Pendekar Pemabuk Chapter 46

NIC

Bok Kwi Sianjin tertawa dan berkata kepada Gwat Kong, “Muridku, lain kali kau lah yang wajib menghadapinya!” Gwat Kong buru-buru berlutut dan berkata, “Akan tetapi tosu itu lihai sekali suhu.”

“Memang dia lihai, namun bukan tak dapat terkalahkan! Ingatlah Gwat Kong, makin tinggi seseorang mengangkat diri sendiri, makin banyak bahaya ia akan jatuh ke bawah secepatnya. Sin Seng Cu terlalu mengagulkan kepandaian. Menilai kepandaian sendiri terlampau tinggi dan memandang rendah kepada orang-orang lain. Oleh karena itulah maka di antara saudara- saudaranya, yakni tokoh-tokoh besar dari Hoa-san-pai, hanya dia seorang yang mempunyai banyak musuh. Kalau hari ini ia tidak mengangkat diri sendiri terlalu tinggi, tak mungkin dia mengadu tongkat dengan aku dan ia takkan menerima kekalahan pula. Ha ha ha! Percuma saja dia menjadi seorang tosu yang sudah bertapa puluhan tahun. Ternyata ia belum dapat melihat bahwa tidak ada perbedaan antara atas dan bawah maupun antara tinggi dan rendah. Jangan kira bahwa siapa yang berada di atas itu lebih tinggi dari pada yang berada di bawah! Yang berpikir demikian, ia akhirnya akan kecele dan kecewa! Gwat Kong, kau tak usah takut terhadap seorang seperti Sin Seng Cu. Lebih berhati-hatilah terhadap seorang yang nampaknya bodoh tak berkepandaian karena biasanya mereka inilah yang benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Tepat sekali kata-kata tua yang menyatakan bahwa gentong penuh air takkan berbunyi.”

Gwat Kong menghaturkan terima kasih dan berjanji akan memperhatikan semua petunjuk dan petuah suhunya. Kemudian atas permintaan Bok Kwi Sianjin, Gwat Kong menuturkan asal mulanya ia belajar silat, yakni dari penemuan kitab ilmu silat Garuda Sakti.

Mendengar penuturan ini Bok Kwi Sianjin menjadi kagum sekali dan menarik napas panjang lalu berkata, “Aaah, kalau demikian, benar kata suhu dulu bahwa di antara empat ilmu yang terdapat di empat penjuru, Sin-eng Kiam-hoat boleh dibilang menduduki tempat tertinggi.

Kau yang tadinya tidak pernah belajar silat, dengan hanya belajar sendiri tanpa pimpinan guru yang pandai, hanya membaca kitab pelajaran itu, telah mempunyai kepandaian lumayan dan dapat bertahan menghadapi Sin Seng Cu sampai tiga puluh jurus. Benar-benar hebat sekali!

Kalau saja kau mempelajari Sin-eng Kiam-hoat lebih lama dan dipimpin oleh guru pandai, sekarang juga aku takkan dapat mengalahkan kau!”

Bok Kwi Sianjin lalu mengajak Gwat Kong pergi ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah gua di tepi sungai Huang-ho. Karena gua ini berada di dalam hutan yang amat liar, maka tak ada orang lain yang mengetahui tempat ini, kecuali tokoh-tokoh persilatan kalangan atas yang telah kenal kepada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi, oleh karena merekapun tahu bahwa Bok Kwi Sianjin jarang berada di tempat pertapaannya dan seringkali pergi merantau, maka jarang ada kenalan yang datang ke tempat itu.

Gwat Kong mendapat latihan Sin-hong-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti yang amat lihai. Juga selain ilmu silat ini, ia mendapat tambahan latihan lweekang dan ginkang dan ilmu pedangnya juga mendapat kemajuan karena diberi petunjuk-petunjuk oleh Bok Kwi Sianjin yang memiliki dasar ilmu silat yang amat tinggi dan pengalaman yang luas sekali.

Setelah tinggal bersama kakek itu, Gwat Kong mendapat tahu bahwa selain tinggi ilmu silatnya, suhunya itu juga seorang ahli ilmu pengobatan maka ia menjadi kagum sekali dan sedikit-sedikit ia mempelajari pula ilmu pengobatan yang ada hubungannya dengan persilatan, misalnya cara menyambung tulang patah, mengobati luka-luka karena senjata tajam atau luka- luka dalam karena pukulan, serta obat-obat pemunah racun-racun yang banyak dipergunakan oleh ahli-ahli silat golongan hitam, yakni para penjahat yang berilmu tinggi. Dengan amat rajin dan penuh ketekunan, Gwat Kong mempelajari ilmu kepandaian di tepi Huang-ho di bawah pimpinan dan gemblengan Bok Kwi Sianjin. Kakek ini merasa girang sekali melihat kerajinan muridnya dan merasa kagum karena pemuda itu ternyata amat cerdik dan cepat memperoleh kemajuan.

****

Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang sedang mengejar ilmu di tepi Sungai Huang-ho, di dalam hutan yang liar itu, dan marilah kita menengok keadaan Tin Eng yang tinggal di rumah pamannya, yakni Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (Hartawan Lie).

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng telah didatangi oleh Lui Siok yang menjadi suheng dari Gan Bu Gi dan gadis itu telah dikalahkan dalam sebuah pertempuran, bahkan pedangnya telah dipatahkan oleh Hoa-coa-ji Lui Siok si Ular Belang yang lihai itu. Karena kekalahan ini dan karena maklum akan kelihaian para pemimpin Hek-i-pang, maka Tin Eng makin giat mematangkan ilmu pedangnya di rumah pamannya.

Ia merasa lega karena ternyata bahwa Hek-i-pang selanjutnya tidak mengganggu kota Hun- lam lagi. Ia tidak tahu bahwa hal ini adalah karena kelicinan Song Bu Cu ketua dari Hek-i- pang yang tidak mau berlaku kasar, dan pula orang-orang Hek-i-pang itu masih merasa sungkan-sungkan untuk bermusuhan dengan Tin Eng, mengingat bahwa gadis ini adalah ‘calon isteri’ Gan Bu Gi dan puteri dari Liok Ong Gun, Kepala daerah Kiang-sui dan anak murid Go-bi-pai.

Di dekat kota Hun-lam terdapat sebuah danau yang cukup indah dan setiap datang musim semi, banyak sekali pelancong dari dalam dan luar kota menghibur diri di danau itu sambil berperahu atau duduk di tepi danau memancing ikan atau bercakap-cakap dengan sahabat- sahabat sambil minum arak.

Pada suatu hari, karena merasa kesepian berada di rumah seorang diri sedangkan pamannya mengurus perdagangan di luar kota, Tin Eng keluar dari rumah dan berpesiar seorang diri di danau itu. Telah dua kali Tin Eng mengunjungi danau Oei-hu itu dan ia senang sekali menyewa perahu kecil, mendayung seorang diri dan bermain-main di atas telaga yang indah.

Hari itu udara cerah dan di danau itu terdapat banyak sekali pelancong. Perahu-perahu kecil besar bergerak ke sana ke mari di atas danau yang airnya bergerak-gerak perlahan sehingga bunga-bunga teratai yang bertumbuh di pinggir telaga ikut pula bergoyang-goyang seakan- akan menari-nari gembira. Dari perahu-perahu itu terdengar suara orang bercakap-cakap dengan senang dan diselingi suara ketawa. Juga terdengar suara orang bernyanyi diiringi oleh yang-kim yang amat merdu.

Tin Eng menyewa sebuah perahu kecil yang pada saat seperti itu jumlah sewanya dinaikkan semuanya oleh tukang perahu. Saat-saat seperti itu merupakan saat yang baik dan menguntungkan bagi para tukang perahu oleh karena para pelancong itu, terutama yang datang dari luar kota, amat berani membayar mahal untuk perahu-perahu yang mereka sewa.

Perahu yang disewa oleh Tin Eng biarpun kecil, akan tetapi cukup indah dengan kepala perahu diukir seperti seekor ular besar menjulurkan lidahnya. Tin Eng mendayung perahunya ke tengah dengan gembira sekali. Banyak mata pemuda-pemuda pelancong memandang kagum kepada gadis yang mengenakan pakaian biru dengan lengan baju agak pendek itu sehingga nampak sampai di atas pergelangan tangan.

Sungguhpun mereka merasa kagum akan kecantikan Tin Eng dan merasa heran karena melihat seorang gadis muda yang cantik jelita berpesiar seorang diri bahkan mendayung perahu seorang diri pula. Akan tetapi melihat sikap dan gerak-gerik Tin Eng, mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat dan bukan seorang gadis biasa. Oleh karena itu, mereka tidak berani berlaku kurang ajar hanya memandang dengan kagum.

Tentu saja mereka ini terdiri dari laki-laki yang datang dari luar kota Hun-lam. Oleh karena orang-orang dari Hun-lam sendiri sebagian besar telah tahu dan kenal gadis ini, yang bukan lain ialah Sian-kiam Lihiap si pendekar Wanita Pedang Dewa yang telah mengobrak-abrik penjahat-penjahat yang mengganggu Hun-lam. Ketika Tin Eng tiba di tempat itu, mereka ini lalu memberi hormat dengan menjura atau menganggukkan kepala yang dibalas oleh Tin Eng dengan anggukan kepala dan senyuman manis.

Melihat betapa banyak orang agaknya kenal dan menghormati gadis muda itu, orang-orang dari luar kota segera mengajukan pertanyaan kepada orang-orang Hun-lam, dan yang ditanya dengan senang hati dan bangga menceritakan keadaan dan kelihaian Tin Eng. Tentu saja dengan bumbu dan tambahan betapa dara jelita itu seorang diri telah menghalau pergi ratusan perampok.

Bahkan di antara mereka itu ada yang secara berani mati menuturkan bahwa Tin Eng adalah sebangsa Kiam-hiap, pendekar pedang yang memiliki Hui-kiam (pedang terbang) dan yang dapat mengambil kepala penjahat dari jarak puluhan tombak dengan hanya melontarkan pedangnya yang dapat terbang, memenggal kepala lawan dan membawa kepala itu kembali kepada si gadis. Biarpun penuturan ini simpang siur dan dilebih-lebihkan, akan tetapi cukup untuk membuat para pendengarnya meleletkan lidah dan kini mereka memandang ke arah Tin Eng dengan lebih kagum lagi.

TIN ENG tidak memperdulikan itu semua dan ia pura-pura tidak melihat pandang mata orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan kagum, akan tetapi segera mendayung pergi perahunya menuju ke tengah danau. Ia tidak tahu bahwa di antara sekian banyak pendengar yang menjadi kagum mendengar dongeng dan obrolan orang-orang Hun-lam itu terdapat dua orang muda yang cukup menarik perhatian.

Mereka ini adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia mereka paling banyak delapan belas tahun akan tetapi sikap mereka menyatakan bahwa mereka itu selain agung dan tampan, juga bersikap gagah seperti orang-orang yang pandai ilmu silat. Gadis ini berbaju hijau, bercelana hitam dan wajahnya cantik manis dengan rambut dikuncir yang melambai ke belakang punggung. Di atas rambutnya sebelah kanan terdapat sebuah hiasan rambut bunga emas.

Pemudanya tampan dan gagah, tidak memakai topi dan rambutnya yang panjang dan hitam juga dikuncir ke belakang seperti biasa pemuda-pemuda bangsawan-bangsawan pada waktu itu. Bajunya putih dan celana Hitam, terbuat dari pada bahan-bahan yang mahal. Setelah mendengar penuturan orang-orang Hun-lam itu, mereka berdua memandang ke arah Tin Eng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjauhkan diri dari orang banyak dan bicara bisik-bisik, lalu menyewa perahu dan mendayungnya ke tengah danau.

Setelah berada di tengah-tengah danau itu, Tin Eng melepaskan dayungnya ke dalam perahu dan membiarkan perahunya bergerak perlahan. Ia menikmati pemandangan di sekitarnya sambil duduk termenung. Pikirannya makin melayang jauh ketika sayup-sayup ia mendengar suara penyanyi wanita dari sebuah perahu besar menyanyikan lagu asmara yang mengelus hati.

Ia lalu mendayung perahunya mendekat, karena suara itu merdu benar dan ia ingin mendengar kata-katanya lebih jelas. Setelah berada dekat, lagu asmara itu diulangi lagi dengan suara merdu dari penyanyi di dalam perahu besar dan kini ia dapat mendengar dengan jelas.

Danau Oei dengan airnya yang seperti kaca, Bagaikan hati seorang teruna yang setia!

Biarpun musim bunga datang dan pergi pula. Biarpun teratai jelita akan lenyap sebelum lama Danau Oei tetap menanti menanti setia!

Ah, betapa inginku menjadi teratai jelita. Mempunyai kekasih yang demikian setia !

Betapa inginku ......... menjadi teratai jelita !

Lagu asmara yang dinyanyikan dengan suara merdu merayu ini membawa Tin Eng ke alam lamunan yang lebih tinggi. Ia menatap permukaan air yang penuh bayang-bayang indah dari luar dan tiba-tiba ia melihat wajah orang di dalam bayangan air yang ketika diperhatikannya betul-betul ternyata adalah bayangan wajah Gwat Kong! Tin Eng terkejut dan sadar dari lamunannya, dan ketika ia memandang kembali ke dalam air, ternyata bayangan itu telah lenyap. Mengapa tanpa terasa wajah pemuda itu terbayang? Ia suka dan kagum sekali kepada pemuda itu, akan tetapi cinta ?

Ah, ia tidak mengerti. Ketika Gwat Kong masih menjadi pelayan, ia telah suka kepada pemuda itu tanpa disertai kekaguman. Dan tentang kekaguman ini dulu iapun kagum kepada Gan Bu Gi. Dan ternyata bahwa kini jangankan mencinta, bahkan ia merasa benci kepada pemuda she Gan itu!

Posting Komentar