Pendekar Pemabuk Chapter 34

NIC

Sementara Tin Eng lalu menjura, “Ah, Lie peh-peh! Lupakah kau kepada Tin Eng?”

Untuk sejenak Lie-wangwe yang juga bangkit berdiri itu memandang dengan heran, kemudian ia berseru,

“Apa...?? Kau ... Tin Eng anak Liok Ong Gun ?”

“Benar, peh-peh dan apakah selama ini peh-peh dan peh-bo baik-baik saja?” Mendengar pertanyaan ini tiba-tiba air mata menitik turun dari kedua mata orang tua itu. Tin Eng terkejut dan segera bertanya,

“Ada apakah, pek-hu? Apakah yang terjadi?” tanyanya kuatir. “Peh-bomu .... telah meninggal dunia tiga bulan yang lalu ...”

“Ah ...” Tin Eng mengeluh dengan hati terharu. Lalu keponakan dan paman ini saling tubruk di antara hujan air mata. “Bagaimana peh-bo bisa meninggal dunia, peh-peh ...?” tanya Tin Eng di antara tangisnya.

“Dia menderita sakit jantung ... tak dapat diobati lagi ...” Orang tua ini menarik napas panjang. Lalu berkata sambil mengelus-elus rambut Tin Eng. “Akan tetapi semua itu telah menjadi takdir Thian Yang Maha Kuasa harta benda tak dapat menghibur hati orang yang

berduka. Tak dapat menahan nyawa yang telah dipanggil oleh Thian! Sudahlah, keringkan air matamu, Tin Eng. Tangismu hanya membuat aku merasa pilu.”

Tin Eng lalu duduk kembali di kursinya dan mengeringkan air matanya dengan sapu tangannya.

“Nah, sekarang ceritakanlah keadaanmu, nak. Kau datang dari mana dan mengapa seorang diri saja? Dan kawanmu ini siapakah? Apakah ayah-ibumu baik-baik saja?

Baru saja Tin Eng mengeringkan airmatanya, akan tetapi kini mendengar pertanyaan ini, ia menangis lagi. Tangisnya bahkan lebih sedih lagi sehingga tubuhnya terisak-isak dan ia menggunakan sapu tangan untuk menutupi mukanya. Gwat Kong menggeleng kepalanya dan menghela napas. Ia merasa ‘bohwat’ (kehabisan akal) menyaksikan pertunjukkan tangis menangis ini.

Kini Lie-wangwe yang nampak terkejut dan segera bertanya mengapa keponakannya itu menangis sedemikian sedihnya. Dengan terisak-isak Tin Eng menceritakan kepada pamannya betapa ia hendak dipaksa menikah oleh orang tuanya dan karena ia tidak suka, maka ia lalu melarikan diri.

Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm, tidak seharusnya kau membikin susah hati orang tuamu, Tin Eng. Seorang anak wajib menurut sebagai seorang anak berbakti terhadap orang tuanya.”

“Akan tetapi, pek-hu, kalau hendak dijodohkan dengan seorang yang tak ku suka, apakah aku harus menurut saja?” tanya Tin Eng penasaran dan pamannya tersenyum.

“Aah, beginilah kalau anak perempuan pandai ilmu silat. Kabarnya kau memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, melebihi ayahmu! Benarkah?”

Tin Eng diam saja dan menundukkan kepalanya.

“Sudahlah, jangan kau berduka. Urusan ini akan kucoba damaikan dengan orang tuamu. Kau tinggallah di sini untuk sementara waktu. Hitung-hitung menghibur hati pamanmu. Hidupku sunyi sekali semenjak bibimu meninggal. Aku seorang bernasib malang, tidak mempunyai anak, dan isteri meninggal dunia dalam usia belum tua, Aaah biarlah kau menjadi seperti anakku sendiri, Tin Eng. Aku akan menulis surat kepada ayah-ibumu minta agar mereka tidak terlalu memaksa.”

“Terima kasih, pek-hu.”

“O, ya! Kau belum ceritakan, siapakah orang muda ini?” tanyanya. Dan Gwat Kong menarik napas lega, karena tadinya ia kuatir kalau-kalau kedua orang itu telah melupakan sama sekali bahwa ia berada pula di tempat itu.

“Dia adalah Bun Gwat Kong, seorang pendekar yang diberi julukan Kang-lam Ciu-hiap!” kata Tin Eng yang lalu menceritakan bahwa ketika ia mendapat halangan di tengah perjalanan dan hampir mendapat celaka di tangan Ngo-heng-kun Ngo-hiap. Ia mendapat pertolongan dari pemuda ini yang bahkan mengantarkan sampai di Hun-lam. Tentu saja Tin Eng tidak menceritakan bahwa pemuda itu bukan lain ialah bekas pelayan ayahnya sendiri!

Mendengar bahwa pemuda itu berjuluk Ciu-hiap atau Pendekar Arak, Lie Kun Cwan menjadi girang sekali dan segera berkata,

“Aah, tidak tahunya kau seorang pendekar muda yang gagah berani! Ciu-hiap, melihat nama julukanmu, kau tentu suka sekali minum arak. Dalam hal ini kita mempunyai kesukaan yang sama!” Hartawan itu tertawa bergelak lalu memberi perintah kepada seorang pelayan untuk segera mengeluarkan araknya yang terbaik.

“Marilah kita minum arak, hendak kusaksikan sampai di mana kekuatanmu minum!” Kemudian ia memanggil seorang pelayan wanita dan memberi perintah untuk membereskan sebuah kamar besar untuk Tin Eng.

“Tin Eng kau membereslah sendiri kamar menurut sesuka hatimu. Segala kekurangan boleh kau minta kepada pelayan itu. He, A-sui! Kau layani nonamu baik-baik!”

Melihat sikap yang manis dan kebebasan pamannya ini, Tin Eng merasa girang sekali dan segera ia meninggalkan ruangan itu bersama pelayan muda yang membawanya ke ruang dalam. Sementara itu, dengan girang dan sebagian besar kedukaannya terlupa, Lie-wangwe lalu mengajak Gwat Kong minum arak. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar- benar kuat sekali minum araknya yang wangi, Lie-wangwe merasa gembira sekali. Ia sendiri adalah seorang ‘setan arak’ akan tetapi sekarang ia menemukan tandingan.

Tak lama kemudian Tin Eng muncul lagi dan ternyata gadis itu telah berganti pakaian yang lebih longgar dan rambutnya telah di sisir rapi. Mukanya nampak segar karena gadis ini telah mandi dan tukar pakaian. Sungguhpun sepatunya masih sepatu kulit yang tadi ia pakai, yakni sepatu yang kuat dan yang biasa dipakai oleh ahli-ahli silat.

“Ha ha, Tin Eng! Kawanmu ini benar-benar Pendekar Arak! Hebat sekali. Lihat, ia telah menghabiskan lima cawan arak wangi yang keras. Akan tetapi mukanya sama sekali tidak berobah. Padahal aku telah merasa betapa pelupuk mataku berdenyut-denyut tanda bahwa hawa arak mulai naik. Ha ha ha! Kalian menggirang hatiku. Kedatangan kalian benar-benar menggembirakan hatiku.” Gwat Kong melirik ke arah Tin Eng dan dengan matanya gadis itu memberi tanda bahwa ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu yang telah menyenangkan hati pamannya yang sedang berduka.

Pada saat itu, dari luar terdengar suara keras,

“Lie-wangwe! Sumbanganmu untuk bulan ini lagi-lagi terlambat! Kau harus didenda dengan tiga cawan arak wangi dan uang tambahan istimewa sepuluh bagian!”

Mendengar suara ini, Lie Kun Cwan mengerutkan keningnya, “Aah, celaka! Sedang senang- senangnya, datang lagi buaya darat yang menjemukan!”

Akan tetapi ia segera memanggil pelayannya dan berkata, “Sediakan uang lima puluh tail perak dan tambahan lima tail lagi dan ambil cawan kosong.”

Pada saat itu, seorang laki-laki baju hitam yang bertubuh tinggi besar melangkah masuk dengan tindakan kaki lebar, diiringkan oleh seorang pelayan yang kelihatan takut. Orang itu selain tinggi besar, juga wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah bangsa orang kasar yang hidup di kalangan liok-lim, dengan matanya yang lebar dan alisnya yang tebal serta brewokan yang kaku.

Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, membuat ia nampak gagah sekali. Di lihat dari ikat kepalanya, bajunya yang hitam dan celananya yang putih sampai ke sepatunya yang mengkilap, ia adalah seorang yang mewah, karena semua pakaiannya terbuat dari pada bahan kain yang mahal.

Melihat kedatangan orang ini, Lie-wangwe dengan cepat segera berdiri dan menjura,

“Ah, ji-kauwsu, silahkan duduk! Kebetulan sekali kami sedang minum arak, mari aku akan membayar denda itu dengan pernyataan maaf akan kelambatanku.”

Orang tinggi besar itu, yang disebut ji-kauwsu (guru silat kedua) itu mempergunakan sepasang matanya yang besar untuk memandang ke arah Gwat Kong dengan penasaran dan tak puas karena melihat pemuda yang tak dikenal ini sama sekali tidak mau berdiri menyambutnya dan memberi hormat kepadanya. Ia hendak menegur, akan tetapi pada saat itu ia dapat melihat Tin Eng yang sedang berdiri menyadar tiang. Kemarahannya lenyap, terganti oleh senyum menyeringai yang dimaksudkan untuk memperindah mukanya yang tak sedap dipandang, sehingga mukanya nampak makin menjemukan.

Bagitu melihat orang ini, baik Tin Eng maupun Gwat Kong merasa tak suka dan jemu. Akan tetapi oleh karena mereka belum tahu apa hubungan orang ini dengan Lie-wangwe, maka mereka diam saja sambil memandang saja.

Sementara itu, ketika melihat Tin Eng yang cantik molek berada di situ, si baju hitam yang tinggi besar lalu tertawa bergelak,

“Lie-wangwe, tidak tahunya kau sedang menjamu dua orang tamu. Ha ha, tentu saja aku tidak menolak tawaran arak wangi. Harap kau perkenalkan aku kepada dua orang tamumu ini, Lie- wangwe!” Sambil berkata demikian, ia menjura kepada Tin Eng yang sama sekali tidak dibalas oleh gadis itu yang hanya tersenyum mengejek.

“Duduklah, ji-kauwsu!” kata Lie Kun Cwan membujuk karena ia merasa tidak enak melihat sikap orang itu. “Dan marilah minum arak ini. Dia adalah seorang keponakanku, bukan tamu dan pemuda inilah yang menjadi tamuku.”

Akan tetapi orang tinggi besar itu nampak mendongkol sekali. “Aku tidak biasa duduk seorang diri sedangkanan orang lain hanya berdiri menonton saja. Lie-wangwe, apakah aku Hun-lam Ji-kauwsu Touw Tek (Touw Tek si Jago Silat Nomor Dua di Hun-lam) terlampau rendah untuk duduk minum arak semeja dengan keponakanmu?”

“Ah, tidak, tidak! Bukan demikian, ji-kauwsu, hanya karena keponakanku itu tidak biasa minum arak. Tin Eng ... kau masuklah saja ...” Lie-wangwe nampak gelisah sekali.

Hal ini membuat Gwat Kong merasa mendongkol bukan main. Ia memberi isyarat dengan mata kepada Tin Eng yang sudah merasa ‘gatal-gatal’ tangannya menyaksikan lagak orang tinggi besar itu.

“Lie-lopeh.” Katanya dan ikut-ikutan menyebut lopeh (uwa) kepada hartawan itu. “Sebetulnmya apakah kehendak ji-kauwsu ini datang ke rumahmu?”

“Ji-kauwsu ini datang hendak menerima sumbangan bulanan yang harus kuserahkan untuk biaya penjagaan kota,” jawab Lie-wangwe. “Twa-kauwsu (guru silat pertama) Touw Cit dan ji-kauwsu ini adalah dua orang saudara yang menjaga keamanan kota Hun-lam. Aku diwajibkan membayar sumbangan lima puluh tail perak sebulan.”

“Kalau kami tidak menjaga dan ada perampok datang, tidak hanya semua uang dan harta benda akan lenyap, bahkan nyawapun belum tentu akan dapat diselamatkan!” kata Touw Tek yang tinggi besar itu sambil membusungkan dada.

GWAT Kong mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring dan mengejek. “Orang yang menjual kepandaian dapat disebut pengemis, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi kalau kepandaian digunakan untuk memeras dan berlagak, maka ini sudah keterlaluan sekali!”.

Sambil berkata demikian, Gwat Kong minum arak dari cawannya.

Posting Komentar