Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 42

NIC

Tadi ketika Leng Hwa berdiri memandangnya dengan marah dan gadis itu mengeluarkan ucapan-ucapan kasar, ia memandang dengan tertarik juga karena harus diakui bahwa Leng Hwa adalah seorang gadis yang amat cantik jelita. Akan tetapi setelah sikap gadis ini berobah kemalu-maluan, tersenyum dan mengerling tajam yang sebetulnya lebih menggiurkan hati laki-laki lagi, Tiong San bahkan timbul rasa tidak senangnya terhadap gadis ini!

Dalam hati pemuda ini timbullah perasaan ragu-ragu, karena apabila seorang wanita telah bersikap seperti itu, ia akan amat berbahaya dan hanya mendatangkan bencana saja! Dalam pandangannya, sikap wanita yang seperti ini mengingatkan ia akan seekor ular yang melingkar diam tak bergerak, akan tetapi jangan sangka bahwa ular itu takkan menyerangmu.

Sekali kau lalai, ular itu akan menyambarmu. Oleh karena itu, melihat sikap Leng Hwa yang manis itu, tiba- tiba lenyaplah kegembiraannya tadi dan Tiong San segera memutar tubuh sambil berkata,

“Terima kasih, aku mau kembali ke kamar dan tidur!” Tanpa menanti jawaban ia lalu melompat pergi meninggalkan gadis itu yang masih berdiri tercengang.

“Aduh, siocia, dia ..... dia itu .... cakap sekali!” kata A-bwe menggoda nonanya yang sadar kembali dari lamunannya dengan muka makin merah. Dari pandangan mata pelayannya ia maklum akan isi hati A-bwe, maka ia lalu berkata,

“Sudahlah, A-bwe, ayoh kau beres-bereskan meja karena aku hendak mulai bersembahyang!”

Dan ketika Ciu Leng Hwa, gadis cantik jelita itu mengangkat hio (dupa biting) di depan meja sembahyang, biarpun di dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih dan rasa syukurnya kepada Yang Maha Kuasa karena ayah bundanya terhindar dari bahaya, namun pada dasar hatinya terdengar bisikan-bisikan yang tak terucapkan oleh mulut hatinya, bisikan-bisikan yang menyatakan harapan dan yang membuiat mukanya makin menjadi merah saja!

Dua gulung kain bersyair itu dibawanya sendiri ke dalam kamarnya setelah selesai sembahyang dan digantungkannya berjajar di dinding kamarnya. Kemudian ia berbaring dan memandangi dua syair itu dengan hati girang yang membuatnya tak dapat tidur sekejap pun semalam itu! A-bwe yang bermulut panjang itu segera menyampaikan peristiwa yang terjadi malam tadi kepada Ciu- wangwe dan nyonyanya. Kedua orang tua ini merasa girang sekali dan Ciu-wangwe lalu menjumpai Tiong San.

“Shan-tung Koai-hiap,” katanya dengan wajah berseri, “Kami telah mendengar akan pertemuanmu dengan puteri kami dan aku sendiri merasa amat gembira bahwa kau dan Leng Hwa telah mendapatkan kecocokan dalam hal .... membuat syair! Hal ini telah membuat aku dan isteriku mengambil keputusan, yakni ... kalau kau setuju ... kami akan merasa gembira sekali apabila anak tunggal kami itu menjadi ....

jodohmu!”

Pada saat itu, nyonya Ciu diikuti oleh A-bwe datang di ruang itu dan mereka ini mendengar juga ucapan Ciu-wangwe tadi, maka nyonya Ciu lalu menyambung,

“Memang benar, anak muda yang baik. Telah lama kami mengharapkan datangnya seorang pemuda yang patut menjadi menantu kami dan kami merasa girang sekali apabila kau suka menjadi suami Leng Hwa!”

Sementara itu, A-bwe memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan gagah, cocok sekali menjadi suami nonaku, pikirnya.

Akan tetapi, ketika mendengar ucapan kedua suami isteri itu, tiba-tiba Tiong San tertawa terbahak-bahak, suara tertawa yang ia warisi dari mendiang suhunya.

“Ha ha ha! Kalian memang gila dan anakmu pun gila! Kalian mau ikat aku dengan perjodohan? Sudah

kukatakan bahwa aku tidak suka kepada wanita, terutama wanita cantik seperti anakmu! Kalian sudah berlaku baik kepadaku, dan untuk itu aku Lie Tiong San merasa berterima kasih, tetapi tentang perjodohan

..... ha ha! Tidak, seribu kali tidak!”

Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu memutar tubuh dan pergi meninggalkan gedung itu, diikuti oleh pandang mata kedua suami isteri itu. Nyonya Ciu nampak berlinang air matanya karena merasa terhina sekali, sedangkan Ciu-wangwe sendiri memandang bingung.

“Untung dia menolak. Agaknya dia memang benar-benar gila seperti kukatakan kemaren ” Ia menarik

napas panjang.

A-bwe berlari masuk dan tentu saja ia menceritakan semua ini kepada Leng Hwa. Gadis itu tadinya merasa gembira ketika mendengar cerita ini dan mendengar ucapan-ucapan Tiong San yang diulang oleh A-bwe beserta gaya-gayanya sekalian, merasa betapa hatinya menjadi perih. Mukanya pucat dan ia memandang kepada tulisan Tiong San yang tergantung di dinding seakan-akan tulisan itu merupakan diri Tiong San sendiri! Ia menangis. Sekali lagi tanpa disadarinya, Tiong San telah menyebabkan seorang gadis cantik menjadi patah hati!

********************

Tiong San meninggalkan kota Cin-an dan langsung mendaki bukit Tai-san untuk mencari Si Cui Sian, wanita bermuka cacad yang membunuh suhunya. Setelah dua hari berputar-putar di bukit itu, mencari keterangan pada dusun-dusun sekitar lembah bukit, tak seorangpun dapat memberi keterangan tentang seorang wanita tua yang bermuka cacad.

Tiong San menjadi kecewa sekali dan karena sudah berada di bukit itu, maka ia teringat akan tempat tinggal suhunya, di mana ia telah tinggal untuk tiga tahun lamanya. Maka ia segera menuju ke tempat itu, yakni sebuah guha besar yang berada di puncak lereng sebelah kiri dan yang masih liar belum pernah didatangi lain orang kecuali dia dan suhunya.

Setelah ia tiba di dekat guha pertapaan gurunya, tiba-tiba ia mendengar suara tangisan. Tiong San menjadi heran sekali karena siapakah orangnya yang berada di tempat sunyi ini? Ketika ia mencari-cari, ternyata bahwa suara itu datangnya dari guha suhunya! Ia makin merasa heran dan segera menghampiri dan berdiri di depan guha. Sekarang ia dapat mendengar suara tangis itu lebih jelas lagi. Itu adalah tangis seorang wanita disertai keluh-kesah mengharukan.

“Hong Sian .... kau kejam sekali .... Kalau saja dulu kau tidak berbuat kejam ah, kita tentu telah menjadi

suami isteri yang beruntung ..... Kau menyakiti hatiku sehingga aku hidup menderita .... Aku tekun mempelajari ilmu pedang, akan tetapi ketika kita bertemu .... kau kembali mengecewakan hatiku Kau

tidak melawan dan sengaja mencari kematian di tanganku sekarang .... sekarang aku merasa makin sengsara ... Hong Sian ” tangis itu makin menjadi-jadi dan Tiong San yang mendengar ucapan ini merasa

terkejut bercampur girang. Inilah orang yang ia cari-cari!

“Si Cui Sian, perempuan jahanam yang kejam! Keluarlah kau untuk menerima pembalasan!” teriaknya sambil mencabut cambuknya.

Suara tangisan itu tiba-tiba berhenti dan tak lama kemudian dari dalam guha itu keluarlah seorang wanita tua dengan pedang di tangan. Pedangnya berkilauan terkena cahaya matahari dan sekali pandang saja tahulah Tiong San bahwa pedang itu adalah sebuah senjata yang tajam dan ampuh.

Ia memperhatikan wanita itu. Jelas kelihatan bahwa wanita itu dulunya tentu amat cantik dan sekarang pun kulit mukanya masih nampak putih dan halus. Akan tetapi bekas luka yang melintang pada mukanya membuat muka itu nampak mengerikan dan menakutkan sekali, sehingga diam-diam Tiong San bergidik dan merasa seram.

“Si Cui Sian! Kau telah membunuh suhuku dengan kejam. Sekarang lawanlah Shan-tung Koai-hiap, murid Thian-te Lo-mo yang hendak membalaskan sakit hati!” kata Tiong San sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.

Wanita itu mendongak ke atas dan berkata sambil menghela napas, “Hong Sian .... kau telah mati ....

Apakah dendam yang terkutuk ini takkan ada habisnya ??”

Akan tetapi kemudian ia merobah sikapnya dan dengan mata bersinar ia memandang kepada Tiong San. “Kau Shan-tung Koai-hiap murid Kui Hong Sian? Bagus, bagus! Aku sudah mendengar namamu dan kabarnya kau lihai seperti gurumu dan sudah mewarisi ilmu kepandaian Hong Sian! Gurumu tidak mau melawanku, biarlah kau yang mewakilinya dan coba kau perlihatkan kepandaianmu. Hendak kucoba sampai di mana hebatnya ilmu cambuk Im-yang Joan-pian!”

Setelah berkata demikian, ia melompat maju dan langsung menyerang Tiong San dengan pedangnya! Pemuda itu cepat melompat mundur dan menggerakkan cambuknya yang segera mengeluarkan bunyi keras dan menyambar ke arah leher perempuan cacad itu. Pertempuran hebat segera terjadi dengan amat serunya. Kali ini tidak seperti biasanya, Tiong San menggerakkan cambuknya dengan serangan-serangan maut karena ia bermaksud membunuh musuh suhunya ini.

Akan tetapi, Si Cui Sian benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya dan tiap kali ujung cambuk terbentur pedang, Tiong San merasa betapa tenaganya mental kembali dan ujung cambuknya terpental keras. Wanita itu dengan gerakannya yang amat cepat mendesak maju dan memaksa Tiong San bertempur dari jarak dekat.

Posting Komentar