Demikianlah penuturan Khu Sin kepada Siang Cu dan tiba-tiba gadis ini berkata dengan wajah berseri dan suara gemetar,
“Alangkah mulia hati nyonya Lie itu. Dalam keadaan miskin ia berani menolak uang sebesar itu. Sungguh jarang terdapat di dunia ini ”
Malam harinya ia bercakap-cakap berdua di dalam kamar dengan Man Kwei yang secara berterus terang menyerangnya dengan perkataan halus.
“Adik Siang Cu, kau mencinta Tiong San, bukan?”
Siang Cu tersenyum dan mukanya menjadi merah. “Dia adalah penolongku dan aku berhutang budi dan nyawa kepadanya. Tanpa pertolongan dia dan suhunya, sudah lama aku tentu tewas. Akan tetapi ....
siapakah berani mencinta seorang pembenci perempuan seperti dia?” Ia menarik napas panjang, lalu berkata sambil memegang tangan Man Kwei.
“Cici yang baik, tak mungkin aku dapat membalas budi Shan-tung Koai-hiap, karena ia pembenci wanita. Juga tak mungkin aku dapat membalas budi Thian-te Lo-mo karena orang tua itu telah meninggal dunia. Akan tetapi ketika tadi aku mendengar tentang nyonya janda Lie, ibu Shan-tung Koai-hiap, hatiku amat kagum dan tertarik. Ia seorang nyonya berhati mulia yang hidup seorang diri, ditinggalkan oleh puteranya. Akupun seorang diri pula. Biarlah aku membalas budi Shan-tung Koai-hiap kepada ibunya saja. Cici yang baik, kuharap kau dan suamimu sudi menolongku, menjadi perantara agar supaya nyonya itu suka menerimaku membantu dan mengawaninya.”
Ketika Khu Sin diberi tahu oleh isterinya tentang maksud Siang Cu yang hendak tinggal di rumah ibu Tiong San dan membantu nyonya tua itu, ia merasa setuju sekali. Maka beberapa hari kemudian, Khu Sin beserta isterinya mengantarkan Siang Cu ke dusun Kui-ma-chung, ke rumah nyonya janda Lie.
NYONYA itu menyambut mereka dengan ramah-tamah dan sebentar saja Siang Cu telah merasa suka sekali kepadanya. Juga nyonya Lie merasa suka kepada Siang Cu yang pandai membawa diri. Setidaknya, nyonya Lie adalah bekas isteri seorang pembesar, maka melihat sikap dan gerak-gerik Siang Cu yang sopan-santun dan tahu bagaimana harus bersikap terhadapnya, ia merasa suka sekali.
Apalagi ketika Man Kwei menuturkan betapa gadis itu adalah seorang yatim-piatu yang lari dari istana kaisar karena hendak dipaksa menjadi bini muda pangeran, nyonya itu merasa kasihan sekali dan ia menerima dengan tangan dan hati terbuka ketika gadis itu minta supaya ia suka menerimanya di rumah itu.
“Aku girang sekali kalau kau sudi tinggal di rumah gubuk dan hidup dengan sederhana dan miskin di sini. Aku memang amat kesepian dan seorang seperti kau akan merupakan penghibur dan kawan yang amat menyenangkan hatiku,” katanya.
Demikianlah, mulai hari itu, setelah Khu Sin dan isterinya kembali ke kota, Siang Cu tinggal berdua dengan nyonya Lie dan ketika melihat bahwa nyonya tua itu mendapatkan nafkahnya dengan menghasilkan pekerjaan sulam dan tenun, Siang Cu segera turun tangan membantu. Dia memang terkenal sebagai ahli pekerjaan tangan yang halus-halus, maka setelah ia berada di situ, hasil pekerjaan sulam dari nyonya Lie makin indah dan banyak disukai orang sehingga pesanan datang semakin banyak.
Bahkan para hartawan dan bangsawan dari luar kota pada memesan barang-barang sulaman kepada nyonya itu sehingga biarpun mereka hanya hidup berdua, namun mereka merasa sibuk setiap hari dan cukup gembira. Dengan adanya Siang Cu, nyonya Lie merasa terhibur sekali dan makin lama ia merasa makin suka kepada gadis itu.
Dalam percakapan-percakapan mereka, akhirnya Siang Cu menceritakan juga tentang pengalamannya dan menceritakan pula bahwa ia pernah ditolong oleh putera nyonya itu yang kini berjuluk Shan-tung Koai- hiap. Tentu saja nyonya Lie merasa girang sekali mendengar ini, tetapi sambil menghela napas ia berkata,
“Tak kusangka bahwa Tiong San yang dulu kuharap-harapkan untuk menjadi seorang pembesar seperti ayahnya, ternyata kini berubah menjadi seorang pendekar. Dan yang paling membuat aku menyesal adalah mengapa ia tidak lekas-lekas pulang. Ah, kalau saja ia berada di sini dan kita bertiga tinggal bersama seperti ini aku akan merasa bahagia dan puas! Dengan adanya kau dan dia di dekatku setiap
hari, usiaku akan lebih panjang dan hatiku selalu akan merasa senang ”
Mendengar ucapan ini, dada Siang Cu berdebar dan ia menundukkan mukanya yang menjadi merah. Berbulan-bulan gadis itu tinggal di rumah itu dan kini ia telah menganggap nyonya Lie sebagai ibu sendiri yang dihormati dan dikasihinya. Sebaliknya nyonya itupun amat cinta kepadanya.
Pernah nyonya Lie menderita sakit panas, dan siang malam Siang Cu menjaga dan merawatnya dengan penuh kesabaran, telaten, dan penuh perhatian. Gadis ini sampai lupa makan dan lupa tidur, demikian prihatin ia menjaga dan merawat nyonya itu sampai hampir dua pekan lamanya, sehingga nyonya tua itu merasa amat bersyukur dan berterima kasih.
Setelah ia sembuh, rasa kasihnya kepada Siang Cu makin tebal. Diam-diam ia mengharapkan kembalinya Tiong San dan ia telah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa kalau anaknya itu datang, ia akan menjodohkan Tiong San dengan Siang Cu.
Demikianlah adanya pengalaman Siang Cu semenjak ia berpisah dari Tiong San di dalam hutan beberapa bulan yang lalu sampai ia tinggal di dalam rumah ibu Tiong San dan pada hari itu tak tersangka-sangka Tiong San muncul di depan pintu! ********************
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tiong San menjadi terkejut dan heran sekali ketika tiba-tiba melihat Siang Cu berada di depannya. Bagaimana gadis ini bisa berada di dalam rumahnya dan tinggal bersama ibunya?
“Kau ?” katanya perlahan tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah gadis itu.
“Ya, inkong (tuan penolong). Aku Gan Siang Cu yang dulu telah kau tolong. Apakah selama ini kau baik- baik saja?” jawab Siang Cu tanpa berani mengangkat muka.
Kegembiraan yang meluap-luap di dalam hati nyonya Lie membuat nyonya itu tersenyum-senyum di dalam tangisnya, dan melihat kedua orang muda itu, niat yang terkandung di dalam hatinya untuk menjodohkan mereka, mendesak hebat dan tak dapat ditahannya pula, maka ia lalu berkata dengan suara girang sekali,
“Tiong San! Siang Cu! Saat yang amat baik ini memaksa aku memberitahukan niatku yang semenjak lama terkandung di dalam hatiku. Aku bermaksud menjodohkan kalian sebagai suami isteri!” sambil berkata demikian ia memandang kepada mereka berganti-ganti dengan mata berseri.
Siang Cu mendengar ucapan ini dan tiba-tiba air matanya turun menitik dan mukanya menjadi merah sekali. Ia makin menundukkan kepalanya dengan perasaan yang luar biasa malu dan bahagianya! Sedangkan Tiong San merasa seakan-akan jantung di dalam hatinya berloncat-loncatan, tetapi tiba-tiba ia mengerutkan dahinya dan memandang kepada ibunya. Mulutnya tak dapat ditahan lagi berseru,
“Ibu, kau gi ....” untung ia masih dapat menahan lidahnya yang hampir saja menyebut “gila” sebagai kebiasaannya! Kemudian ia menoleh kepada Siang Cu yang masih menundukkan kepalanya. Ia ingin menahan mulutnya, tetapi bisikan di dalam hatinya yang mendorong-dorongnya, membuat ia bicara seperti tanpa disadarinya.
“Bagus sekali! Kau benar-benar seorang yang tak tahu malu!”
Nyonya Lie menjadi terkejut dan memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak dan berseru,
“Tiong San, tutup mulutmu!” sedangkan air mata yang tadi menitik turun dari pelupuk mata Siang Cu karena merasa bahagia, kini disusul oleh air mata yang membanjir karena perasaan duka dan sakit hati. Tetapi gadis itu tetap menundukkan mukanya.
Tiong San seakan-akan sudah kemasukan iblis dan mulutnya tanpa dapat dikendalikan lagi melanjutkan tuduhan-tuduhannya yang keji.
“Di luar tahuku kau telah menjalankan siasat yang licin dan jahat. Seperti perempuan-perempuan jahat lain yang telah kujumpai, kau pun merupakan seekor ular yang berbisa dan berbahaya. Apakah kau kira aku tidak tahu akan akalmu ini? Kau tak berhasil mendekatiku, maka kau sengaja mencari ibuku untuk memperlihatkan sikapmu yang halus, sopan-santun, untuk memikat hatinya sehingga ibu benar-benar masuk perangkap! Bagus sekali!”
Siang Cu tiba-tiba mengangkat mukanya dan sinar matanya yang halus itu memandang Tiong San. Pemuda ini tiba-tiba menjadi pucat dan insyaf akan kekejian ucapannya. Ia merasa betapa sinar mata yang lembut itu laksana pedang tajam menembus matanya dan langsung menusuk hatinya.
Dengan pekik memilukan Siang Cu berlari keluar sambil mengeluh, “Baiklah aku yang jahat, yang hina-
dina .... biarlah aku pergi dari sini .... agar jangan mengganggumu ”
“Siang Cu !” nyonya Lie melangkah maju untuk mencegah gadis itu lari pergi, akan tetapi tanpa menoleh
Siang Cu berlari keluar dan terus lari terhuyung-huyung ke depan.
Bagaikan seekor harimau betina yang dirampas anaknya, nyonya Lie berdiri tegak, memutar tubuh menghadapi puteranya. Mukanya pucat, air matanya mengalir turun sepanjang pipinya dan suaranya terdengar gemetar penuh perasaan marah ketika ia berkata, “Anak durhaka ....! Untuk apa kau pulang?? Kau sudah berobah menjadi orang kasar, menjadi orang biadab! Apakah kau pulang hanya untuk menyakiti hati ibumu?”
Tiong San terkejut sekali. Ibu ” ia berseru.
“Kau ” kata ibunya pula sambil menuding mukanya dengan telunjuknya, “Kau telah melakukan penipuan,
kau telah memeras pangeran Lu Goan Ong dan menipu uangnya sepuluh ribu tail perak! Dengan perbuatanmu itu saja, kau sudah membuat ibumu berkurang usianya. Biarpun aku sudah mengembalikan uang itu kepada pangeran Lu, aku masih saja selalu berduka memikirkan betapa puteraku telah menjadi demikian jahat. Kemudian kedatangan Siang Cu membuat kedukaanku terhibur .... tetapi kini kau datang
menghinanya dengan kata-kata keji ....! Kau anak durhaka, anak puthauw (tak berbakti) ... Kau kau
pergilah dari sini!” jari telunjuknya kini menuding ke arah pintu. “Pergi dari sini ! Minggat kau dan jangan
kembali lagi !”
Tiong San menjadi pucat dan tubuhnya menggigil. Sambil menangis ia menjatuhkan dirinya memeluk kaki ibunya. “Ibu ...... ibu ..... jangan kau usir aku, ibu ” Ia menangis seperti anak kecil dengan hati hancur.
Melihat keadaan Tiong San, kemarahan yang telah memuncak di dalam hati ibu itu menjadi luluh. Hampir saja nyonya Lie mendekap puteranya, tetapi ia pertahankan perasaan hatinya dan berkata sebagai sebuah keputusan tetap,
“Keluarlah dan kau harus berusaha agar Siang Cu suka kembali ke sini! Kalau kau tidak kembali bersama Siang Cu, aku takkan menerimamu, takkan mengaku anak kepadamu, tahu??”
Mendengar ini, Tiong San lalu melompat keluar dengan cepat sekali dan berlari mengejar Siang Cu yang sudah tak tampak lagi. Ia mencari-cari dan akhirnya melihat tubuh gadis itu masih bergerak maju dengan kaki lemah dan tubuh terhuyung-huyung ke depan. Ia mengejar cepat dan memanggil,
“Nona Gan ....., berhentilah !”
Akan tetapi telinga Siang Cu seakan-akan tuli dan tidak mendengar panggilan ini, terus saja berlari maju. Ketika Tiong San dapat menyusulnya, pemuda ini melihat betapa gadis itu berlari sambil menangis terisak- isak Ia melompat melewati gadis itu dan berdiri menghadang di depannya.
Siang Cu memandangnya dengan muka pucat dan menahan kakinya. Napasnya terengah-engah dan mukanya pucat sekali seperti mayat. Melihat Tiong San menghadang di depannya, ia memandang dari balik air matanya.
“Mengapa .... mengapa kau mengejarku? Apakah perlunya kau menghadang orang hina-dina seperti aku
....?” katanya dengan suara terputus-putus.