menusuk dada pemuda itu, telah timbul perasaan yang aneh dalam hatinya terhadap Gwat Kong. Perasaan itulah yang membuat ia mengeluarkan air mata apabila teringat akan luka di lengan pemuda itu akibat ujung pedangnya. Dan perasaan itu pulalah yang memperkuat hatinya sehingga terpaksa ia melarikan diri dari rumah ketika ayahnya hendak memaksa dia kawin dengan Gan Bu Gi.
Dalam keadaan masih dimabok lamunan, Tin Eng tidak melihat atau mendengar ketika sebuah perahu lain dengan cepat meluncur ke arah perahunya, seakan-akan hendak menubruk perahunya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari sebuah perahu yang juga meluncur cepat menuju ke tempat itu, “Adik Tin Eng! Awas perahu di sebelah kanan!”
Terkejutlah Tin Eng yang sadar dari lamunannya. Ia cepat menoleh dan melihat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang pemuda dan seorang gadis, sedang meluncur cepat ke arah perahunya sendiri, hanya terpisah setombak saja lagi! Dua orang penumpangnya itu kini memegang dayung mereka untuk mendorong perahu Tin Eng yang menghadang di jalan.
Tin Eng terkejut karena maklum bahwa dorongan itu akan berbahaya sekali bagi perahunya karena kalau terlalu keras bisa membuat perahunya terguling. Maka ia lalu cepat menyambar dayungnya dan menggerakkan dayungnya itu cepat-cepat ke kanan sambil membentak,
“Minggir!” Tin Eng menggunakan tenaga lweekangnya dan dengan cepat dayungnya digerakkan menyapu dua dayung pemuda dan gadis itu yang segera tertangkis dan terpental hampir terlepas dari pegangan! Tin Eng tidak berhenti dengan tangkisan itu saja oleh karena kepala perahu itu hampir menumbuk perahunya, sehingga keadaan masih tetap berbahaya. Ia lalu membungkukkan tubuhnya dan dayungnya cepat sekali didorongkan ke arah kepala perahu itu yang segera meluncur lewat di dekat kepala perahunya dan tubrukan hebat dapat digagalkan.
Akan tetapi, dorongannya yang keras itu membuat perahu yang ditumpangi oleh kedua anak muda itu miring dan hampir terguling. Tiba-tiba kedua anak muda itu berseru keras dan tubuh mereka telah melompat ke atas dengan gerakan yang amat ringan! Perahu yang kosong itu menjadi balik kembali kedudukannya dan barulah kedua orang muda itu melompat turun di dalam perahunya. Tin Eng merasa kagum melihat pertunjukan ginkang dan ketabahan ini. Akan tetapi ia merasa mendongkol juga mengapa mereka seakan-akan sengaja hendak menggulingkan perahunya. Selagi ia hendak menegur, mereka telah menoleh dan tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Lihiap, maafkan kami!” lalu mereka mendayung perahu mereka dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Tin Eng teringat akan seruan orang yang memperingatkannya tadi, maka ia lalu menengok ke arah belakang dan kedua matanya terbelalak girang ketika ternyata olehnya bahwa yang tadi memanggilnya adalah seorang gadis cantik dan gagah yang sedang mendayung perahunya dengan kecepatan luar biasa menuju ke arahnya. Gadis itu bukan lain adalah Dewi Tangan Maut Tan Kui Hwa, dara perkasa anak murid Hoa-san-pai yang dulu pernah bertemu dengan dia dan menolongnya ketika ia hampir menjadi korban para bajak.
“Enci Kui Hwa ! serunya gembira dan mendayung perahu menyambut kedatangan si Dewi
Tangan Maut.
Kui Hwa tersenyum manis. Gadis ini nampak cantik dan gagah sekali dengan baju hijau, ikat kepala merah, ikat leher dan sabuk hitam. Gagang pedangnya nampak tersembul dari balik punggungnya.
Pertemuan yang tak tersangka-sangka dengan Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut di atas danau Oei-hu itu benar-benar mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tin Eng. Setelah perahu mereka berendeng, Tin Eng lalu melompat ke dalam perahu Kui Hwa dan memeluk gadis itu dengan gembira sekali.
“Enci Kui Hwa, sekali lagi kaulah orangnya yang menolongku dari bahaya, kini bahaya terguling dari perahu.”
“Tin Eng, mengapa kau tidak mengejar mereka? Dua orang kurang ajar itu terang-terangan sengaja hendak menubruk perahumu dan membuat kau terlempar ke dalam air! Mereka perlu diberi hajaran!”
Tin Eng memandang dengan senyum simpul. “Wah, enci Kui Hwa, kau benar-benar masih galak sekali, membikin aku takut saja!”
Kui Hwa balas memandang dan melihat sinar mata kawannya. Ia tertawa geli dan lenyaplah kekerasan yang tadi membayang pada wajahnya yang cantik, ketika ia marah terhadap dua orang di dalam perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. “Ah, jangan kau menggoda adik Tin Eng. Kujiwir nanti bibirmu yang merah itu!”
Memang semenjak pertemuannya yang pertama dengan Kui Hwa, Tin Eng merasa tertarik dan suka sekali kepada pendekar wanita ini. Karena dari sikap gadis ini terbayang kekerasan hati, dan kejujuran, dan sifat-sifat yang amat baik, yakni bencinya terhadap segala macam kejahatan. Hanya harus diakui bahwa gadis ini memiliki watak yang amat ganas dan tak kenal ampun. Sebaliknya Kui Hwa yang belum pernah mempunyai kawan wanita yang amat baik kepadanya, merasa suka pula kepada Tin Eng.
“Adik Tin Eng, bukankah kau yang disebut orang Sian-kiam Lihiap di kota Hun-lam?” “Eh, eh bagaimana kau bisa tahu akan hal itu, enci Kui Hwa?”
Kui Hwa tersenyum. “Namamu cukup terkenal, siapa yang tidak mengetahuinya?” Kini Tin Eng merasa gemas. “Sekarang akulah yang ingin menjiwir bibirmu, enci!” Kui Hwa tertawa, lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Adikku yang manis, terus terang saja sudah dua hari aku berada di Hun-lam! Aku telah mendengar tentang nama Sian-kiam Lihiap dan Kang-lam Ciu-hiap yang menggemparkan kota Hun-lam, yang namanya dipuji-puji setinggi langit. Akan tetapi sungguh mati aku tidak pernah mengira bahwa Sian-kiam Lihiap adalah kau sendiri. Kau agaknya jarang keluar, maka aku tak dapat bertemu dengan kau, dan karena tadi melihat kau berada di dalam perahu seorang diri maka mudahlah bagiku untuk menduga bahwa Sian-kiam Lihiap tentulah kau!
Siapa lagi ahli pedang yang patut disebut Pendekar Wanita Pedang Dewa selain kau?”
“Cici, kau terlalu memuji, padahal orang yang dipuji-puji ini baru beberapa hari yang lalu telah dikalahkan oleh orang lain secara memalukan sekali. Sebutan itu sebenarnya tak patut bagiku dan hanya membuat aku malu saja.”
Tan Kui Hwa memandang tajam lalu berkata. “Apakah yang mengalahkan kau itu Song Bu Cu dan Lui Siok, kedua pangcu (ketua) dari Hek-i-pang?”
Tin Eng memandang kagum. “Enci, matamu benar-benar awas. Agaknya tidak ada sesuatu yang tak kau ketahui! Kau benar-benar hebat dan luas pengetahuanmu. Memang benar, aku telah dikalahkan oleh Lui Siok si Ular Belang! Bagaimana kau bisa tahu?”
“Adikku yang baik, aku tidak tahu apa-apa, hanya dugaan saja. Kalau kau tidak terlalu banyak bersembunyi di dalam kamar dan suka keluar pintu melakukan perantauan seperti aku maka bagimu juga akan mudah saja menduga-duga hal-hal itu. Aku tahu bahwa kau dan Kang-lam Ciu-hiap telah mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang di kota Hun-lam, sedangkan aku telah tahu pula bahwa sarang Hek-i-pang berpusat di Tong-kwan dengan diketuai oleh Song Bu Cu dan Lui Siok yang lihai! Kepandaian mereka berdua itu memang tinggi sekali, sehingga aku sendiripun tidak akan dapat melawan mereka. Maka, setelah kau mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang, lalu siapa lagi kalau bukan mereka berdua yang datang membalas dendam dan mengalahkan kau?”
“Ah, hal ini hanya menunjukkan kecerdikanmu, enci Kui Hwa.”
“Siapa bilang aku cerdik! Saat ini ada dua hal yang membuat aku merasa menjadi sebodoh- bodohnya orang!”
Sambil tertawa Tin Eng bertanya, “Apakah gerangan dua hal itu?”
“Pertama melihat kau masih segar bugar dan bahkan bertambah cantik setelah kau tadi bilang pernah dikalahkan oleh Lui Siok. Aku kenal Lui Siok sebagai seorang kejam dan aneh sekali kalau dia atau Song Bu Cu mau mengampunkan kau yang telah merusak pekerjaan anak buah mereka! Nah, hal itulah yang membikin aku menjadi bingung dan tak dapat menjawab. Kedua kalinya, aku heran sekali melihat mengapa kau tidak mengejar dua orang muda yang tadi sengaja menubruk perahumu. Apakah benar-benar kau telah menjadi seorang yang demikian sabarnya?”
Tin Eng menarik napas panjang dan menjawab, “Cici, jawaban kedua pertanyaan itu memang ada hubungannya. Pertama-tama kujawab pertanyaan kedua. Aku memang tidak mau mengejar kedua orang tadi yang menubruk perahuku. Oleh karena mungkin sekali mereka itu adalah orang-orang dari Hek-i-pang yang sengaja mencari perkara dan pula akupun merasa ragu-ragu karena melihat keadaan mereka itu seperti bukan orang jahat, sehingga mungkin sekali mereka tidak sengaja hendak menubrukku. Mengapa aku harus mencari-cari permusuhan baru sedangkan baru beberapa hari saja aku telah dikalahkan orang dan masih terasa mendongkol? Dan tentang pertanyaan pertama itu agak panjanglah penjelasannya.”
Tin Eng lalu menuturkan tentang pertempurannya melawan Lui Siok, dan menuturkan pula bahwa Lui Siok adalah suheng dari Gan Bu Gi, perwira muda yang telah dipilih oleh ayahnya untuk dikawinkan dengan dia, dan bahwa Lui Siok memandang muka Seng Le Hosiang maka tidak berani mengganggunya atau melukainya.
Kui Hwa mengangguk-angguk lalu berkata, “Masih baik bahwa dia tidak berani mengganggumu, kalau tidak, sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dari bencana. Memang Lui Siok itu memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih Song Bu Cu yang menjadi ketua dari Hek-i-pang. Aku pernah bertemu dengan Song Bu Cu dan kalau tidak keburu datang kedua suhengku, tentu aku tewas dalam tangannya. Kau dan aku tak dapat menandingi mereka, adik Tin Eng!”
Si Dewi Tangan Maut menarik napas panjang dan nampak menyesal dan kecewa sekali. Lalu katanya gagah, “Akan tetapi, kalau kau tak dapat menahan sakit hatimu dan hendak membalas dendam sekarang juga, jangan takut, aku tentu akan membantumu menghadapi mereka!”
Tin Eng terharu dan memegang lengan Kui Hwa, “Enci Kui Hwa, mereka memang jahat dan perlu dibasmi, akan tetapi setelah tahu bahwa tenaga sendiri tak kuat menghadapi mereka namun terus maju menyerbu bukankah itu amat bodoh namanya dan sama halnya dengan membunuh diri? Takut sih tidak, akan tetapi lebih baik kita menanti saat yang lebih sempurna dan mencari kawan-kawan yang sehaluan untuk menyingkirkan serigala-serigala buas itu.”