"Kau ....?" kata dara Ma Kim Hwa waktu dilihatnya muka liehiap Liu Giok Ing yang dia kenal sebagai pelayan dirumah pamannya.
Cheng-hwa liehiap Liu Giok Ing paksakan diri untuk bersenyum, meskipun dia harus menahan rasa sakit yang bukan kepalang. Akan tetapi waktu Ma Kim Hwa bermaksud mengajak dia pulang dengan memerintahkan pemuda Cin Yam Hui bantu mengangkat tubuh Cheng hwa liehiap Liu Giok Ing: maka liehiap Liu Giok Ing secara tiba- tiba berkata; "Saya mendengar suara sesuatu mungkin masih ada musuh yang mengintai kita. Coba periksa disekitar tempat ini "
Ma Kim Hwa berdua Cin Yam Hui bergerak memisah diri untuk memeriksa sekitar tempat itu, sementara liehiap Liu Giok Ing yang menggunakan kesempatan itu, telah bangun berdiri dengan mengerahkan sisa tenaga yang masih ada.
Dengan susah payah kemudian liehiap Liu Giok Ing mencabut pedang Ku tie kiam, yang masih membenam diperut See thian-tok ong Sila Ponchay; dan dengan pedang itu kemudian dia menulis diatas tanah setelah itu dengan langkah kaki yang lemah dia berusaha pergi meninggalkan tempat itu, dengan membawa luka ditubuh, sekaligus luka dihati. Waktu kemudian Ma Kim Hwa berdua pemuda Cin Yam Hui kembali karena tidak menemukan seseorang maka dia tidak melihat ada liehiap Liu Giok Ing; sebaliknya diatas tanah terdapat pesan tulisan memakai ujung pedang;
"Pulang ke Kuiciu.”
"Pulang ke Kuiciu ?" ulang dara Ma Kim Hwa, lalu bagaikan baru menyadari, maka dia membanting kaki dan menyatakan penyesalannya. Adalah menjadi niatnya dia hendak mencari seseorang berilmu buat dia memperdalam pelajaran ilmu silat, dia tidak pernah menduga bahwa si pelayan memiliki ilmu sedemikian tingginya, sehingga dia telah membuang kesempatan dengan sia-sia, dan merasa sangat menyesal sekali.
"Tetapi dirumah masih ada Cay hong suthay dari Ngo bie pay, mari kita pulang ...” ajak pemuda Cin Yam Hui bagaikan mengingatkan Ma Kim Hwa sehingga dilain saat keduanya berlari-lari untuk pulang ke Cin wan piauwkiok, dan menceritakan semua yang mereka ketahui kepada Ma Heng Kong dan Cay hong suthay yang sedang menunggu kedatangan mereka.
Oleh piauwtauw Ma Heng Kong kemudian dijelaskan kepada pasangan muda mudi itu, tentang siapa sebenarnya Cheng-hwa liehiap serta memperlihatkan juga surat peninggalan Liu Giok Ing yang mengucap terima kasih serta maaf yang sebesar-besarnya karena dia terpaksa umpatkan diri di Cn-wan piauwkiok, selama dia menderita luka dan sedang berobat.
"Sayang dia tidak kembali ke tempat kita, sehingga aku tidak sempat belajar ilmu silatnya yang begitu sakti ...” kata dara Ma Kim Hwa yang menyatakan penyesalannya.
Cay-hong suthay yang turut mendengarkan perkataan itu, menjadi bersenyum dan berkata : "Kalau Ma kouwnio benar-benar ingin beIajar, tak susahnya buat kau menyusul ke Kui-ciu ”
Ma Kim Hwa berdiri terpesona mendengar perkataan Cay hong suthay. Pada mulanya adalah menjadi hasratnya, bahwa setelah gagal belajar dari liehiap Liu Giok Ing, maka dia bermaksud hendak belajar dengan Cay-hong suthay. Akan tetapi setelah dia mendengar perkataan itu, dengan mendadak dia batal mengajukan pertanyaan itu sebab dia bertekad hendak menyusul Cheng-hwa liehiap Liu Giok Ing ke Kui ciu, di Inlam, Tali.
iti-Z X Z !i!
SEMENTARA itu Bo im kiamhiap Kwee Su Liang yang merasa sia-sia menunggu kedatangan bala bantuan tentara dari kota raja, maka pada suatu hari dengan menyamar sebagai seorang penduduk desa, Kwee Su Liang melakukan penyelidikan memasuki daerah kekuasaan suku bangsa Watzu.
Pada dusun pertama yang letaknya terdekat dengan perbatasan kota Gan-bun koan, Kwee Su Liang mempunyai seorang kenalan bangsa Watzu yang mempunyai kedudukan sebagai kepala desa, namanya In Kek See, yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun.
Dengan menyamar sebagai seorang penduduk desa yang berpakaian sangat sederhana, Kwee Su Liang memasuki dusun itu tanpa mendatangkan rasa curiga pihak penduduk setempat akan tetapi sebaliknya Kwee Su Liang yang sudah setahun tidak pernah menemui kenalannya, menjadi agak heran ketika mendapati dusun itu sudah berubah, sangat berbeda dengan waktu dulu.
Penduduk dusun itu sekarang kelihatan bertambah banyak, bahkan bercampur dengan orang orang cina yang menetap di dusun itu menandakan kedua negara itu sedang dalam suasana damai, tidak ada rasa permusuhan. Akan tetapi, suku bangsa cina yang menetap di dusun itu, kelihatannya bercampur dari berbagai daerah, ada yang berasal dari daerah Kanglam, bahkan ada yang dari propinsi Kwie say, yang letaknya sangat jauh terpisah dari perbatasan kota Gan bun koan.
Kwee Su Liang langsung mendatangi rumah kepala desa In Kek See, dan hasrat hatinya ingin dia menanyakan keterangan tentang perkembangan di desa itu, terutama tentang banyaknya orang-orang cina yang berasal dari berbagai daerah itu yang benar-benar sangat mengherankan hatinya.
Rumah kepala desa itu kelihatan sunyi bagaikan tidak ada penghuninya, meskipun lalu lintas dibagian depan rumah masih kelihatan cukup ramai, lalu dia mengetuk pintu yang ditutup.
Sesaat kemudian Kwee Su Liang mendengar adanya suara langkah kaki seseorang dari bagian dalam rumah. Suara langkah kaki yang halus menandakan dari seorang perempuan, dan dilain saat daun pintu itu dibuka, lalu seorang perempuan muda berdiri berhadapan dengan Kwee Su Liang.
Umur perempuan itu kira-kira baru 20 tahun lebih, bermuka cantik bahkan kelihatan genit. Dia perlihatkan senyum yang menawan, membikin sejenak Kwee Su Liang kelihatan seperti menjadi gugup gelisah, disamping dia merasa heran, sebab perempuan muda itu adalah orang cina, bukan suku bangsa Watzu !
"Maaf, apakah rumah ini masih menjadi miliknya In Kek See yang kedudukannya sebagai kepala desa ...?" tanya Kwee Su Liang, khawatir kalau In Kek See sudah pindah rumah. Perempuan muda itu menambah senyumnya, dan halus merdu suaranya waktu dia memberikan jawaban :
"Benar, akan tetapi dia sedang pergi. "
Tetap Kwee Su Liang merasa gugup gelisah, meskipun perempuan muda itu sudah membenarkan pertanyaannya. Lirikan mata dan senyuman menawan dari perempuan muda itu, benar-benar membikin Kwee Su Liang bertambah gugup, disamping dia merasa heran entah ada hubungan apa antara ln Kek See dengan perempuan muda bangsa cina itu.
"Isterinya In Kek See, apakah dia berada dirumah .. , .?" akhirnya Kwee Su Liang menanya lagi, masih merasa gugup sehingga lagaknya itu berhasil membikin perempuan itu bersenyum lagi, yang terasa semakin menawan bahkan merangsang.
"Juga sedang pergi ..." sahut perempuan muda itu singkat, tetapi senyum dan lirikan matanya, benar benar bisa membikin hati Kwee Su Liang berguncang-guncang berontak, seperti ngajak dangdut, sehingga untuk sesaat Kwee Su Liang jadi terdiam bagaikan tak sanggup mengucap kata kata, dan perempuan muda itu kemudian bicara lagi :
"Kalau siangkong mau menunggu silahkan masuk . , ."
“ ... siangkong . , .” katanya, bukan main bikin hati Kwee Su Liang tambah anjlok seperti keluar dari rel.
"Eh, oh ... " bertambah gugup gelisah keadaan Kwee Su Liang, tetapi waktu perempuan muda itu menyisi dan memberikan jalan buat Kwee Su Liang memasuki bagian dalam dari rumah itu, maka bagaikan tanpa sadar Kwee Su Liang melangkahkan kakinya dan dia bahkan masih seperti tak sadar waktu dia duduk diruangan tamu. "Eh, siao kouwnio pernah apa dengan In Kek See ... ?" tanya Kwee Su Liang setelah dia duduk dan perempuan muda itu berdiri didekatnya, tetap gugup gelisah keadaan Kwee Su Liang; dan dia memakai istilah 'siao kouwnio' atau nona kecil, buat lawan istilah 'siangkong' atau baba yang digunakan perempuan muda tadi.
Sementara itu perempuan muda itu menjadi tambah bersenyum yang menawan dan merangsang, sehingga sekilas Kwee Su Liang ingin menggigit mulut perempuan muda itu, yang kelihatan kecil dengan bibir merah membasah !
“Hi hi, siao kouwnio...'' ulang perempuan muda itu sambil dia tertawa dua kali hi yang entah dapat belajar dari mana; setelah itu buru-buru perempuan itu menambahkan perkataannya :
"...kalau siangkong menganggap aku sebagai bocah yang masih ingusan, apakah aku harus menganggap siangkong sebagai lo ya atau lo kung-kung ..." dan dia tertawa lagi; terdengar manja bercampur jenaka: sehingga berhasil dia membikin Kwee Su Liang menjadi tersipu anjlok-anjlok yang bukan cuma satu kali anjlok, dan bertambah gugup waktu dia berkata :
"Eh, oh; maaf. Tetapi . , , . "
"NAMA saya, Sin Lan. Saya lebih senang kalau siangkong mau menyebut nama saya tanpa memakai embel- embel kouw-nio !" dan perempuan muda itu menunduk perlihatkan lagak malu-malu kucing. Akan tetapi lirikan matanya yang aduhai, membikin sukar Kwee Su Liang bernapas, sehingga napas itu bahkan sampai terdengar memburu seperti dia sedang dikejar kura-kura, "Tetapi, kouw-nio "
"Akh !" perempuan muda itu memutus perkataan Kwee Su Liang, perlihatkan lagak manja yang bercampur merangsang !
"Eh, tetapi Lan moay "
"Nah, itu baru benar, saya jadi senang mendengarnya !" dan lincah manja Sin Lan bergerak memegang sebelah tangan Kwee Su Liang. Wajar perbuatannya seperti dia tidak memperhatikan keadaan Kwee Lu Liang yang waktu itu jadi bertambah gugup sehingga sepasang tangannya gemetar merasa kegajahan, dan tak mampu dia mencegah perbuatan Sin Lan, bahkan bertambah gugup suaranya waktu dia berkata lagi ;
''Lan-moay belum menjawab pertanyaan saya yang tadi
!"
"Pertanyaan apa ?" tanya Sin Lan merasa lupa, dan dia
sengaja lupa mengangkat tangannya yang masih memegang sebelah tangan Kwee Su Liang.
''Lan moay pernah apa dengan In Kek-See ?" Kwee Su Liang mengulang pertanyaannya :
"Hi-hi ..." tawa lagi Sin Lan, tetap dua kali 'hi' dan tetap tawa memikat, lalu dia meneruskan berkata.
"... saya mantunya !"
"Eeh, dari anak yang mana ?"
"Hi-hi-hi ..." tiga kali 'hi' Sin Lan menambah tawanya, dan menambah perlihatkan lagak manja yang merangsang; setelah itu baru dia menambahkan perkataannya :
" .. sudah tentu dari anaknya yang pertama, masa dua- duanya ..." dan tertawa lagi Sin Lan akan tetapi cepat-cepat dia tinggalkan Kwee Su Liang ke ruangan belakang; membiarkan Kwee Su Liang gugup gelisah, tetapi sempat berpikir.