Pendekar Bunga Cinta Chapter 50

Pemuda bermuka hitam itu tambah terkejut karena gerak yang gesit dari dara-remaja yang pemarah itu. Didekat tempat pemuda itu berdiri, kebenaran ada meja kosong yang tidak ada tamunya. Meja itu dia tendang terbalik dan merintang gerak dara-pemarah yang sedang lompat seperti mau menerkam, namun dengan tubuhnya yang ringan dan gesit, dara pemarah itu sempat menyentuh meja memakai ujung-kakinya, untuk kemudian dia bergerak lagi hendak menyerang pemuda bermuka hitam itu.

Pemuda bermuka hitam itu yang memang merupakan seorang pemarah, sudah tentu tidak dapat membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan dara-pemarah itu. Dia sekarang telah pula menyiapkan senjatanya yang berupa sepasang siang-kauw, atau sepasang tombak pendek-berkait yang bukan model tanjung kait; sehingga pada lain detik telah terjadi pertempuran memakai senjata tajam didalam ruangan-makan dari rumah penginapan itu.

Dalam sekejap para tamu pada lari serabutan, khawatir terkena serangan nyasar; terlebih waktu kemudian mangkok-mangkok pada ikut berterbangan kena terjangan sepasang insan-muda yang sedang diamuk darah-pendek.

Dilain pihak, didalam hati sudah tentu Tio Bun Wan berpihak pada dara remaja itu, yang dia anggap sebagai kaum-lemah yang harus bertempur melawan seorang pemuda galak, dan pemuda bermuka hitam itu justeru sedang dia curigai sebagai si penjahat yang sedang melanda kota Poan kee-tin.

Disuatu saat sebuah mangkok arak melayang jalan-jalan kearah Tio Pun Wan, terkena benturan senjata siang-kauw dari pemuda bermuka hitam. Mangkok arak itu dengan tenang ditangkap oleh Tio Bun Wan lalu dipakai untuk menimpuk kearah si pemuda bermuka hitam.

Laki-laki muda bermuka hitam itu sempat melihat datangnya mangkok arak yang mengarah dia, seperti bola yang ditendang menuju gawang; sehingga dia lalu menangkis memakai senjatanya. Tetapi dari benturan itu dia menyadari bahwa pemuda yang menimpuk dia, memiliki tenaga yang terlatih, sehingga akibatnya tambah meluap kemarahannya, dan dia memaki dara pemarah yang sedang mengulang serangannya :

"Kuntianak ! Tidak kusangka kau mempunyai kehendak yang cuma berani membokong ...!" Sudah tentu dara pemarah itu jadi naik pitam, dan dia memang sempat melihat gerak Tio Bun Wan yang menimpuk memakai mangkuk arak. Sejenak dia terpesona dengan wajah tampan dari Tio Bun Wan yang memiliki sepasang alis putih, namun yang dia tidak kenal. Dia menjadi naik pitam sebab lawannya memaki dia dengan istilah tak sopan.

"Orang hutan, kau benar-benar harus mampus. , ..!” seru dara pemarah itu sambil dia harus menghindar dari serangan lawannya.

Dilain pihak, Tio Bun Wan ikut menjadi gusar sebab dia memaki dan dianggap hanya berani membokong. Tangannya segera memegang pedang yang ditempatkan diatas meja, lalu dengan suatu lompatan yang ringan dia mendekati kancah pertempuran.

"Kouwnio, biarkan aku yang melawan dia,,!" seru pemuda Tio Bun Wan yang tidak mau mengepung lelaki muda bermuka hitam itu.

Dara pemarah itu tidak menghiraukan perkataan Tio Bun Wan, dia tetap melakukan penyerangan; sementara lelaki muda bermuka hitam itu kedengaran berkata dengan suara menghina :

"Bagus rupanya kau takut aku culik kekasihmu ! Mari

kita bertempur diluar ..!”

Sehabis mengucap demikian, maka laki-laki muda bermuka hitam itu melesat keluar dari dalam rumah penginapan itu.

Pemuda Tio Bun Wan bertambah gusar dan bertambah yakin bahwa dia telah menemukan si penjahat, karena dia anggap pemuda bermuka hitam itu telah 'terlepas' bicara, mengatakan hendak menculik dara yang sedang ditempurnya.

Mendahului gerak dara pemarah itu, maka Tio Bun Wan sudah melesat keluar untuk menyusul laki-laki muda bermuka hitam itu yang bahkan langsung dia serang memakai jurus 'ular belang melepas bisa', berdasarkan salah satu dari ilmu ngo-heng-kun yang khas dari golongan Siaolim.

Tio Bun Wan menyerang dengan suatu tikaman memakai pedangnya, akan tetapi waktu ujung pedang hendak mencapai sasaran dan laki laki muda bermuka hitam itu sedang bergegas hendak menghindar, maka Tio Bun Wan telah merubah cara penyerangannya, memakai 'ular belang menebas ekor', dan gerak pedangnya bagaikan hendak membedah tubuh dibagian perut lawannya, dari bagian bawah ke arah atas.

Sudah tentu laki laki muda bermuka hitam itu sangat terkejut, karena perobahan gerak serangannya itu benar- benar diluar dugaannya. Dengan susah payah sempat juga dia lompat mundur, sehingga nyaris dia dari ancaman maut, namun secara tiba-tiba dara-pemarah itu sudah lompat menyusul, dan sedang menyerang dia dengan tikaman pedang.

Dalam keadaan masih kaget bercampur marah, laki-laki muda bermuka hitam itu mengerahkan tenaganya, menangkis pedang dara pemarah yang menikam dia, sehingga terjadi benturan senjata yang keras, dan dara pemarah itu meringis kesakitan, bahkan hampir dia melepaskan pegangannya pada pedangnya; dan selagi dia berada dalam keadaan mati daya maka laki laki muda bermuka hitam itu telah menabas dia memakai gerak tipu 'angin utara menyapu daun kering'. Disaat yang berbahaya bagi dara pemarah itu, maka Tio Bun Wan mengangkat pedangnya dan menangkis senjata yang sedang mengarah dara pemarah itu, hingga terjadi lagi suatu benturan yang keras, yang bahkan sampai mengeluarkan lelatu anak-api.

"Maaf, aku terpaksa mengepung ..." kata Tio Bun Wan; padahal dia sedang merasakan suatu benturan tenaga yang besar dari laki-laki muda bermuka hitam itu.

"Bagus ! Kau masih berlagak sopan ... !" maki laki laki muda bermuka hitam itu; sementara senjata ditangan kirinya menghajar kepala Tio Bun Wan.

Tio Bun Wan berkelit dari serangan senjata lawannya, dan sambil berkelit kakinya turut bergerak menendang lengan kanan musuhnya, namun laki-laki muda bermuka hitam itu sempat menarik tangan kanannya, sehingga nyaris terkena tendangan. Tetapi bertepatan dengan itu, laki-laki muda bermuka hitam itu sekali lagi harus menangkis pedang si dara pemarah yang sudah ikut menyerang dia !

Dengan gesit dara-pemarah itu merobah gerak serangannya karena tak mau dia mengadu tenaga lagi dengan lawan yang bertenaga besar itu, dan waktu dia dibalas dengan suatu serangan, maka dara pemarah itu lompat sedikit menyamping, membiarkan senjata lawannya ditangkis oleh Tio Bun Wan, sementara dari samping kiri itu dia menikam memakai pedangnya.

Dengan dikepung oleh dua lawan yang kuat, sudah tentu laki-laki muda bermuka hitam itu kian bertambah marah, namun lambat-laun kelihatan dia menjadi pihak yang terdesak; terlebih karena dara lawannya telah berlaku cerdik, selalu menghindar dari benturan senjata, membiarkan Tio Bun Wan yang selalu menangkis, dan secara tiba-tiba dara pemarah itu menyerang dari sudut lain yang di luar dugaan.

Pada suatu kesempatan yang diperolehnya, maka pemuda bermuka hitam itu cepat-cepat melarikan diri, dengan dikejar oleh dara pemarah yang menjadi lawannya, dan diikuti oleh Tio Bun Wan, namun laki-laki muda bermuka hitam itu dapat menghilang ditengah banyaknya orang orang yang sedang berlalu-lintas, membikin Tio Bun Wan berdua dara pemarah itu kembali ke tempat penginapan.

Pengurus rumah penginapan menggerutu karena kerugian yang dia derita akibat adanya pertempuran tadi, tetapi waktu dia dibentak oleh dara pemarah itu, maka si pengurus rumah penginapan jadi takut, sebab dia telah mengetahui kegagahan dari dara pemarah itu. Dilain pihak, Tio Bun Wan kelihatan gelisah sebab dia ingin memberikan penggantian, tetapi waktu itu dia hanya mempunyai bekal yang sangat terbatas sekali; merupakan uang sumbangan buat kuil Siao-lim yang gurunya berikan buat sekedar ongkos dia.

Dengan muka berseri-seri dara pemarah itu kemudian mengajak Tio Bun Wan duduk; dan keduanya saling memperkenalkan diri, membikin Tio Bun Wan mengetahui nama dara pemarah itu adalah Ma Kim Hwa, keponakan piauwtauw Ma Heng Kong dari Cin-wan piauwkiok yang namanya sudah menyemarak dikalangan rimba persilatan.

"Pernah kau dengar tentang nama pamanku ... -?" tanya dara Ma Kim Hwa, setelah dia memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman.

"Tidak ..." sahut Tio Bun Wan dengan suara yang perlahan seperti merasa malu-malu; lalu selekas itu juga dia menambahkan perkataannya ; “... baru pertama kali ini aku melakukan perjalanan, sehingga tidak ada yang aku ketahui tentang orang-orang gagah dikalangan rimba persilatan ... -“

Dara Ma Kim Hwa kelihatan seperti merasa kecewa, waktu dia mendengar Tio Bun Wan belum pernah mendengar nama pamannya yang dia anggap sangat cemerlang. Tetapi akhirnya dara pemarah itu dapat mengerti waktu Tio Bun Wan mengakui bahwa pemuda itu belum berpengalaman di kalangan rimba persilatan.

"Pamanku sangat mahir ilmu silatnya,” dara Ma Kim Hwa yang berkata lagi, lalu menyambung dengan memberikan penjelasan tentang usaha pamannya yang katanya sangat ditakuti oleh berbagai kalangan kawanan perampok.

Sementara itu Tio Bun Wan juga menerangkan bahwa ayah dan ibunya tewas karena perbuatan kejam dari sepasang suami isteri yang bernama Gan Hong Bie dan Lie Bie-Nio.

"Aku tahu nama sepasang suami isteri itu. Mereka adalah ketua dari persekutuan Hong-bie pang…" kata Ma Kim Hwa yang sangat mengejutkan hati Tio Bun Wan; disamping dia merasa girang karena telah mulai menemui jejak musuhnya, sedangkan Ma Kim Hwa mengetahui tentang suami isteri itu, melulu sebab sering pamannya menceritakan pengalamannya di kalangan rimba persilatan.

"Kenalkah Ma kouwnio dengan mereka berdua ... ?" tanya Tio Bun Wan.

"Hmm, aku tidak kenal dengan mereka, tetapi aku tahu mereka berselisih dengan pamanku, dan pamanku sudah tentu tidak takut dengan mereka maupun dengan persekutuan mereka . , . " "Mengapa dia berselisih dengan Ma lo cianpwee ?”

Tio Bun Wan menanya lagi dengan penuh perhatian.

"Setahu aku sebab mereka pernah bermaksud merampas kereta piauw yang dilindungi oleh perusahaan pamanku . ,

.." sahut Ma Kim Hwa yang perlihatkan senyumnya; selagi dia mengawasi sepasang alis-putih Tio Bun Wan, yang tidak pernah dia lihat dimiliki oleh lain pemuda.

“Tahukah Ma kouwnio dengan tempat markas Hong-bie pang ...?” Tio Bun Wan menanya sambil menunduk; merasa malu karena alisnya yang istimewa diawasi terus.

"Hm. Pusat markas mereka aku tidak tahu, tetapi Hong- bie pang kelihatannya cepat tumbuh, hampir disetiap kota besar terdapat cabang persekutuan itu ..” dara Ma Kim Hwa memberikan keterangan; sehingga membikin Tio Bun Wan berpikir, bahwa dia sedang menghadapi musuh yang ternyata sangat kuat dan besar pengaruhnya.

"Dengan siapa kau belajar ilmu silat , ..?" tiba-tiba tanya Ma Kim Hwa karena melihat pemuda itu berdiam sambil menunduk, seperti sedang berpikir.

Tio Bun Wan menengadah dan bersenyum, yang berhasil membikin hati Ma Kim Hwa seperti dibetot-betot; setelah itu baru Tio Bun Wan berkata :

"Dengan Tek-ceng Suhu di kuil Siau-lim.”

"Oh...!" Ma Kim Hwa bersuara tanpa terasa, sebab dia kelihatan girang karena bertemu dengan seorang teman baru yang berasal golongan 'Siao-lim’ yang namanya sudah sangat menyemarak; lalu selekas itu juga dia berkata lagi :

"... aku sering mendengar beberapa nama yang berupa tokoh-tokoh dari golongan Siao lim, akan tetapi aku belum pernah mendengar perihal nama gurumu. Sekali waktu aku ingin datang menemui dan ingin minta pengajaran, sebab aku memang bermaksud hendak memperdalam ilmu .. , ."

"Akh ! ilmu-silat kouwnio sudah sangat mahir, dan Tek- ceng suhu tidak menerima murid perempuan .. "

"Hi-hi-hi ...” Ma Kim Hwa tertawa tiga kali 'hi' entah dari mana dia belajar; padahal didalam hati dia merasa sedikit kecewa karena dikatakan Tek-ceng taysu tidak menerima murid perempuan, namun berbareng dia merasa girang dan bangga karena pemuda yang tampan itu telah memuji ilmu kepandaiannya.

Untuk sesaat keduanya kelihatan terdiam, selagi masing- masing terbenam dengan pikiran mereka; lalu Ma Kim Hwa yang bersuara lagi :

"Eh, mengapa kau diam saja ....?” dan sebelah tangan dara Ma Kim Hwa menyentuh sebelah tangan pemuda Tio Bun Wan yang kebenaran berada diatas meja.

"Eh, aku sedang memikirkan tentang Hong bie pang "

sahut Tio Bun Wan seperti merasa kaget; sebab dia sedang memikirkan pihak musuh yang telah membunuh ayah dan ibunya, dan sekaligus dia menjadi kaget karena sebelah tangannya dipegang oleh Ma Kim Hwa, sehingga untuk sejenak tangannya itu terasa seperti kegajahan.

Sementara itu terdengar Ma Kim Hwa yang berkata lagi : "Haaa, rupanya kau takut dengan mereka. Jangan kau

Posting Komentar