Ternyata Kwee Su Liang harus melayani bertempur, namun tak ada niatnya buat melukai kelima orang laki-laki yang tidak dikenalnya itu, sebaliknya berulangkali dia berusaha mendekati Sin Lan yang hendak dia serang dan tangkap hidup-hidup, namun Sin-Lan memberikan perlawanan dengan berteriak menuduh Kwee Su Liang yang melakukan pembunuhan terhadap diri In hujin, dan Kwee Su Liang bahkan hendak memperkosa dirinya.
Jelas muka Kwee Su Liang jadi berobah merah, menyimpan rasa malu bercampur marah, sebab Sin Lan telah menuduh dengan menyebut namanya, bahkan kedudukannya sebagai gubernur penguasa kota perbatasan Gan bun koan, sehingga dalam sekejap dibagian bawah rumah ramai dibicarakan orang, tentang gubernur Kwee Su Liang yang tukang perkosa bini orang !
ANDAIKATA Bo-im kiamhiap Kwee Su-Liang mengetahui siapa sebenarnya Sin Lan, dan juga kelima orang laki-laki yang sedang mengepung dia, maka sudah pasti Kwee Su Liang tidak berlaku lunak. Mereka sebenarnya merupakan suatu komplotan yang telah membinasakan bibiknya Kwee Su Liang dan menculik salah seorang keponakannya si pendekar tanpa bayangan, dan pimpinan dari komplotan itu sebenarnya merupakan pasangan suami-isteri yang tidak diketahui namanya namun hanya dikenal dengan nama Hong-bie ceecu berdua Hong- bie niocu. Untuk mengetahui siapa gerangan nama Hong- bie ceecu serta isterinya, dua tokoh yang memimpin persekutuan Hong-bie pang; terpaksa kita harus beralih dan mengikuti kisah seorang pemuda yatim, yang kelak erat hubungannya dengan Cheng-hwa liehiap Liu Giok Ing, maupun dengan si pendekar tanpa bayangan Kwee Su Liang.
Tio Bun Wan adalah nama pemuda yatim piatu itu, oleh karena sejak kecil kedua orang tuanya telah binasa menjadi korban pembunuhan tanpa dia mengetahui siapa pelakunya; oleh karena pada waktu peristiwa pembunuhan itu terjadi, Tio Bun Wan sedang berada di kuil Siao lim buat menuntut ilmu. Dalam usia 18 tahun, Tio Bun Wan telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan mahir ilmu silatnya; serta memiliki suatu keistimewaan yang sukar dicari keduanya, oleh karena dia memiliki sepasang alis yang putih. Semenjak kecil Tio Bun Wan mengikuti Tek-ceng taysu dikuil Siao-lim diatas bukit See hong san, di propinsi Kwie-tang, sedikit diluar kota Sin hwee sebelah selatan, yang letaknya terpisah tak terlalu jauh dengan laut Leng teng yo dengan pantainya yang berpasir putih.
Waktu itu fajar baru saja merekah, ketika Tio Bun Wan sedang menyusuri dataran luas yang berbukit-bukit. Tubuhnya bersimbah peluh bercampur debu, menandakan perjalanan yang ditempuhnya cukup jauh, tetapi kelihatannya pemuda itu tak merasa lelah, tenaganya cukup kuat buat meneruskan perjalanannya, berkat latihan dan pelajaran yang dimilikinya.
Tio Bun Wan sedang melakukan perjalanan hendak mencari musuhnya, sepasang suami istri kejam yang bernama Gan Hong Bie dan Lie Bie Nio, setelah Tio Bun Wan diberitahu gurunya tentang kejadian yang telah membinasakan ayah dan ibunya.
Tek ceng taysu melihat dan mengetahui bahwa muridnya yang satu ini tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang paderi, sebaliknya bagaikan sudah ditentukan oleh sang Dewata, bahwa Tio Bun Wan bakal mengamalkan ilmunya demi masyarakat luas, sehingga diberinya kesempatan buat sang murid melakukan balas dendam terhadap kedua orang musuhnya, yang sekaligus merupakan perbuatan amal mengenyahkan manusia laknat itu dari muka bumi ini.
Namun demikian, perjalanan Tio Bun Wan dalam usaha hendak mencari kedua musuhnya itu, bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang mudah buat dia lakukan, terutama dia belum berpengalaman bahkan belum pernah melakukan perjalanan seorang diri, apalagi menjelajah dikalangan rimba persilatan yang lazim atau biasa terjadi dan berlaku hukum rimba yang kejam membunuh atau dibunuh!
Baru tiga hari Tio Bun Wan meninggalkan tempat bersemayam gurunya, maka pemuda ini telah menemukan suatu peristiwa yang hampir saja merampas jiwanya.
Hari itu Tio Bun Wan memasuki sebuah kota Pao-kee tin, suatu kota yang kecil tapi banyak penduduknya, dan ramai dari lalu lintas orang-orang yang melakukan perjalanan dan harus melewati kota itu.
Oleh karena hari sudah mendekati magrib, maka Tio Bun Wan mencari sebuah tempat penginapan, untuk dia beristirahat dan bermalam.
Waktu Tio Bun Wan sedang menulis namanya pada buku tamu ditempat penginapan itu, maka sempat didengarnya percakapan di kalangan para tamu, tentang adanya peristiwa perampokan yang sering terjadi didalam kota Pao kee tin itu.
Perhatian Tio Bun Wan ikut tertarik dengan peristiwa yang sedang dibicarakan itu, Setelah diantar masuk kedalam kamarnya, maka pemuda ini menanyakan keterangan lebih lanjut kepada pelayan yang mengantar dia.
Dikatakan oleh pelayan itu, bahwa peristiwa perampokan di kota Pao-kee tin mulai terjadi sejak kira-kira setengah bulan yang lalu. Sebelum itu kota Pao-kee tin katanya merupakan sebuah kota yang cukup aman dan tenteram.
Semalam penjahat itu katanya telah melakukan perampokan lagi, dan yang mendapat giliran adalah hartawan Liu yang letak rumahnya disebelah barat kota kecil itu. Penjahat yang melakukan perampokan itu katanya hanya terdiri dari satu orang, tetapi penjahat itu memiliki kepandaian silat yang mahir, terbukti pihak hartawan Liu sebenarnya mempunyai beberapa orang penjaga malam atau busu yang mahir ilmu silatnya, namun mereka tidak berdaya merintangi perbuatan penjahat itu, sebaliknya diantara para busu itu terdapat dua orang yang tewas dan empat orang terluka parah.
"Bagaimana dengan pihak pejabat pemerintah, apakah tidak mengambil tindakan keamanan ,...?" tanya Tio Bun Wan.
"Pihak pejabat pemerintah setempat sudah berusaha hendak menangkap penjahat itu, namun pihak tentara yang dikirim setelah ada laporan, sudah tentu tidak dapat menangkap si penjahat yang tentunya sudah menghilang. Sekarang pihak pejabat pemerintah telah mengatur penjagaan dibeberapa tempat, namun belum berhasil mereka menemukan si penjahat yang tidak dikenal rupanya, sebab didalam melakukan pekerjaannya, penjahat itu selalu memakai tutup muka dengan secarik kain warna hitam, dan si penjahat masih tetap merajalela, hampir setiap hari terjadi perkara perampokan atau perkosaan terhadap kaum wanita muda , . ,”
"Perkosaan , .. ?" ulang Tio Bun Wan dengan suara perlahan; sedangkan didalam hati bangkit niatnya untuk menangkap si penjahat.
Pelayan itu kemudian meninggalkan Tio Bun Wan, untuk mengambilkan air teh bagi tamunya yang baru datang itu.
Pada waktu makan malam, Tio Bun Wan sengaja makan di ruang-tamu bercampur dengan para tamu-tamu lainnya, baik yang menginap ditempat penginapan itu, maupun yang datang melulu untuk bersantap, sebab rumah penginapan itu memang merangkap usaha sebagai rumah makan untuk umum.
Waktu Tio Bun Wan baru mulai bersantap, perhatiannya mendadak tertarik dengan seorang laki-laki muda yang baru saja memasuki rumah penginapan itu.
Laki-laki muda itu bertubuh tegap agak pendek bermuka agak hitam menyeramkan, dan kelihatan pemarah, terbukti dari cara dia memesan makanan wakiu dia telah memilih tempat duduk yang tidak terpisah jauh dengan tempat Tio Bun Wan.
Dilihat dari cara berpakaian laki-laki itu dan bermuka hitam itu, maka Tio Bun Wan menduga bahwa pemuda itu bukan penduduk kota Poo-kee tin, disamping pemuda itu tentunya pandai ilmu silat dan memiliki tenaga yang besar.
Waktu sedang menunggu makanan yang dipesannya, laki-laki muda bermuka hitam itu kelihatannya tidak sabar, duduknya selalu tidak tenang dan waktu pelayan datang membawakan arak melulu, maka dia membentak minta pesanannya dipercepat.
Si pelayan kelihatan ketakutan mendapat perlakuan yang kasar dari tamunya yang satu itu. Pelayan itu terbongkok- bongkok di hadapan tamu yang galak itu, lalu dia buru-buru meninggalkan dan sampai lama tak muncul lagi, membikin tamu muda itu bertambah marah sampai dia berteriak-teriak dan memukul-mukul meja dengan kepelan tangannya.
Perbuatan laki-laki muda bermuka hitam yang menimbulkan suara berisik itu, telah menarik perhatian banyak tamu lain, dan mendatangkan rasa tidak puasnya seorang dara remaja, bermuka cantik dengan rambut disanggul diatas kepala kemudian dikepang dua dan dibiarkan lepas kebagian bawah melalui sepasang pundaknya.
Dara remaja yang cantik rupanya itu agaknya juga pandai ilmu silat, terbukti dengan cara dia berpakaian yang serba ringkas, menambah nyata kelihatan bentuk tubuhnya yang ramping, dan sebatang pedang kelihatan nempel dibagian punggungnya.
Karena suara berisik yang mendatangkan rasa tidak puasnya, maka dara remaja itu mendekati tempat pemuda bermuka hitam itu duduk, lalu dengan suara nyaring dia membentak :
"Orang-hutan yang kurang ajar, mengapa kau bikin ribut ditempat ini ... !" demikian bentak dara remaja itu dengan suara garang dan sepasang tangan bertolak pinggang.
Muka laki laki muda bermuka hitam-hitam itu menjadi bertambah hitam, waktu dia mendengar bentakan tadi. Dia menengadah dan bersuara mengejek :
"Hem .... ada kuntianak yang rupanya mau ngamuk !”
Hampir semua tamu yang ikut mendengar perkataan itu menjadi tertawa, juga yang sedang membaca ceritera ini ikut jadi mesem yang seperti meringis. Akan tetapi ada sebagian tamu lain yang bergegas dan mereka bersiap-siap hendak menyingkir, karena menduga pasti akan terjadi suatu keributan, yang bisa mengakibatkan kena cangkir- cangkir yang melayang nyasar.
Dara remaja itu yang agaknya juga seorang pemarah, sudah tentu tidak dapat menerima kata-kata pemuda bermuka hitam itu. Secepatnya kilat tangan kanannya memukul kepala pemuda bermuka hitam yang masih duduk menengadah, seperti dia hendak numbuk lalat; tetapi dengan tidak kurang cepatnya, pemuda bermuka hitam itu menundukkan kepalanya, membikin kepalan tangan dara remaja itu Iewat di bagian atas kepala pemuda itu.
Sudah tentu dara remaja yang pemarah itu menjadi penasaran karena pukulannya dapat dengan mudah dihindarkan oleh laki-laki muda bermuka hitam itu.
Gerak yang cepat dari dara remaja pemarah itu, sukar dilihat oleh sembarangan orang, karena tahu-tahu dia telah menyiapkan pedangnya ditangannya, dan itu langsung dia gunakan untuk membacok, seperti ingin membelah gunung.
Serangan dengan memakai senjata tajam itu benar-benar sangat diluar dugaan laki-laki muda bermuka hitam itu. Karena pada mulanya dia menganggap 'enteng' dara remaja yang berdiri dihadapannya, terbukti dia masih duduk meskipun dia sudah dipukul.
Dalam kagetnya, laki-laki muda bermuka hitam itu menekan meja dengan sepasang telapak tangannya, lalu tubuhnya melesat jauh memisah diri dari dara-pemarah yang menyerang dia; dengan gerak 'yan-cu coan in' atau burung-walet menembus-angkasa, dara-pemarah itu ikut melesat mengejar untuk mengulang serangannya dengan suatu tikaman.