“Ha ha ha, nona manis, kau hendak lari ke mana? Kau seperti tikus terjebak ke dalam kurungan, ha ha ha!” Lim Hwat menyindir sambil putar-putar cambuknya yang terlihai di antara senjata-senjata adik-adiknya.
“Menyerahlah untuk menjadi bini mudaku saja!” Oey Sian yang terkenal mata keranjang berkata, sehingga Tin Eng menjadi marah dan mendongkol sekali. Gadis ini menggigit bibirnya dan mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Ia rela mati dalam pertempuran ini akan tetapi sedikitnya ia harus dapat membunuh pula seorang atau dua orang lawannya.
Akan tetapi, sebelum ia dapat menjatuhkan korban, tiba-tiba ujung cambuk Lim Hwat telah meluncur dan membelit kedua kakinya. Tin Eng menggerakkan pedang menyabet ke arah cambuk, akan tetapi tongkat Lim Can menangkis pedangnya itu dan berbareng pada saat itu, Lim Hwat mengerahkan lweekangnya dan sambil berseru keras ia membetot cambuknya. Tak dapat dicegah lagi tubuh Tin Eng terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan.
Akan tetapi sebelum terjadi hal yang lebih hebat lagi, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Tin Eng merasa betapa tubuhnya disambar oleh sebuah tangan yang cepat dan kuat sekali, kemudian orang itu lalu melompat keluar dari kepungan, sebelum kelima orang itu sempat sadar dari rasa heran dan terkejut mereka.
Ketika Tin Eng diturunkan dari pondongan orang itu dan memandang, ia menjadi bengong. Sepasang matanya yang indah dan bening itu terpentang lebar-lebar dan memandang bodoh, sedangkan mulutnya celangap tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Ternyata bahwa orang yang menolongnya tadi adalah Gwat Kong sendiri yang kini berdiri di depannya dengan senyum manis di bibirnya dan seri gembira pada wajahnya.
“Jangan marah, siocia. Aku akan berusaha membalas mereka dan menebus kekalahanmu!” Merahlah seluruh muka Tin Eng karena suara pemuda itu masih saja halus merendah seperti ketika menjadi pelayannya dulu. Ia tidak dapat menjawab sesuatu, hanya memandang dengan masih bengong ketika pemuda itu dengan tindakan kaki tenang dan perlahan menghampiri kelima jagoan Ngo-heng-tin yang berdiri dengan heran pula.
“Ah, pantas saja nona itu berani bersikap sombong, tidak tahunya dia membawa seorang pembantu yang pandai!” kata Lim Hwat mencoba menyembunyikan kekagumannya.
“Tentu kau pula yang kemarin mempermainkan kami?” kata Lim Can sambil memandang tajam dan menggerak-gerakkan tongkat naganya dengan sikap mengancam.
“Ngo-wi Lo-enghiong (tuan-tuan berlima yang gagah), hal ini tidak perlu kita persoalkan sekarang, yang terpenting ialah bahwa sebenarnya tidak sepatutnya kalau kalian yang tersohor sebagai orang-orang gagah yang menjagoi daerah ini, merampas kitab milik seorang nona muda. Apakah kalian tidak merasa malu, kalau hal ini sampai terdengar oleh orang-orang gagah sedunia? Apakah benar-benar kalian yang telah memiliki kepandaian tinggi ini ingin pula mencuri ilmu pedang nona ini?”
“Enak saja kau membuka mulut!” seru Lim Hwat dengan marah. “Siapa yang mencuri ilmu pedang? Bukan kami, kalau tidak, kami takkan mau memberi ampun kepadanya!”
Gwat Kong memandang heran. “Bagaimana kalian bisa menyatakan bahwa kitab ilmu pedang itu adalah hak milik kalian? Sepanjang pengetahuanku pemiliknya adalah orang yang disebut Bu-eng-sian.”
Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba kelima orang itu lalu maju mengurung Gwat Kong, “Di manakah setan tua itu? Apakah dia belum mampus?” tanya Oey Sian.
Gwat Kong menggeleng kepala. Kini ia ketahui nama Bu-eng-sian, maka ia berkata dengan tenang. “Leng locianpwe telah meninggal dunia karena luka-lukanya yang diderita dan yang disebabkan oleh pukulan-pukulan kalian yang kejam. Sebetulmya mengapakah kalian memusuhinya? Apakah karena kitab itu?”
Terdengar seruan kecewa dari Lim Hwat. “Agaknya kau kenal baik kepada setan tua itu, anak muda. Aku memberi nasehat agar supaya kau bicara terus terang. Ketahuilah bahwa pada beberapa belas tahun yang lalu, kami berlima dengan Leng Po In adalah sahabat-sahabat baik dan kami berlima bersama dia mendapatkan kitab dan pedang Sin-eng-kiam di dalam sebuah gua di bukit Thai-san. Akan tetapi, secara curang sekali orang she Leng itu membawa lari kitab dan pedang.
Bertahun-tahun kami berlima mencarinya dan akhirnya berhasil melukainya, akan tetapi kitab dan pedang itu telah disembunyikan entah di mana. Kini tahu-tahu gadis ini pandai mainkan Sin-eng Kiam-hoat. Bukankah itu berarti bahwa dia telah mencuri ilmu pedang yang menjadi hak kami? Kitab yang kami ambil hanyalah salinan dari Leng Po In dan kami menuntut dikembalikannya kitab asli dan pedang Sin-eng-kiam.”
Gwat Kong tidak tahu bahwa Lim Hwat membohong dalam penuturannya ini karena sesungguhnya yang mendapatkan kitab dan pedang itu adalah Leng Po In sendiri. Mereka berlima melihat hal ini dan berusaha merampasnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak tahu, namun melihat sikap mereka yang galak ini. Gwat Kong dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah orang baik-baik, maka ia lalu menjawab,
“Nona Liok ini tanpa disengaja dapat mempelajari Sin-eng Kiam-hoat, bahkan aku sendiripun telah mempelajarinya. Kami berdua tidak tahu menahu tentang perebutan kitab dan pedang.
Dan apabila kedua benda itu terjatuh ke dalam tangan kami yang tidak sengaja menemukannya, maka sekarang benda-benda itu adalah menjadi hak milik kami!”
“Bangsat benar!” seru Oey Sian yang menjadi marah. “Kalau begitu, kau dan nona itu harus mampus!”
“Cobalah!” tantang Gwat Kong sambil tersenyum tenang.
“Bunuh dia dan tangkap nona itu!” teriak Lim Hwat dan kelima orang itu kembali bergerak dan mengurung Gwat Kong dalam lingkaran Ngo-heng-tin mereka yang lihai. Leng Po In sendiri yang berjuluk Bu-eng-sian dulu roboh oleh karena kelihaian Ngo-heng-tin ini sehingga mendapat luka-luka berat. Maka Gwat Kong yang tadi telah menyaksikan kehebatan barisan Lima Daya ini, segera mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya.
Melihat berkelebatnya pedang itu, kelima orang lawannya berseru hampir berbareng, “Sin-eng-kiam!”
Gwat Kong menggerak-gerakkan pedangnya sambil tersenyum dan berkata, “Ya, memang ini Sin-eng-kiam, akan tetapi aku menerimanya secara sah dari penemunya, yakni dari Leng Locianpwe sendiri.”
“Kalau begitu, kitab aslinya juga berada padamu!” bentak Lim-hwat.
GWAT Kong mainkan senyum pada bibirnya dan bertanya,” Kalau benar demikian kalian mau apa?”
“Bangsat!” Lim Can memaki dan mengayunkan tongkat naga dari belakang, mulai menyerang ke arah kepala Gwat Kong. Akan tetapi pemuda itu dengan tenangnya mengelak ke pinggir dan berdiri diam tak bergerak, menanti datangnya serangan lawan yang lain. Serangan itu tidak kunjung datang, karena sesungguhnya gerakan Ngo-heng-tin dilakukan dengan otomatis yakni kalau orang yang terkurung itu melakukan serangan. Barulah orang-orang yang berdiri di belakangnya maju menyerang sedangkan orang yang berada di depan dibantu oleh seorang kawan terdekat melakukan tangkisan.
Gwat Kong tertawa bergelak-gelak karena mereka juga diam saja tidak mau menyerang dulu. “Eh he, mengapa kalian berdiam saja! Apakah takut menyerangku? Kalau begitu, baiklah, aku yang akan menyerang. Kalian berhati-hatilah!”
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri Gwat Kong mencabut sulingnya dan mulai menyerang ke depan dengan suling itu. Sebagaimana yang ia duga, ketika dua orang lain di belakangnya maju menyerang dengan hebat sekali. Akan tetapi Gwat Kong sudah tahu akan hal ini, maka ia tanpa menoleh lalu mengangkat tangan kanannya dan menggunakan Sin-eng- kiam utk diputar sedemikian rupa hingga tiga buah senjata lawan kena tertangkis, sedangkan dengan sulingnya ia tetap mendesak lawan yang berada di depan.
Gwat Kong sengaja melancarkan serangan-serangannya kepada Lim Hwat yang bersenjata cambuk panjang dan Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga, karena selain dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi, juga senjata-senjata mereka lebih panjang sehingga kalau dibiarkan melakukan serangan dari jarak jauh, ia akan menderita rugi. Maka ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Garuda Sakti Mencari Ikan yang dimainkan oleh suling di tangan kirinya.