Pendekar Pemabuk Chapter 42

NIC

“Bagus!” seru Lui Siok yang segera mengulur tangan kirinya yang tadi dibuka untuk menangkap kaki kanan Tin Eng itu. Gadis itu terkejut sekali melihat gerakan tangan memutar yang hendak menangkap kakinya dari bawah, maka ia cepat menarik kembali kakinya melompat ke kiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah pelipis lawan.

Diam-diam Lui Siok memuji kegesitan gadis ini dan cepat ia miringkan kepala dan kembali tangan kanannya menyerbu cepat untuk menangkap pergelangan tangan yang memukul itu. Tin Eng maklum bahwa lawan ini memiliki lweekang yang kuat dan jari-jari tangan yang dibuka dan merupakan kuku garuda itu. Ia dapat menduga lawan tentulah seorang ahli dalam ilmu silat mencengkeram seperti halnya ilmu silat Eng-jiauw-kang, maka tentu saja ia tidak membiarkan tangannya ditangkap dan segera menarik kembali tangannya cepat-cepat dan menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri.

Serangan-serangan yang dilakukan oleh Tin Eng ini adalah pukulan-pukulan dari Sin-eng Kun-hoat dan gerakannya demikian aneh sehingga untuk jurus-jurus pertama Lui Siok merasa bingung dan terkejut. Serangan-serangannya itu dapat dirubah sedemikian cepatnya dan disusul oleh serangan-serangan berikutnya yang makin lama makin cepat. Ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menggunakan cengkeraman dan tangkapannya.

Akan tetapi sayang sekali bahwa ilmu silat tangan kosong yang dipelajari oleh Tin Eng ini belum sempurna benar sehingga setelah beberapa jurus lamanya ia belum berhasil memukul lawannya. Tin Eng segera merubah ilmu silatnya dan kini ia bersilat dengan ilmu silat Go-bi- pai yang dipelajari dari ayahnya. Dalam hal ilmu silat ini, Tin Eng sudah mempunyai kepandaian yang cukup lumayan. Akan tetapi Lui Siok tertawa bergelak menghadapi ilmu silat yang dikenalnya dengan baik ini.

“Nona manis, kalau Seng Le Locianpwe melihat kau menyerang aku, tentu dia akan menegur kau! Aku kenal baik padanya!”

“Siapa sudi banyak mengobrol dengan kau?” seru Tin Eng dengan marah dan menyerang terus dengan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan keras. Ia merasa sayang sekali bahwa pedangnya tidak dibawa dan ditinggalkan di dalam kamarnya. Karena memang tadi ia sengaja datang untuk berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak membawa-bawa pedang.

“Bangsat tua bangka!” teriaknya memaki. “Kalau kau memang gagah, tunggulah aku mengambil pedangku!”

“Ha ha ha, bocah galak. Boleh, boleh, kau ambillah pedangmu. Memang aku ingin sekali menyaksikan bagaimana lihainya pedang dari Sian-kiam Lihiap!”

Tin Eng lalu berlari masuk dan tak lama kemudian ia telah kembali membawa pedangnya. Benar saja, Lui Siok masih menanti di situ dengan tersenyum-senyum mengejek. “Awas pedang!” seru Tin Eng yang sama sekali tidak memperdulikan lawannya yang bertangan kosong. Seruannya ini dibarengi dengan tusukan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa. Tadinya Lui Siok mengira bahwa ia akan menghadapi ilmu pedang Go-bi, dan melihat tingkat nona itu, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi pedang nona itu dengan tangan kosong, mengandalkan lweekangnya yang jauh lebih kuat dan ilmu silatnya Siauw- kin-na Jiu-Hoat yang lihai. Akan tetapi, setelah nona itu menyerang bertubi-tubi dengan hebat sekali membuat ia harus melompat kesana ke mari menghindarkan diri, terkejutlah dia! Ilmu pedang ini sama sekali bukan ilmu pedang Go-bi-pai dan hebatnya bukan main! Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti ini.

Biasanya menghadapi ilmu pedang biasa, ia berani menghadapi dengan kedua tangannya mengandalkan lweekang dan ilmu silatnya. Akan tetapi melihat betapa pedang ditangan gadis itu, cara menusuk dan membacoknya berbeda dengan ilmu pedang yang lain, yakni tusukannya digetarkan dan bacokannya dibarengi gerakan mengiris, ia tidak berani berlaku gegabah dan tidak mau coba-coba untuk menangkap dan merampas pedang itu. Menghadapi serangan-serangan ini, Lui Siok tidak berani main-main lagi, bahkan kini ia berhenti tersenyum dan tak dapat mengeluarkan kata-kata ejekan lagi, akan tetapi mengerahkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menjaga diri.

Lui Siok benar-benar lihai, karena setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, pedang di tangan Tin Eng belum juga berhasil sama sekali. Gerakan kakek ini terlampau gesit dan tangannya yang kuat itu benar-benar lihai. Tiap kali pedang Tin Eng dengan gerakan aneh hampir berhasil mengenai tubuhnya, ia lalu mempergunakan jari-jari tangannya dikepretkan ke arah pedang sehingga senjata itu terpental dan tidak mengenai sasaran. Tin Eng benar-benar merasa terkejut sekali.

Akhirnya Lui Siok mengambil keputusan untuk mempergunakan senjatanya yang jarang sekali dikeluarkannya oleh karena ia maklum bahwa dengan hanya mengandalkan sepasang tangannya saja, sukarlah baginya untuk memperoleh kemenangan terhadap gadis yang lihai sekali ilmu pedangnya itu. Ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah melepaskan sehelai sabuknya yang aneh, karena sabuknya ini ternyata adalah seekor ular belang yang telah kering akan tetapi masih lemas seperti hidup saja.

Inilah yang membuat dia diberi julukan si Ular Belang, karena senjatanya ini pernah menggemparkan dunia kang-ouw. Lui Siok adatnya sombong dan angkuh, maka apabila tidak menghadapi musuh yang benar-benar tangguh, ia jarang sekali mau mempergunakan senjatanya ini.

Tin Eng merasa agak geli melihat ular itu, dan juga jijik sekali, akan tetapi itu bukan berarti bahwa ia takut. Dengan cepat ia menyerang lagi dan ketika senjata ular itu menangkis, Tin Eng terkejut sekali karena bukan saja ular itu ternyata keras bagaikan logam, akan tetapi tangkisan itu membuat tangannya gemetar. Demikian hebatnya tenaga lweekang dari Lui Siok ini.

Tin Eng terus menyerang dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu kepandaian Lui Siok amat lihai dan tingkatnya masih lebih tinggi dari padanya. Perlu diketahui bahwa twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua) dari Gan Bu Gi atau murid yang paling lihai dari Bong Bi Sianjin, Lui Siok ini tentu saja mempunyai kepandaian yang amat tinggi, ditambah pula dengan pengalamannya bertempur yang sudah puluhan tahun, maka kini Tin Eng merasa terdesak hebat.

Betapapun juga, gadis itu masih dapat mempertahankan diri sampai hampir lima puluh jurus. Akhirnya, sebuah serangan dengan sabetan ular itu ke arah lehernya membuat Tin Eng terkejut dan memperlambat gerakan pedang karena ia harus melompat ke pinggir melindungi lehernya.

Kesempatan ini dipergunakan dengan baik oleh Lui Siok yang mempergunakan tangan kirinya menyerang dengan ilmu silat mencengkeram. Sebelum Tin Eng dapat menarik, pedangnya itu telah dapat dicengkeram dan dirampas. Gadis ini masih nekad dan hendak merampas kembali pedangnya, akan tetapi pedang itu digerakkan oleh Lui Siok ke arah dada gadis itu dengan ancaman tusukan. Tin Eng miringkan tubuh dan “brett!” robeklah baju Tin Eng di bagian pinggang.

“Ha ha ha! Kau benar-benar lihai! Lihai, cantik dan galak. Kecantikan dan kepandaianmu memang membuat kau patut menjadi nyonya Gan Bu Gi, akan tetapi sayang kau terlalu galak. Kalau aku tak ingat bahwa kau adalah anak murid Seng Le Hosiang dan calon isteri Gan-sute, tentu kau telah menggeletak tak bernyawa di depan kakiku!”

Sambil berkata demikian, Lui Siok menggerakkan tangannya mencengkeram pedang itu dan “kreek!” patahlah pedang Tin Eng yang telah dirampas tadi. Kemudian ia melompat ke arah tembok dan lenyap dari pandangan mata Tin Eng yang marah dan penasaran sekali.

Kemudian ia mendengar dari pamannya yakni Lie-wangwe, betapa Touw Cit dan Touw Tek telah dibebaskan dari penjara oleh tihu karena ancaman Lui Siok yang lihai itu. Tin Eng menarik napas panjang dan berkata,

“Mereka memang lihai sekali. Baru terhadap seorang lawan saja aku dapat dikalahkannya, apalagi kalau mereka itu mengeluarkan jago-jago yang lain. Pek-hu, lebih baik untuk sementara waktu kita jangan mencari permusuhan dengan mereka. Kecuali kalau mereka datang mengganggu, aku akan pertaruhkan nyawaku untuk membela diri. Kalau saja Gwat Kong berada di sini, tentu mereka itu akan disapu bersih. Tanpa adanya Kang-lam Ciu-hiap, mereka terlalu berat bagiku.”

Song Bu Cu, ketua Hek-i-pang adalah seorang cerdik, maka setelah berhasil membebaskan Touw Cit dan Touw Tek, ia melarang orang-orangnya untuk mengganggu kota Hun-lam. Ia adalah seorang yang ingin bekerja dengan aman, tidak suka lagi mempergunakan kekerasan seperti dulu-dulu. Ia ingin agar supaya keadaan di Hun-lam menjadi ‘dingin’ dulu untuk kemudian menggunakan kecerdikan untuk mengeduk uang para hartawan dan pembesar.

Apalagi setelah ia mendengar dari Lui Siok bahwa Kang-lam Ciu-hiap yang menjadi musuh mereka telah pergi dan mendengar bahwa Sian-kiam Lihiap ternyata adalah tunangan Gan Bu Gi dan anak murid Seng Le Hosiang, maka tentu saja Song Bu Cu tidak berani mengganggunya.

Melihat keadaan yang aman dan tidak adanya gangguan dari pihak penjahat, tidak saja mendatangkan rasa heran kepada Tin Eng, akan tetapi juga perasaan lega, karena tanpa ada pembantu yang pandai, ia merasa percuma untuk memusuhi gerombolan yang memiliki banyak orang pandai itu. Kini ia merasa benci kepada Gan Bu Gi karena ternyata bahwa pemuda itu mempunyai seorang suheng yang berjiwa penjahat. ****

Gwat Kong melakukan perjalanan dengan perlahan, tidak tergesa-gesa dan orang-orang yang melihatnya akan menyangka bahwa ia adalah seorang pemuda pelancong yang lemah. Sama sekali takkan menyangka bahwa ia adalah Kang-lam Ciu-hiap, pendekar muda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw dan dalam waktu singkat telah membuat nama besar dengan mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap dan mengobrak-abrik anggauta-anggauta Hek-i-pang di kota Hun-lam.

Ia ingin pergi lagi ke Ki-hong di mana terdapat makam ibunya dan hendak bersembahyang di depan makam ibunya. Setelah ia selesai bersembahyang dan berjalan perlahan-lahan keluar dari tanah kuburan itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis sedih sekali. Hatinya menjadi tergerak dan ikut terharu.

Siapakah yang menangis di kuburan itu? Suaranya menyatakan bahwa yang menangis adalah seorang laki-laki, agaknya menangisi mendiang orang tuanya atau isterinya. Biarpun hal itu tiada sangkut pautnya dengan dia, akan tetapi oleh karena Gwat Kong mempunyai perasaan halus dan hatinya mudah tergerak, ia lalu membelokkan langkah kakinya menuju ke arah suara yang menangis itu.

Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang laki-laki tua. Seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Pakaiannya biarpun putih bersih akan tetapi penuh tambalan. Di dekatnya terdapat sebuah pikulan dan keranjang terisi daun-daun dan akar-akar obat-obatan. Kakek inilah yang mengeluarkan suara tangisan demikian sedihnya sambil memukul-mukul tanah dan menjambak-jambak rambutnya.

Akan tetapi tak mungkin dia dia menangisi orang yang sudah mati, oleh karena ia tidak duduk di depan makam tertentu. Akan tetapi duduk di bawah pohon sambil memandang ke arah gundukan-gundukan tanah kuburan itu. Ketika Gwat Kong berdiri agak jauh sambil memandang heran, ia mendengar keluh kesah kakek itu di antara tangisnya.

“Dasar aku yang bernasib buruk Hidupku yang lampau terlalu banyak dosa, maka aku

harus menderita entah berapa tahun lagi ... ah ... nasib ... aku sudah bosan hidup !” Kata-

kata ‘bosan hidup’ ini ia teriakan beberapa kali sambil mengangkat kedua tangan dan memandang ke angkasa, seakan-akan ia hendak mengajukan protesnya kepada langit biru.

Gwat Kong makin terheran-heran melihat sikap kakek ini. Mengapakah kakek ini begitu sedih? Siapakah gerangan orang aneh yang sudah bosan hidup ini dan apa pula yang menyusahkan hatinya? Terdorong oleh rasa kasihan, pemuda itu melangkah maju mendekati dan bertanya,

“Lopeh, agaknya ada sesuatu yang menyusahkan hatimu. Apakah yang mengganggumu dan dapatkah kiranya aku menolongmu?”

Kakek itu mengangkat muka dan memandang. Gwat Kong tercengang karena sepasang mata kakek itu bersinar tajam dan kuat sekali sehingga ia tak kuat menatapnya lama-lama. Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan hal ini kembali membuat Gwat Kong tertegun keheranan. Baru saja kakek itu menangis demikian sedihnya sehingga air matanya masih nampak mengalir di sepanjang pipinya, akan tetapi kini telah dapat tertawa bergelak.

“Kau mau menolongku? Ha ha, boleh! Cabut pedangmu itu dan seranglah aku!”

Gwat Kong terkejut sekali. Pedangnya Sin-eng-kiam ia sembunyikan di balik jubahnya. Bagaimana kakek ini bisa tahu bahwa ia membawa pedang?

“Akan tetapi .... aku ... tidak mempunyai maksud jahat, lopeh? Sesungguhnya dengan tulus hati aku ingin menolongmu kalau aku dapat.”

Tiba-tiba kakek itu berdiri dan menyambar pikulannya yang terbuat dari pada bambu kuning melengkung di bagian tengah, hampir menyerupai sebatang gendewa.

Posting Komentar