Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 44

NIC

Si Cui Sian mengambil pedangnya yang tadi dilemparkannya dan memberikan pedang itu kepada Tiong San. Pemuda itu dengan muka pucat menerima pedang itu. Hatinya berdebar dan pikirannya kalut. Pantas saja suhunya tidak melawan, dan pantas saja suhunya tidak membenarkan kalau ia membalas dendam!

Memang suhunya telah rela binasa di tangan perempuan ini, bahkan agaknya disengaja mencari kematian di tangan Si Cui Sian. Patutkah kalau ia kini membunuh wanita ini? Salahkah kalau wanita yang dirusak hidupnya karena cacad pada mukanya dan luka pada hatinya itu mencari suhunya untuk membalas dendam? “Aku .... aku tidak biasa mempergunakan pedang , aku tidak tahu bagaimana harus memegang pedang

... Harap kau memberi pelajaran dulu kepadaku ,” jawabnya ragu-ragu.

Si Cui Sian memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya berseri. “Kau anak baik, aku suka memberi pelajaran kepadamu. Sebelum aku mati, aku harus turunkan kepandaianku kepadamu dulu, dan alangkah baiknya kalau ilmu pedangku Pat-kwa Kiam-hoat ini dijodohkan dengan ilmu cambuk Im-yang!”

Tiong San merasa girang sekali dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita tua itu. “Terima kasih, subo!” Mendengar sebutan “subo” atau nyonya guru ini, Si Cui Sian merasa gembira sekali karena ia merasa seakan-akan ia menjadi isteri Thian-te Lo-mo.

“Bagus, anakku, bagus! Kau sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi. Dalam setengah tahun saja semua dasar ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat akan dapat kau pahami.”

Demikianlah, semenjak hari itu, di guha mendiang suhunya, kembali Tiong San mendapat gemblengan dari seorang berilmu tinggi. Dan oleh karena wanita itu tidak bertabiat aneh seperti suhunya, maka lambat laun kembalilah sifat sopan-santun Tiong San.

Sungguhpun kesukaannya memaki orang dengan sebutan gila masih selalu menempel pada bibirnya. Benar sebagaimana ucapan Si Cui Sian, dalam waktu enam bulan ia telah dapat mempelajari Pat-kwa Kiam-hoat sampai tamat dan dapat memainkan pedang gurunya itu dengan mahir.

“Tiong San,” kata gurunya setelah permainan pedangnya cukup baik. “Sekarang kau pergilah turun gunung dan pergunakan segala kepandaianmu untuk kebaikan. Kalau kau dapat menggabungkan dua ilmu itu, yakni ilmu cambuk Im-yang dan ilmu pedang Pat-kwa, kau akan menjadi lebih lihai dari pada mendiang Thian-te Lo-mo atau aku sendiri! Kau bawa pedang ini, kuhadiahkan kepadamu karena tidak berguna lagi untukku. Aku mau bertapa di sini menanti datangnya Thian-te Lo-mo yang tentu akan menjemputku tak lama lagi!”

Tiong San berlutut menghaturkan terima kasih dengan hati amat terharu, karena tak disangkanya sama sekali bahwa pertemuannya dengan wanita tua yang tadinya dianggap musuh itu dapat mendatangkan keuntungan besar bagi dirinya. Semenjak Si Cui Sian menceritakan riwayatnya, Tiong San telah berubah pandangannya terhadap wanita tua itu.

Ia merasa kagum dan juga kasihan sekali akan nasib wanita itu yang sebetulnya sampai sekarang pun masih amat mencintai Thian-te Lo-mo dengan setia! Ia teringat akan pengalamannya sendiri. Alangkah jauh bedanya wanita tua yang kini juga menjadi gurunya itu dengan wanita-wanita yang pernah dijumpainya.

Ia teringat akan Siu Eng, wanita cantik yang gagah itu. Gadis inipun menaruh dendam sakit hati kepadanya, tetapi persoalannya jauh berbeda dengan sakit hati Si Cui Sian terhadap Thian-te Lo-mo. Siu Eng bukanlah seorang wanita baik-baik, bersifat cabul dan berhati kejam.

Ia teringat pula kepada Liong Bwee Ji puteri jago silat Liong Ki Lok, juga teringat kepada Ciu Leng Hwa, puteri Ciu-wangwe, akan tetapi semua itu hanya terbayang samar-samar saja dan ia hampir lupa kepada wajah gadis-gadis itu. Akan tetapi, ketika ia teringat kepada Gan Siang Cu, diam-diam ia berdebar dan menarik napas panjang. Kasihan gadis itu, pikirnya dan ia merasa betapa ia telah berlaku kejam kepada gadis itu.

Gadis patut dikagumi, berhati mulia sehingga suka menolong Thian-te Lo-mo ketika terluka, memegang teguh kesucian sehingga ia berlaku nekat dan menolak ketika hendak dipaksa menjadi bini muda seorang pangeran, dan berhati tabah sekali sehingga dengan berani ia hendak membunuh diri di depan makam Thian-te Lo-mo ketika tidak ada jalan lain baginya. Juga gadis itu cerdik sekali, dan diam-diam Tiong San merasa geli hatinya kalau ia teringat betapa gadis pelayan istana yang biasanya hidup mewah dan yang bersikap lemah lembut dan halus itu menyamar sebagai petani!

Di manakah adanya Siang Cu? Demikian Tiong San berpikir sambil melanjutkan perjalanannya sambil menuruni bukit Tai-san. Kalau ada kesempatan bertemu, aku harus minta maaf kepadanya atas segala perlakuanku yang kasar-kasar dulu, pikirnya. Akan tetapi di manakah ia dapat bertemu dengan gadis yang tak diketahui asal-usul dan tempat tinggalnya itu? Ketika ia sedang berjalan sambil melamun, tiba-tiba ia mendengar suara kambing mengembek ramai di pinggir jalan. Ia menengok dan melihat betapa seekor kambing betina sedang mengembek-embek dan berjalan memutari sebuah lubang di dalam tanah dengan kebingungan. Dari dalam lubang terdengar suara embek kambing kecil yang lemah seperti bunyi anak menangis.

Beberapa kali induk kambing itu mencoba untuk masuk ke dalam lubang, tetapi tak dapat, dan jelas sekali nampak betapa ia hendak berusaha sedapatnya untuk menolong kambing kecil, tetapi ia tidak berdaya sehingga ia menjadi bingung sekali, suaranya terdengar oleh Tiong San seperti orang minta tolong, maka ia menjadi kasihan dan menghampiri, lalu mengeluarkan kambing kecil itu dari dalam lubang.

Induk kambing merasa girang sekali, lalu menghampiri anaknya dan menjilat-jilat dengan lidahnya, sedangkan si kecil itu lalu menekuk kedua kaki depannya seperti berlutut dan minum air tetek ibunya dengan lahapnya. Agaknya sudah lama ia terjerumus ke dalam lubang itu dan perutnya menjadi amat lapar.

Melihat pemandangan ini, tiba-tiba Tiong San merasa betapa hatinya seperti diremas dan tanpa disadarinya, dua titik air matanya melompat keluar dari pelupuk matanya. Pemandangan yang nampak di depannya itu mengingatkan ia akan ibunya sendiri! Melihat kasih sayang sedemikian besar dan mesranya dari induk kambing kepada anaknya, dan melihat betapa ketika hendak menetek, kambing kecil itu menekuk kaki depan seakan-akan berlutut, lambang dari kebaktian anak terhadap ibunya.

Hati Tiong San menjadi amat terharu. Telah hampir lima tahun ia meninggalkan ibunya dan seakan-akan terlupa kepada orang tua itu. Kini hatinya penuh kerinduan kepada ibunya. Rindu sekali untuk melihat wajah ibunya yang sabar dan agung itu, untuk mendengar suaranya yang halus penuh kasih sayang dan untuk merasai belaian tangannya yang mencinta.

“Ibu ...,” hati Tiong San berbisik dan segera ia berlari cepat dari tempat itu. Keinginan satu-satunya pada saat itu hanya untuk pulang ke kampungnya dan untuk bertemu ibunya. Ia melakukan perjalanan secepat mungkin agar lebih cepat tiba di kampung Kui-ma-chung, kampung kelahirannya dan di mana ibunya kini berada.

Ia membayangkan dengan gembira betapa kini keadaan ibunya sudah senang dan cukup, tak perlu membanting tulang, menyulam dan menenun sampai jauh malam untuk mendapatkan nafkah, karena bukankah ia dulu telah mengirimi uang sepuluh ribu tail perak yang didapatnya sebagai “emas kawin” dari pangeran Lu Goan Ong?

Mengingat hal ini, tak dapat tidak ia terkenang pula kepada Khu Sin dan Thio Swie sehingga kegembiraannya makin meluap. Ia akan bertemu dengan ibunya, dengan Khu Sin dan Thio Swie yang kini tentu telah menjadi pembesar! Alangkah senangnya dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka. Kegembiraan ini membuat Tiong San makin tergesa-gesa untuk segera sampai di kampungnya dan ia melakukan perjalanan siang malam, tidak pernah ditundanya, kecuali terjadi hal yang amat penting.

Dan ketika ia tiba di kampung Kui-ma-chung, hatinya berdebar keras karena terlalu amat girang dan terharunya. Ia segera menuju ke rumah ibunya. Dari jauh sudah tampak rumah ibunya dan ia merasa amat heran. Mengapa rumah ibunya masih tua dan buruk seperti dulu? Bukankah ia sudah mengirim uang sebanyak sepuluh ribu tail perak? Apakah ibunya belum menerima uang itu? Bermacam-macam pertanyaan timbul di dalam pikirannya.

Ia mempercepat larinya untuk segera bertemu dengan ibunya dan memecahkan semua teka-teki yang membuatnya terheran-heran itu. Tiba-tiba ia tertegun karena timbul pikiran baru. Mungkin ibunya sudah berpindah rumah! Siapa tahu? Dengan uang sebanyak itu, mungkin sekali ibunya mendiami rumah baru dan rumah lama ini dijualnya kepada orang lain!

Pikiran baru ini membuat ia berlari lebih cepat lagi dan sebentar saja ia telah berada di depan pintu rumah itu. Kebetulan sekali pada saat itu seorang wanita tua keluar dari rumah dengan tindakan yang tenang dan perlahan. Wanita itu melihat Tiong San, berdiri diam dan tiba-tiba, memandang dengan mata terbelalak, tak bergerak bagai patung.

“Ibu ....!!” Tiong San bersorak gembira karena ternyata bahwa wanita itu memang benar ibunya. Ia menubruk maju dan menjatuhkan diri berlutut, tak kuasa menahan mengucurnya air mata. “Tiong San .....! Kau ....? Kau .... sudah kembali ....? Tiong San !” Sambil memeluk anaknya yang telah

diangkatnya berdiri itu, nyonya janda Lie menangis. Berkali-kali ia memandang wajah puteranya dan mendekapkan kepala anaknya itu ke dadanya dengan hati penuh bahagia dan terharu.

“Ibu, ampunkan aku, anakmu yang tidak berbakti ” Tiong San berkata.

Ibunya tak dapat berkata apa-apa, hanya memeluknya makin erat seakan-akan khawatir kalau-kalau puteranya akan pergi lagi, pergi jauh tak tentu tempat tinggalnya.

Pada saat itu, terdengar langkah kaki ringan dari dalam rumah.

“Tiong San, anakku. Lihatlah, dia ini adalah seorang berhati mulia yang selama ini menemani ibumu dan menjadi penghibur besar dari kedukaan karena kehilangan kau,” kata nyonya itu dengan suara gembira, memperkenalkan.

Tiong San mengangkat kepala memandang dan hampir saja ia berteriak. Ia memandang dengan keheranan kepada seorang gadis yang berpakaian sederhana, seorang gadis yang manis sekali dalam pandangan matanya, gadis yang selama ini seringkali muncul dalam pikirannya. Dan gadis itu memandangnya dengan mata sayu, dengan senyum simpul setengah mengejek pada bibirnya. Kemudian gadis itu menjura perlahan sebagai penghormatan kepadanya. Gadis ini bukan lain ialah Gan Siang Cu!

Bagaimana Siang Cu, pelayan istana itu sampai bisa berada di rumah ibu Tiong San dan tinggal bersama orang tua itu? Marilah kita ikuti pengalamannya semenjak ia berpisah dengan Tiong San di dalam hutan itu.

********************

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gan Siang Cu, gadis pelayan istana yang ditolong oleh Thian-te Lo-mo, kemudian ditolong pula oleh Tiong San yang membawanya keluar kota raja, telah menyamar sebagai seorang petani muda, dengan pakaian hasil curian Tiong San yang sengaja dikotorkan dengan tanah lempung dan telah memotong rambutnya menjadi pendek. Kemudian gadis itu lalu meninggalkan Tiong San dan kembali ke kota raja.

Berkat penyamarannya, dengan mudah ia dapat melalui pintu gerbang kota raja tanpa menimbulkan banyak curiga. Gadis ini teringat akan pesan mendiang Thian-te Lo-mo bahwa kalau ia berhasil keluar, ia dapat minta tolong kepada pemilik rumah penginapan Thian-an-kwan yang menjadi paman seorang pemuda bernama Khu Sin.

Setelah tiba di Thian-an-kwan dan menuturkan bahwa ia adalah kenalan baik Thio Swie, Khu Sin dan Tiong San, benar saja paman Khu Sin itu segera menyambutnya dengan ramah tamah sekali. Tanpa membuka rahasianya, Siang Cu lalu menyatakan bahwa karena sesuatu sebab, ia terpaksa melarikan diri dari kota raja dan minta tolong kepada paman Khu Sin itu untuk membelikan seekor kuda yang baik dan menanyakan pula di mana tempat tinggal Khu Sin. Ia menyatakan bahwa sudah lama ia tidak bertemu dengan Khu Sin sehingga tidak tahu di mana sekarang tinggalnya pemuda itu.

Ia mengeluarkan sebuah dari pada perhiasannya yang terbuat dari emas untuk digunakan sebagai pembeli kuda, dan mendapat keterangan yang jelas tentang keadaan Khu Sin yang telah menjadi wedana dari kota Bun-an-kwan. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Siang Cu lalu naik kuda itu dan terus menuju ke kota Bun-an-kwan.

Setelah tiba di kota ini, ia menghadap kepada wedana kota yang bukan lain adalah Khu Sin sendiri. Ia dibawa menghadap kepada Khu Sin yang merasa amat heran yang mendengar dari penjaganya bahwa seorang sahabat dari kota raja hendak bertemu. Lebih-lebih herannya ketika melihat bahwa tamunya adalah seorang petani muda yang berpakaian kotor.

Akan tetapi, Khu Sin berbeda dengan pembesar-pembesar lain sehingga belum lama ia menjadi wedana kota, ia amat disukai oleh penduduk di situ. Kini ia menerima tamunya dengan ramah tamah dan setelah tamunya dipersilahkan duduk, ia bertanya,

“Siapakah saudara dan datang dari mana? Mengapa saudara mengaku menjadi sahabatku sedangkan sepanjang ingatanku, aku belum pernah bertemu dengan kau?” Dengan ketenangan yang amat mengagumkan, Siang Cu menjawab dengan pertanyaan pula. “Taijin, bukankah kau bernama Khu Sin dan berasal dari kampung Kui-ma-chung?”

Khu Sin memandang heran. “Benar,” jawabnya.

“Dan kenalkah kau kepada dua orang muda bernama Thio Swie dan Tiong San?”

“Tentu saja! Mereka adalah kawan-kawan baikku. Thio Swie berada di kota tak jauh dari sini menjabat pangkatnya, sedangkan Tiong San ... eh, kau siapakah dan mengapa kau mengajukan pertanyaan itu? Apakah kau diutus oleh seorang di antara mereka?”

Posting Komentar