“Tidak boleh! Kau akan berbuat gila dengan pisaumu tadi.”
Siang Cu tersenyum dan mukanya yang sudah kotor berlumur lumpur itu masih nampak manis karena terlihat giginya yang putih bersih dan rata. “Kalau aku hendak membunuh diri, masa aku harus menyamar dulu? Ke sinikan, hendak kupakai memotong rambutku!” “Tidak boleh, kau tidak boleh pegang pisau tajam.”
“Kalau begitu, tolong kau potongkan rambutku ini, agar jangan terlalu panjang dan untuk menyempurnakan penyamaranku.”
Sambil berkata demikian Siang Cu cepat mengulurkan rambutnya yang panjang kepada Tiong San. Pemuda itu ragu-ragu dan menyesal melihat rambut yang demikian indahnya di potong, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kemenyesalannya dan segera mencabut pisau tadi dan sekali ia menyabet, putuslah rambut yang panjang itu dan kini menjadi pendek.
“Nah, sekarang penyamaranku pantas, bukan?” kata gadis itu dengan suara menahan isak. Sesungguhnya, bukan main sakit hatinya melihat rambut yang tadi masih menghias kepalanya kini melingkar di atas tanah. Hati gadis mana yang tak merasa sedih?
“Sudah baik sekarang,” kata Tiong San singkat.
“Nah, selamat berpisah, kita mengambil jalan masing-masing,” kata Siang Cu yang segera pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja kembali!
Kini dia yang meninggalkan Tiong San dan pemuda itu untuk beberapa lama berdiri bengong sampai bayangan Siang Cu lenyap di balik pohon. Ia memandang ke arah rambut gadis itu yang tadi terputus dan kini merupakan ular hitam melingkar di atas tanah.
Bagaikan orang tak sadar, ia membungkuk, memungut rambut itu dan bersama pisau belatinya ia masukkan ke dalam saku baju sebelah dalam. Kemudian ia lalu melompat dan berlari cepat dengan tujuan mencari Si Cui Sian, wanita bermuka cacad yang telah membunuh suhunya untuk membalas dendam.
Dalam penyelidikannya, Tiong San mendengar bahwa Si Cui Sian setelah berhasil membunuh bekas kekasihnya, yakni Thian-te Lo-mo, lalu kembali ke selatan, ke tempat tinggalnya, yakni kota Liang-hu. Akan tetapi, ketika ia menyusul ke sana, ia mendengar bahwa wanita itu kabarnya telah pergi ke pegunungan Tai-san di Shan-tung!
Ia merasa heran sekali mengapa wanita itu pergi ke tempat tinggal Thian-te Lo-mo. Apakah kehendak wanita itu? Akan tetapi ia tidak mau memusingkan hal ini dan langsung menuju ke Shantung, menyusul jejak wanita itu.
Pada suatu hari, ia tiba di sebuah hutan di luar kota Cin-an. Ia mendengar suara minta tolong. Ia segera berlari menuju ke arah suara itu dan melihat betapa serombongan orang sedang dikepung oleh perampok- perampok kejam!
Para pengawal rombongan itu yang terdiri dari piauwsu-piauwsu (pengawal/penjaga keamanan di jalan) dengan berani mengadakan perlawanan. Akan tetapi oleh karena kawanan perampok itu banyak jumlahnya, lagi pula dipimpin oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka mereka terdesak hebat dan beberapa orang piauwsu telah menderita luka-luka.
“Perampok gila, mundur semua!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang cambuk yang bergerak-gerak bagaikan naga menyambar, telah membuat banyak senjata perampok itu terlempar ke udara. Para perampok tentu saja tidak takut akan serbuan hanya seorang pemuda saja, tetapi ketika cambuk itu menyambar cepat, terdengar teriakan-teriakan mereka kesakitan dan muka para perampok itu seorang demi seorang menerima “hadiah” cambukan, sehingga terluka memanjang pada muka yang mengeluarkan darah atau menjadi matang biru!
Tiga orang kepala rampok dengan marah menyerbu ke depan. Akan tetapi mereka inipun berseru keras dan mundur kembali oleh karena kedatangan mereka disambut oleh ujung cambuk dan mengalirlah darah dari muka mereka ketika ujung cambuk itu menyabet dan memecahkan kulit muka mereka! Memang, menghadapi kepala-kepala rampok ini, Tiong San sengaja memberi “hadiah besar” sehingga muka mereka mengeluarkan darah.
Dalam hal membagi-bagi hadiah, suhunya mempunyai tiga istilah, yakni hadiah kecil yang hanya membuat muka bergaris merah, hadiah sedang yang lebih keras dan membuat muka lawan menjadi matang biru dan terasa sakit sekali, tetapi juga tidak mengeluarkan darah, dan ketiga hadiah besar yang dilakukan dengan tenaga lebih keras sehingga kulit muka lawan menjadi pecah oleh ujung cambuk dan mengeluarkan darah serta terasa perih dan sakit sekali!
Melihat kelihaian pemuda itu serta menyaksikan cara bertempurnya yang mempergunakan cambuk panjang, tiba-tiba mereka insyaf dan serentak para perampok berseru,
“Shan-tung Koai-hiap !” Seruan ini menyatakan keterkejutan dan ketakutan hebat dan mereka segera lari
cerai berai masuk ke dalam hutan yang lebat! Memang untuk daerah Shan-tung, nama Shan-tung Koai- hiap telah terkenal sekali dan ditakuti orang, sungguhpun Tiong San belum banyak memperlihatkan kepandaiannya!
Berita akan kelihaian Shan-tung Koai-hiap dan bahwa pendekar itu adalah murid Thian-te Lo-mo, cukup menggentarkan hati setiap penjahat. Maka begitu mendengar nama ini diserukan orang dan melihat betapa segebrakan saja pemuda itu berhasil membuat muka ketiga kepala rampok terluka, semua perampok kehilangan semangatnya dan mereka lari dengan ketakutan!
Para piauwsu juga terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan mereka lalu menghampiri Tiong San dan menjura dengan hormat sekali. Pemimpin rombongan piauwsu itu berkata kepada Tiong San dengan sikap hormat.
“TAK disangka bahwa kami akan mendapat bantuan yang amat berharga dari koai-hiap, sungguh-sungguh kami berterima kasih sekali. Koai-hiap masih begini muda tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihai luar biasa, sungguh-sungguh membuat kami yang tua-tua merasa kagum!”
Oleh karena semenjak dulu mengikuti suhunya yang sama sekali tidak suka akan segala penghormatan, maka Tiong San lalu tertawa karena geli hatinya.
“Ha ha ha! Kalian benar-benar berotak miring! Untuk apa segala macam omong kosong ini? Lebih baik lekas tolong kawan-kawanmu yang terluka dan melanjutkan perjalanan.”
Semua piauwsu tidak ada yang berani membantah, dan mereka lalu merawat kawan-kawan yang terluka dan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
Ternyata orang-orang yang dirampok itu adalah keluarga Ciu-wangwe (hartawan Ciu) yang tinggal di kota Cin-an. Hartawan itu turun dari jolinya dan menghampiri Tiong San. Ketika melihat sikap pemuda yang menampik segala ucapan terima kasih dan penghormatan, Ciu-wangwe lalu menjura dan berkata,
“Shan-tung Koai-hiap, telah lama aku mendengar nama besarmu dan juga nama besar suhumu, Thian-te Lo-mo. Karena kebetulan sekali kita bertemu di sini dan agaknya sejurusan perjalanan pula, maka aku mengharap sukalah kiranya kau melakukan perjalanan bersama kami. Pertama-tama untuk mempererat perkenalan kita. Kedua, kami mohon pertolonganmu agar supaya keselamatan kami terjamin.”
Tiong San memandang kepada hartawan itu yang ternyata adalah seorang setengah tua yang berwajah menyenangkan dan dari sikap dan bicaranya, dapat diduga bahwa ia adalah seorang yang berwatak jujur dan terpelajar.
“Bolehkah aku tahu siapa saudara ini?” tanya Tiong San dan Ciu-wangwe tersenyum.
“Tadi aku tidak berani memperkenalkan nama oleh karena apakah artinya namaku bagi seorang gagah seperti kau? Aku adalah Ciu Twan atau untuk penduduk Cin-an cukup dikenal dengan sebutan Ciu- wangwe. Ya, memang aku seorang hartawan, tetapi ketika dirampok tadi, aku ingin sekali menjadi seorang miskin saja! Semenjak menjadi hartawan, aku selalu menghadapi kesulitan-kesulitan belaka!” Ciu-wangwe menarik napas panjang dan Tiong San merasa makin tertarik kepada orang ini.
“Kau lucu sekali, Ciu-wangwe,” katanya sambil tertawa. “Akan tetapi aku suka bercakap-cakap dengan orang seperti kau!” Mereka segera melanjutkan perjalanan dan Tiong San tidak menolak ketika ia diberi seekor kuda, sehingga ia dapat bercakap-cakap dengan hartawan Ciu itu. Nyonya Ciu masih duduk di sebuah joli yang digotong oleh enam orang, dan hartawan Ciu sendiri berganti tempat, tidak mau naik joli karena ia ingin bercakap- cakap dengan Tiong San. Para piauwsu merasa gembira sekali karena pendekar aneh dari Shan-tung itu suka melakukan perjalanan bersama mereka sehingga mereka tak usah mengkhawatirkan sesuatu lagi.
Di sepanjang jalan, Ciu-wangwe dengan amat jujur menuturkan riwayat hidupnya kepada Tiong San tanpa diminta. Ia menceritakan betapa dulu iapun seorang yang miskin, tetapi berkat kerajinannya dapat menjadi seorang kaya raya. Ia menceritakan pula tentang rumah tangganya, tentang seorang anaknya yang telah menjadi remaja puteri, betapa anaknya itu amat cantik dan pandai ilmu kesusasteraan.
“Anakku itu adatnya agak kukoai (aneh). Telah berkali-kali datang lamaran orang, tetapi ia berkeras menampik semua pinangan itu biarpun yang mengajukan pinangan adalah pemuda-pemuda kaya raya, bahkan pinangan seorang pemuda bangsawan ia tolak pula! Ahh, aku dan ibunya sudah merasa pusing sekali, tetapi semenjak kecil ia dimanja, maka aku dan isteriku tak dapat berdaya apa-apa! Kalau saja ”
ia memandang tajam kepada Tiong San, kemudian menyambung kata-katanya sambil tersenyum. “Kalau saja aku bisa mendapat seorang menantu seperti kau .... ah, seumur hidupku aku akan merasa senang dan aman!”
Tiong San tertawa terbahak-bahak sehingga membuat Ciu-wangwe memandang heran dan ragukan kesehatan otak pemuda itu, karena memang suara ketawa Tiong San amat nyaring dan keras, sehingga para piauwsu pun menengok dan memandang dengan heran!
“Ciu-wangwe, kau .... gila!” kata Tiong San yang telah menjadi biasa menyebut semua orang dengan makian gila seperti adat gurunya. “Aku aku paling tidak suka kepada wanita apalagi wanita yang pandai,