Pendekar Pemabuk Chapter 25

NIC

“Jangan sekarang, siocia. Lebih baik besok pagi, karena tidak baik malam-malam mendatangi tempat mereka. Dan pula mereka itu terkenal sebagai jagoan-jagoan yang lihai. Apakah tidak berbahaya kalau kau datang ke sana?”

“Aku tidak takut!” jawab Tin Eng dengan sikap gagah. “Tadipun kalau mereka tidak berlaku curang, belum tentu aku akan kalah! Pendeknya, lihai atau tidak, aku harus datang ke sana mengadu nyawa untuk merampas kembali kitab itu!”

“Kau benar-benar hebat dan gagah sekali, Liok-siocia.” Tiba-tiba sepasang mata Gwat Kong memandang dengan penuh kekaguman dan mesra sekali. Akan tetapi oleh karena keadaan tidak begitu terang, Tin Eng tidak melihat pandang mata itu.

Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan berjalan di bawah sinar bulan kembali ke kota Ki- ciu. Gwat Kong mengantarkan Tin Eng sampai di hotelnya dan ketika gadis itu bertanya di mana tempat pemuda itu, Gwat Kong menjawab sambil tersenyum,

“Aku juga seorang perantau seperti kau sendiri, siocia. Akan tetapi, aku tidak bisa tidur di hotel sebesar ini.”

“Kalau begitu, kau minta saja sebuah kamar, biar aku yang akan membayar ” Tiba-tiba Tin

Eng menghentikan omongannya, karena ia teringat betapa ia sendiripun belum tentu dapat membayar sewa kamarnya.

Gwat Kong mengerti akan keraguan gadis itu maka ia tersenyum dan berkata, “Jangan kuatir, nona. Bagiku sih mudah saja, tidur di kelenteng atau di emper rumah pun cukup dan tentang uang sewa kamarmu, tak usah kau kuatir pula, kalau memang kau telah kehabisan uang dan semua uangmu telah dicuri orang biarlah besok kucarikan uang pembayaran sewa kamar itu.” Tin Eng menarik napas lega. Selalu pemuda ini dapat memecahkan kesulitannya sehingga ia merasa berterima kasih sekali.

“Nah, selamat malam, nona. Besok pagi-pagi aku akan datang ke sini untuk mengantarkan kau ke tempat mereka itu.”

“Selamat malam, Gwat Kong dan ... kau maafkanlah segala kekasaranku terhadapmu dulu!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara isak di tenggorokan.

“Jangan sebut lagi hal itu, siocia” kata Gwat Kong yang melangkahkan kaki untuk meninggalkan ruangan hotel.

“Dan ... terima kasih kepadamu, Gwat Kong, kau .. kau baik sekali.”

Gwat Kong menengok dan tersenyum, wajahnya yang tersorot lampu di ruang hotel itu nampak tampan dan berseri girang. “Tidurlah, siocia!” katanya, kemudian ia menghilang di dalam gelap.

Tin Eng masuk ke dalam kamarnya dan malam itu ia tidur dengan nyenyak seakan-akan berada di dalam kamarnya sendiri di gedung ayahnya. Biarpun semenjak siang tadi ia belum makan, akan tetapi ia tidak merasa lapar dan semua kedukaannya lenyap kalau ia mengingat bahwa besok pagi ia akan pergi ke tempat lima jago tua yang telah mengambil kitabnya itu bersama Gwat Kong.

****

Mari kita ikuti dulu perjalanan Gwat Kong semenjak ia berpisah dari Gui A Sam bekas kepala pengawal mendiang ayahnya itu. Tertarik oleh penuturan A Sam tentang diri Dewi Tangan Maut, puteri tunggal hartawan Tan, musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, ia lalu berangkat menuju ke Kang-lam.

Ia dapat mencari rumah hartawan Tan, akan tetapi ternyata rumah gedung itu ditutup rapat dan tidak ada penghuninya dan ketika ia mencari keterangan, ternyata bahwa pemilik rumah gedung itu, yakni yang disebut oleh orang-orang di Kang-lam sebagai Tan-lihiap sedang pergi merantau. Orang memberi keterangan kepada Gwat Kong menambahkan,

“Kalau saja Tan-lihiap berada di sini, tak mungkin dua orang penjahat itu berani mengacau!” Gwat Kong tertarik hatinya. “Penjahat yang manakah?”

“Kau belum tahukah, kongcu? Bukankah ada pengumuman ditempel di mana-mana? Pembesar di sini telah menjanjikan hadiah besar bagi siapa yang dapat menangkap kedua orang penjahat itu!”

“Aku baru saja datang dari luar kota, mana aku tahu akan segala peristiwa yang terjadi di sini? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?”

“Kalau kongcu benar-benar tertarik dan ingin tahu, lebih baik kongcu datang kepada tihu di tempat ini untuk mendapatkan keterangan lebih jelas lagi. Aku tidak berani banyak bicara, oleh karena kedua penjahat itu lihai sekali dan pernah ada orang yang membicarakan mereka, pada malam harinya didatangi dan dibunuh.”

Bukan main herannya hati Gwat Kong mendengar ini. Akan tetapi ia tidak bisa mendapat keterangan selanjutnya dari orang yang ketakutan itu, maka terpaksa ia lalu mengarahkan langkahnya ke gedung tihu.

Tihu di Kang-lam orangnya ramah tamah dan Gwat Kong disambut dengan baik sekali olehnya sehingga pemuda ini merasa suka. Karena jarang pada dewasa itu menemui seorang pembesar sedemikian baik dan ramah sikapnya.

“Telah hampir sebulan kota kami mendapat gangguan dua orang penjahat,” tihu itu mulai menerangkan. “Kami telah berusaha sedapatnya untuk menangkap mereka akan tetapi selalu gagal. Banyak orang di kota ini tak sanggup menghadapi mereka yang amat lihai. Apakah kedatangan hiante ini hendak membantu kami?”

“Hendak saya coba, taijin dan mudah-mudahan saja tenagaku yang lemah dapat merupakan bantuan sekedarnya.”

Melihat sikap yang sopan santun dan merendah dari Gwat Kong, berbeda dengan sikap orang- orang ahli silat lainnya, tihu itu merasa ragu-ragu akan tetapi juga girang sekali. Ia lalu memerintahkan pelayannya untuk mengeluarkan hidangan dan arak wangi, sedangkan Gwat Kong yang telah beberapa hari tidak mencium bau arak wangi tanpa sungkan-sungkan lagi lalu minum dengan lahapnya.

Tihu itu merasa heran dan gembira melihat betapa Gwat Kong kuat sekali minum arak. Berkali-kali ia memerintahkan pelayan menambah arak sehingga sebentar saja Gwat Kong telah menghabiskan hampir lima belas cawan besar arak wangi yang amat keras. Bukan main herannya tihu itu beserta para pelayan karena orang biasa saja belum tentu akan sanggup menghabiskan tiga cawan tanpa terserang mabuk. Akan tetapi pemuda yang nampak halus itu telah menghabiskan lima belas cawan besar dan tidak terlihat tanda-tanda mabuk sama sekali.

Sambil makan minum, tihu itu menceritakan kepadanya bahwa dua orang pengacau yang datang mengganggu itu adalah dua orang jahat yang selain mencuri harta-harta benda, juga mengganggu anak bini orang dan tidak segan-segan membunuh. Sudah enam orang menjadi korban senjata mereka, di antranya dua orang penjaga dan seorang gadis. Bukan main marahnya Gwat Kong ketika mendengar ini.

“Malam ini saya akan menjaga di atas rumah dan mudah-mudahan saja mereka itu akan muncul agar dapat saya serang,” katanya.

Malam itu keadaan sunyi dan orang-orang telah pergi tidur sebelum gelap benar. Sungguhpun mereka tidak berani meramkan mata dan selalu mendengar kalau-kalau para penjahat itu datang ke rumah mereka. Sebelum melakukan penjagaan di atas rumah-rumah para penduduk, Gwat Kong minta seguci arak wangi lagi karena memang arak wangi dari Kang-lam luar biasa enaknya.

Dengan membawa seguci arak wangi dan sulingnya yang terselip di pinggang, pemuda itu melompat naik ke atas genteng dan mulai berkeliling mengadakan penjagaan. Hawa malam itu dingin sekali, akan tetapi oleh karena ia berteman dengan araknya, ia tidak merasa dingin. Arak itu ia minum begitu saja tanpa menggunakan cawan, langsung dituang dari mulut guci ke mulutnya.

Menjelang tengah malam, ketika ia sedang meneguk guci araknya yang tinggal sedikit lagi, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah perut dan lehernya. Ia maklum bahwa itu tentulah sambaran senjata rahasia. Akan tetapi untuk memperlihatkan kepandaiannya, Gwat Kong tidak menghentikan minumnya dan sekali tangan kirinya bergerak cepat, ia berhasil menangkap dua buah senjata piauw yang menyambarnya itu.

Barulah ia menurunkan guci araknya dan berkata, “Penjahat-penjahat rendah yang manakah yang berani mengganggu orang minum arak?”

Sementara itu, kedua orang penjahat yang pada siang harinya telah mendengar bahwa ada seorang pemuda pemabokan hendak menangkap mereka, menjadi geli sekali. Dan semenjak tadi mereka diam-diam telah mengikuti gerak-gerik Gwat Kong yang mereka anggap tolol. Ketika pemuda itu sedang minum araknya, mereka lalu menyerang dengan piauw tadi untuk membuatnya mati selagi minum arak. Akan tetapi, tak mereka sangka sama sekali bahwa pemuda itu demikian lihai sehingga dapat menangkap piauw mereka sambil minum arak.

Gwat Kong berkata lagi, “Ini, terimalah kembali piauw kalian!” Ia mengayun tangannya secara sembarangan ke arah mereka, lalu menenggak araknya lagi tanpa perdulikan apakah sambitannya itu mengenai sasaran atau tidak. Piauw yang disambitkan dengan tenaga lweekangnya yang hebat itu meluncur cepat sekali dan dengan kaget kedua penjahat itu lalu mengelak agar jangan sampai terkena senjata rahasia mereka sendiri.

Mereka menjadi marah sekali dan dengan pedang di tangan mereka lalu melompat dan menyerang Gwat Kong yang masih minum araknya. Gwat Kong tiba-tiba melompat jauh dan menghindarkan diri dari serangan itu sambil menurunkan guci araknya yang kini telah kosong. Dan ketika kedua orang itu menyerangnya lagi, tiba-tiba ia menyemburkan arak dari mulutnya yang menyerang muka kedua orang lawannya bagaikan puluhan anak panah.

Posting Komentar