Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 47 (Tamat)

NIC

“Baik, baik ! Kau matilah, matilah tanpa kepala ! Aku ingin melihat kepalamu yang cantik dan angkuh itu menggelundung di depan kakiku !” Setelah berkata demikian, Gu Liong lalu meninggalkan tempat itu.

Sunyi keadaan di kamar kurungan itu setelah Gu Liong pergi.

“Bedebah !” tiba-tiba Cin Pau berkata perlahan. “Ku kira tadinya betul-betul bangsat itu hendak berbuat kebaikan menolong kita.”

“Semenjak ia masuk, aku pun telah merasacuriga, tentu ia mempunyai maksud buruk,” kata Siauw Eng dengan mulut cemberut.

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka lagi dan kini Hwee Lian lah yang masuk dengan perlahan.

“Apa pula kehendaknya ?” Siauw Eng berpikir sambil tetap menutup matanya dan mengintai dari balik bulu mata. Hwee Lian memandang ke arahnya, kemudian lalu terus menghampiri kurungan Cin Pau. Tanpa berkata apa-apa, gadis itu lalu mengeluarkan sebilah pedang dari balik lipatan bajunya dan memberikan itu kepada Cin Pau yang menerimanya dengan mata terbuka karena heran. “Nona .... mengapa kau begini baik hati ?”

Hwee Lian tidak menjawab, hanya sambil menahan isaknya ia lalu membalikkan tubuh dan berkata perlahan. “Hati-hatilah !”

Akan tetapi pada saat itu, Can Kok menerobos masuk dengan muka merah karena marahnya. “Kau ....

pengkhianat !” katanya sambil menyerang Hwee Lian. Gadis itu terkejut dan melompat sambil mengelak.

“Can-ciangkun, mereka .... mereka adalah sahabat-sahabat baikku semenjak kecil “ ia membela diri

dan sekali lagi mengelakkan pukulan Can Kok yang marah.

Kemudian Can Kok menarik kembali tangannya yang hendak menyerang terus. “Biarlah, apa gunanya aku menyerang kau ? Kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah puteri Gan-ciangkun dan cucu pangeran Gu, tentu sekarang juga aku binasakan kau ! Tidak apa kau memberi pedang kepadanya, karena apa artinya pedang itu baginya dalam keadaan sekarang ? Kau pergilah !”

Sambil menahan isaknya, Hwee Lian lalu pergi dari situ dan Can Kok menutupkan pintu ruangan itu dengan marah sekali. Terdengar ia memaki-maki penjaga pintu yang dikatakan lancang dan memesan agar siapa saja jangan diperkenankan masuk kalau tidak bersama dia.

Cin Pau yang telah menerima pedang dari Hwee Lian, memandang pedang itu dengan termenung. Mengapa gadis itu demikian baik kepadanya ?

“Cin Pau, benar seperti dugaan ku dulu. Gadis itu mencintaimu, mencinta dengan suci dan ia berani berkorban pula !” tiba-tiba Siauw Eng berkata.

“Apa katamu ? Baru saja beberapa kali dia melihatku.”

“Apakah salahnya ? Untuk mencintai orang, sekali saja melihat sudah cukup. Ia pernah menyatakan kepadaku betapa ia kagum dan kasihan melihatmu.”

“Celaka ! Rupa-rupanya ada dua orang penggoda yang mengganggu kita,” kata Cin Pau. “Bukankah hal itu baik sekali ? Dia cantik dan baik budi,” Siauw Eng menggoda.

Terdengar Cin Pau menghela napas. “Hm, jadi tiga sekarang penggoda-penggoda itu. Tiga orang dengan engkau sendiri ! Sudahlah, Siauw Eng, jangan kita bicarakan urusan itu. Mencintai atau tidak, aku sama sekali tidak menaruh perhatian kepadanya dan pedang ini tetap pedang. Mungkin aku dapat membuka pintu ini dengan pedang !” Ia lalu membacok dengan sekuat tenaga ke arah jari-jari pintu itu, akan tetapi bukan jari-jari besi itu yang putus, bahkan pedangnya menjadi somplak. Ternyata bahwa jari-jari itu bukan terbuat dari pada besi biasa, tetapi dari baja yang tulen yang keras dan memang khusus dibikin dengan kuat dan tahan bacokan pedang. Cin Pau melempar pedang itu ke bawah dengan hati kecewa.

“He, jangan kau menyia-nyiakan cinta seorang gadis !” tegur Siauw Eng. “Apa pula maksudmu ?” tanya Cin Pau kesal.

“Pedang itu adalah pedang hadiah yang dimaksudkan untuk tanda mata, mengapa kau buang-buang ? Itu berarti bahwa kau tidak menghargai cinta kasihnya !”

Mendengar godaan itu, dengan hati merasa sebal Cin Pau lalu menjatuhkan diri dan bersandar pada dinding. Ia mulai hilang harapan untuk dapat lolos dari kurungan yang kokoh kuat ini.

Menjelang pagi, penjaga-penjaga pintu kamar kurungan itu melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita berjalan menuju ke kamar kurungan. Oleh karena mereka melihat Can Kok berada ditengah, berjalan dan bergandeng tangan dengan seorang tua dan nampaknya sebagai sahabat-sahabat baik, mereka diam saja dan tidak merasa curiga. Ketika mereka itu telah masuk ke dalam ruangan, alangkah girang dan terkejut hati Cin Pau melihat bahwa yang masuk itu adalah Tiauw It Lojin, Sian Kong Hosiang, dan Lin Hwa, Ibunya. Hampir saja ia berseru girang, akan tetapi Tiauw It Lojin telah memberi isyarat sehingga ia menahan kegembiraannya. Ketika Tiauw It Lojin melepaskan tangannya yang tadi menggandeng lengan Can Kok, perwira itu jatuh lemas bagaikan sehelai kain. Ternyata bahwa perwira ini telah ditotok sedemikian rupa oleh Bu Eng Cu sehingga tak dapat berteriak maupun bergerak, dan ketika tadi digandeng, ia sebetulnya tidak berjalan sendiri, hanya didorong oleh Tiauw It Lojin sehingga para penjaga tidak tahu bahwa sebenarnya majikan mereka itu berada di bawah kekuasaan ketiga orang tua itu.

Malam itu, dengan mempergunakan ilmu ginkang yang luar biasa, ketiga orang tua itu berhasil memasuki gedung Can Kok dan Bu Eng Cu lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya, memasuki kamar Can Kok dan membuat perwira itu tidak berdaya dengan totokannya. Para panglima dan perwira lain yang tidur di lain kamar, tidak ada yang mendengar oleh karena sebelumnya, Lin Hwa telah mempergunakan semacam hio yang dibakar dan asapnya ditiupkan di jendela mereka hingga mereka tidur dengan amat nyenyaknya.

Setelah membuat Can Kok tidak berdaya, dengan akal yang licin, yakni menggandeng lengan Can Kok yang tidak berdaya dan mempergunakannya sebagai surat jalan, mereka berhasil masuk ke dalam kamar kurungan. Oleh karena yang memegang kunci kurungan itu adalah Can Kok sendiri, maka dengan mudah mereka dapat merampas kunci dari kantong perwira itu dan membuka kedua kurungan.

Cin Pau lalu berlutut di depan ketiga orang itu, dan Siauw Eng juga berlutut tanpa mengucapkan sesuatu karena mereka maklum bahwa di luar masih ada penjaga-penjaga. Akan tetapi, sebelum ketiga orang itu sempat mencegah, tiba-tiba Siauw Eng dan Cin Pau yang melihat tubuh Can Kok menggeletak di situ dalam keadaan tertotok dan tak berdaya, keduanya lalu melompat dan mengirim pukulan dengan hebat. Tubuh Can Kok berkelonjot sekali dan nyawanya melayang ke akhirat.

“Omitohud ” Sian Kong Hosiang menyebut nama Buddha, dan Tiauw It Lojin hanya tersenyum.

“Memang dosa-dosanya telah melewati ukuran,” katanya perlahan, kemudian ia lalu mengajak semua orang keluar dari situ dengan cepat. Empat orang penjaga di luar pintu ketika melihat bahwa dua orang tawanan mereka telah keluar, merasa terkejut sekali dan mereka mencari-cari Can Kok dengan mata mereka.

“Di mana Can-ciangkun ?” tegur mereka dengan curiga.

“Dia berada di dalam,” kata Tiauw It Lojin dan ketika keempat orang itu menuju ke pintu, dengan cepat sekali Tiauw It Lojin mendorong mereka ke dalam kamar dan menutup pintunya. Sambil berlari, kelima orang itu lalu keluar dari rumah Can Kok.

Akan tetapi, ketika mereka keluar dari rumah, di halaman depan telah menanti Mau Kun Liong, Oey Houw, Oey See In, bahkan nampak juga Kim I Lokai dan Pauw Su Kam. Mereka ini telah mendapat tahu dari seorang penjaga dan segera menyadarkan ketiga panglima dan perwira-perwira lain yang segera menanti di situ, mencegat keluarnya kelima orang buronan itu. Tak dapat dicegah lagi, di waktu fajar mulai menyingsing itu, di halaman rumah Can Kok yang luas, terjadilah pertempuran yang luar biasa hebatnya.

Namun sepak terjang kelima orang yang dikeroyok itu terlalu hebat hingga para pengeroyok tak berdaya mengurung dan mendesak mereka. Tiauw It Lojin dan Sian Kong Hosiang dengan kedua tangan kosong menangkap-nangkapi para pengeroyoknya dan melempar-lemparkan mereka dengan mudah saja. Kim I Lokai merasa terkejut sekali hingga ia dan para perwira menjadi was-was menghadapi dua orang tua yang gagah perkasa ini.

Tiba-tiba, setelah fajar menyingsing pagi, datanglah dua orang tosu yang bukan lain adalah tosu Gobi- san, Cin San Cu dan Bok San Cu. Ketika melihat bahwa yang membela para pemberontak adalah Tiauw It Lojin, Bok San Cu berkata,

“Bu Eng Cu, mengapa kau orang tua ikut-ikut campur membela pemberontak ? Sudah lenyapkah kesetiaanmu terhadap kerajaan dan apakah kau orang tua hendak menjadi pemberontak pula ? Serahkan Siauw Eng kepadaku, dia adalah murid kami dan kami yang berhak memutuskan perkaranya

!”

“Ha, ha, ha ! Enak saja kau bicara ! Siapa yang memberontak dan siapa yang mengkhianati raja ? Perwira-perwira palsu macam Can Kok itulah yang sebenarnya memberontak dan mengacaukan keamanan negara !” “Kau pandai memutar lidah ! Serahkan Siauw Eng kepada kami !”

Akan tetapi permintaan ini diganda tertawa saja oleh Bu Eng Cu, sedangkan Cin Pau lalu maju menghalang di depan Siauw Eng dengan pedang di tangan.

“Kalau begitu, terpaksa kami harus membela kehormatan nama Gobi-pai !” seru Cin San Cu yang lalu menyerang dengan hebat, dan disambut oleh Bu Eng Cu. Pertempuran menjadi makin sengit dan ramai sekali.

Tiba-tiba datang dua orang tua yang gagah yang bukan lain ialah Pek Seng Hwesio dan Beng Hong Tosu. Mereka ini berjalan dengan cepat dan ketika tiba di tempat pertempuran, Pek seng Hwesio membentak, “Berhenti semua !”

Bentakan ini dikeluarkan dengan tenaga khikang luar biasa sekali hingga terdengar amat berpengaruh dan semua orang segera menahan senjata mereka.

“Pek Seng Hwesio dan Beng Hong Tosu, mengapa kalian berdua meninggalkan tempat pertapaan pula dan datang ke tempat ini ? Apakah kalian juga hendak membela pemberontak ?” tanya Bok San Cu yang berangasan.

Pek Seng Hwesio tersenyum. “Kalian harus belajar bersabar, sahabat. Semua adalah menjadi kurban kesalahpahaman yang ditimbulkan oleh seorang jahat bernama Can Kok itu. Bahkan kaisar sendiri juga merasa menyesal karena terlalu percaya kepada orang she Can yang berhati busuk. Lihatlah, pinceng membawa surat perintah dan keputusan dari Kaisar sendiri !”

Para panglima dan kedua tosu serta para perwira segera menghampiri dan benar saja, yang dipegang oleh Pek Seng Hwesio itu adalah surat perintah dari Kaisar yang tidak saja mengampuni Gak Song Ki dan isterinya, bahkan juga mengampuni Cin Pau dan Siauw Eng, kemudian menjatuhkan keputusan hukuman mati kepada Can Kok yang dianggapnya sengaja menipu Kaisar dan menimbulkan kekacauan dan permusuhan. Juga di situ disebut dan dinyatakan bahwa Kuil Thian Lok Si adalah kuil suci yang akan dibangun lagi atas biaya pemerintah. Tentu saja semua orang merasa gembira oleh karena memang amat berat menghadapi dan melawan orang-orang tua yang gagah perkasa itu. Juga Cin San Cu dan Bok San Cu menjadi lega oleh karena mereka tak usah menghukum murid yang disayanginya itu yang terpaksa hendak dilakukannya karena kesetiaan mereka terhadap Kaisar.

Bukan main girangnya hati Siauw Eng ketika bertemu dengan ibu dan ayah tirinya lagi dalam keadaan selamat. Hal-hal yang telah lalu dilupakan dan semua merasa berbahagia sekali. Terutama perjumpaan antara Lin Hwa ibu Cin Pau dan Kwei Lan, mendatangkan keharuan besar. Mereka saling peluk dan saling menangis dengan terharu, akan tetapi di dalam itu terdapat kebahagiaan besar oleh karena mereka dapat mengikat tali perjodohan antara anak mereka, keturunan langsung dari Khu Tiong dan Ma Gi.

Yang paling merasa kecewa dan tidak berbahagia adalah Gu Liong dan Hwee Lian oleh karena kedua orang muda ini merasa kecewa, akan tetapi, Hwee Lian terhibur hatinya ketika mendengar bahwa Cin Pau dijodohkan dengan Siauw Eng, gadis yang ia kagumi dan sukai itu. Sedangkan Gu Liong beserta ibunya, yang menaruh dendam besar terhadap keluarga Khu dan Ma, pada suatu hari dengan tak tersangka-sangka telah didatangi oleh Kwei Lan dan Lin Hwa. Kedua nyonya Khu dan nyonya Ma ini mengadakan kunjungan setelah mendengar cerita anak mereka betapa nyonya Gu Keng Siu itu membenci mereka dengan hebat. Dengan sikapnya yang halus dan lemah lembut, Lin Hwa berkata, “Adikku, sebelum peristiwa hebat itu terjadi, kita telah menjadi kenalan baik, bahkan bukan kenalan biasa, boleh dikatakan seperti keluarga sendiri. Lalu terjadilah hal-hal yang amat buruk dan yang mendatangkan kesedihan besar itu. Bagi kita sekarang, tak perlu mempersoalkan mana betul mana salah. Yang penting ialah bahwa kita harus ingat akan keadaan kita sendiri. Apakah peristiwa yang terjadi itu kita kehendaki ? Tidak, hal itu datang dan terjadi secara dipaksakan kepada kita yang tak berdaya. Kalau kedua kakek Khu dan Ma dianggap bersalah, mereka sudah mendapat hukuman dan tewas. Kalau kedua suami kami itu dipersalahkan mereka juga sudah terhukum dan tewas. Mengapa kau masih menaruh dendam ? Yang berbuat sudah meninggal, sedangkan kita dan anak kita ini hanyalah merupakan keturunan yang tidak tahu menahu dalam persoalan itu. Kalau kau membalas, kemudian anak kita saling bermusuhan, lalu anak mereka bermusuhan pula, dilanjutkan dengan cucu mereka, bukankah itu berarti bahwa kita ini hanya hendak mengacaukan keadaan dan hidup kita terdorong oleh nafsu dendam yang tiada habisnya, yang membuat kita menjadi liar seperti serigala saling makan kawan sendiri ? Insaflah, adik dan kalau memang kau anggap kami bersalah, maafkanlah kami.” Mendengar uraian panjang lebar dan melihat sikap Lin Hwa yang halus ini, luluhlah kekerasan hati nyonya Gu Keng Siu. Dipeluknya Lin Hwa dan Kwei Lan dan ia menangis dengan sedihnya.

Berbeda dengan nyonya Keng Siu, ibu yang dulu menjadi nyonya Leng Siu, telah dapat menginsafi keadaan dan tidak menaruh dendam. Maka berkat kebijaksanaan Lin Hwa, berakhirlah permusuhan hebat itu. Juga Siauw Eng merasa tunduk dan kagum kepada calon ibu mertuanya yang bijaksana.

Kuil Thian Lok Si dibangun kembali atas biaya Kaisar dan kini bahkan dibangun dengan hebat, jauh lebih megah dan besar dari pada dulu. Sian Kong Hosiang menjadi pemimpin kuil itu lagi, sedangkan Pek Seng Hwesio bersama Beng Hong Tosu dan Tiauw It Lojin lalu naik ke Kunlun-san, di mana Pek Seng Hwesio lalu mendirikan sebuah kuil kecil untuk tempat ia bertapa.

Demikianlah, permusuhan hebat itu diakhiri dengan baik dan damai, dan akibat hasutan dan kejahatan hati Can Kok yang telah mengurbankan banyak jiwa dan bahkan telah memusnahkan kuil Thian Lok Si itu telah dilupakan orang. Memang tepat pendapat Lin Hwa bahwa dendam hati hanya dapat diakhiri dengan kesadaran dan kebijaksanaan, karena kalau dituruti saja nafsu dendam ini, akan berkepanjangan dan tiada akan ada habisnya.

Cerita ini ditutup dengan peristiwa bahagia, yakni ditemukannya sepasang mempelai, Khu Cin Pau dan Ma Siauw Eng yang selanjutnya hidup penuh kebahagiaan dan kerukunan. Lebih menggembirakan lagi bahwa Gu Liong dan Gu Hwee Lan lambat laun dapat melupakan pula kekecewaan hati mereka dan akhirnya pun mendapat jodoh masing-masing.

TAMAT

Posting Komentar