Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 46

NIC

“Memang, kita harus berusaha membinasakan penjahat ini, sesuai dengan permintaan ayah tirimu tadi.”

Dan pada keesokkan harinya, dengan kepandaiannya tentang obat-obatan, Cin Pau melumuri mukanya dengan semacam bedak hingga kulitnya menjadi kekuning-kuningan. Ia mengganti model ikatan rambutnya dan mengganti pakaiannya pula, sedang Siauw Eng lalu berpakaian sebagai seorang anak muda pelajar yang tampan sekali. Pedang mereka, mereka sembunyikan di dalam baju yang lebar dan longgar. Dengan dandanan seperti ini, siang-siang mereka dapat masuk melalui pintu gerbang kota tanpa menimbulkan kecurigaan. Mereka langsung menuju ke gedung Can Kok.

Cin Pau dan Siauw Eng terlalu memandang rendah kepada perwira ini. Sebetulnya dalam siasat dan tipu muslihat, kedua anak muda ini bukanlah lawan Can Kok yang sudah berpengalaman dan yang memang pada dasarnya cerdik dan penuh akal. Ia sudah dapat menduga akan hal ini, maka diam-diam ia menaruh mata-mata di tiap pintu gerbang, bahkan di seluruh kota ia menyebar mata-mata. Oleh karena itu, ketika Cin Pau dan Siauw Eng memasuki pintu gerbang, biarpun mereka menyamar, namun mereka ini hanya dapat mengelabuhi mata para penjaga saja. Mata para mata-mata yang cerdik tak dapat mereka tipu dan mereka telah tahu bahwa kedua orang muda ini adalah orang-orang yang harus mereka cari dan awasi. Maka sebelum Cin Pau dan Siauw Eng tiba di depan rumah gedung Can- ciangkun, perwira ini telah lebih dahulu mengetahuinya.

Ketika Cin Pau dan Siauw Eng melihat betapa rumah gedung itu sunyi sekali, bahkan di luar rumah juga tidak terlihat adanya orang atau penjaga, mereka menjadi girang sekali dan dengan cepat mereka lalu masuk ke dalam halaman depan. Mereka bermaksud untuk berpura-pura mencari Can-ciangkun dan percaya bahwa penjaga-penjaga tentu takkan mengenal mereka. Akan tetapi oleh karena tidak melihat adanya orang di situ, mereka terus maju sampai di pintu depan yang terbuka lebar. Dari pintu ini mereka melihat Can Kok duduk di ruang depan, duduk seorang diri. Ketika mendengar suara tindakan mereka, perwira itu menengok dan pada mukanya terbayang keheranan seperti biasanya orang melihat datangnya tamu-tamu yang tak dikenal.

“Jiwi siapakah ? Dan ada keperluan apa ?” tanyanya dengan suara biasa dan berdiri dari bangkunya.

“Kami hendak mohon bertemu dengan Can-ciangkun,” kata Cin Pau sedangkan Siauw Eng menahan marahnya sedapat mungkin. Mereka melangkah maju mendekati perwira itu.

“Can-ciangkun tidak berada di rumah,” jawab Can Kok sambil menjura dan pada saat ia menjura itu, dari tangannya melayang dua batang piauw yang semenjak tadi telah disediakan. Cin Pau cepat mengelak, demikianpun Siauw Eng dan kedua orang muda ini cepat-cepat mencabut keluar pedang mereka dan menyerang. Akan tetapi, sambil tertawa Can Kok melarikan diri ke dalam, dikejar oleh Cin Pau dan Siauw Eng. Mereka kini berada di ruang dalam yang luas dan tiba-tiba dari seluruh penjuru muncul Mau Kun Liong, Oey Houw, Oey See In, dan beberapa orang perwira lain. Mereka ini serentak mengurungnya dengan serangan-serangan hebat.

Bukan main terkejut hati Siauw Eng dan Cin Pau melihat hal ini. Ternyata bahwa perwira she Can itu benar-benar luar biasa cerdiknya. Akan tetapi, hal ini mereka ketahui setelah terlambat karena perwira- perwira itu tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk banyak berpikir dan menyesali kesembronoan sendiri. Senjata mereka bergerak cepat bagaikan hujan menyerang secara bertubi-tubi kepada dua orang muda itu.

Cin Pau dan Siauw Eng menggigit bibir dan memutar-mutar pedang dengan hebatnya. Mereka mengerti bahwa keadaan mereka berbahaya sekali, akan tetapi mereka tidak mau menyerah begitu saja dan melakukan perlawanan nekad dan mati-matian. Akan tetapi, kepandaian ketiga orang panglima itu yang khusus diperbantukan untuk menghadapi lawan-lawan tangguh ini, cukup cekatan dan dengan bantuan perwira-perwira lain, keadaan Cin Pau dan Siauw Eng benar-benar berbahaya dan terdesak sekali.

Adapun Can Kok yang maklum bahwa kedua orang muda itu sengaja datang hendak mencari dan membunuhnya, telah pergi bersembunyi dan mengintai pertempuran itu dengan hati girang. Cin Pau dan Siauw Eng segera mencari jalan keluar karena kedua anak muda itu maklum bahwa kalau mereka tidak dapat melarikan diri, akhirnya mereka tentu akan binasa. Maka dengan mengerahkan tenaga dan kepandaian, Cin Pau dan Siauw Eng dapat merobohkan masing-masing seorang lawan.

Kegagahan ini membuat perwira-perwira lain menjadi gentar, kecuali tiga orang panglima itu yang masih mendesak dan mengurung dengan rapatnya.

Sementara itu, diam-diam Can Kok mengerahkan banyak sekali tentara mencegat di halaman depan sehingga jalan keluar bagi Cin Pau dan Siauw Eng tertutup. Hal ini diketahui pula oleh Cin Pau dan Siauw Eng karena para tentara itu berteriak-teriak di luar rumah, maka tentu saja kedua orang muda ini menjadi makin gelisah. Tiba-tiba Cin Pau memutar pedangnya dengan gerak tipu Hing Sau Chian Kun atau serampang bersih ribuan tentara. Diputar-putar pedangnya terus ke bawah hingga beberapa kali pedangnya menyerampang ke arah lawan-lawannya yang terpaksa mengelak mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cin Pau untuk memegang lengan kiri Siauw Eng dan menariknya lari ke dalam. Ia maklum bahwa jalan keluar telah tertutup, maka jalan satu-satunya ialah lari ke dalam dan mencoba untuk keluar dari pintu belakang.

Ketiga orang panglima dan lima orang perwira mengejar mereka. Cin Pau dan Siauw Eng yang berlari secara membuta karena tidak tahu harus mengambil jalan ke mana, memasuki pintu dan tiba di dalam sebuah kamar yang mewah dan indah dan di kamar ini kembali mereka mengalami hal yang mengejutkan lagi betapa lihainya orang she Can itu. Kamar itu cukup lebar dan mempunyai jendela yang lebar pula. Dari lubang jendela, Cin Pau dan Siauw Eng dapat melihat bahwa di luar kamar itu adalah taman bunga yang indah. Maka mereka menjadi girang sekali dan cepat berlari ke arah jendela itu. Akan tetapi, ketika mereka berlari di atas lantai yang bertilamkan permadani tebal dan indah itu, tiba-tiba tubuh mereka terjeblos ke bawah, ke dalam lubang besar yang tertutup permadani. Cin Pau dan Siauw Eng berseru keras karena terkejut, akan tetapi mereka tidak keburu melompat pergi dan berikut permadani tebal itu, tubuh mereka melayang ke bawah.

Untung sekali mereka memiliki ginkang yang tinggi hingga mereka bisa menggerakkan tubuh ketika melayang dan bisa mengatur hingga jatuh mereka dengan kaki di bawah dan tidak mengalami luka- luka. Akan tetapi, baru saja mereka terjatuh di dalam sebuah kamar yang berbentuk bulat, tiba-tiba dari kanan kiri masuk asap putih bergulung-gulung yang tebal. Asap ini berbau pedas sekali dan biarpun mereka mencoba untuk menahan napas namun asap itu telah membuat mata mereka pedas dan panas hingga tak dapat dibuka dan hidung telah terasa perih, Akhirnya Cin Pau dan Siauw Eng tak tahan lagi, sekali saja mereka bernapas dan menyedot asap putih yang telah memenuhi kamar itu, mereka terguling dalam keadaan pingsan.

Ketika tersadar dan siuman kembali, Cin Pau dan Siauw Eng mendapatkan bahwa mereka telah terpisah satu sama lain, keduanya berada dalam sebuah kamar terpisah dan kamar itu terbuat dari pada batu yang kuat dan kokoh sekali. Pintu tunggal yang terdapat di situ berjeruji besa tebal dan kuat sebesar lengan, hingga ketika mereka mencoba untuk membetotnya, mereka maklum bahwa tenaga mereka takkan dapat mematahkan atau menarik besi itu. Mereka telah terkurung bagaikan burung dalam sangkar, tak berdaya sama sekali. Isi kantong mereka, pedang, dan bahkan bungkusan abu telah lenyap dirampas orang.

Biarpun mereka tidak terikat kaki tangannya, namun dengan tangan kosong, apakah daya mereka menghadapi perwira-perwira yang tangguh, terutama Can Kok yang banyak tipu muslihatnya itu ? Mereka hanya dapat menunggu dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian apabila mereka datang hendak menangkapnya.

Biarpun kamar mereka terpisah, namun berdekatan sehingga dengan berdiri di dekat jeruji besi yang merupakan pintu, mereka dapat saling pandang dan dapat pula bercakap-cakap. Akan tetapi, kini mereka hanya dapat saling pandang saja tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Cin Pau dapat juga berkata dengan suara menghibur,

“Siauw Eng, baiknya kita masih belum tewas. Dan lebih baik lagi, kita berada di sini berdua hingga betapapun juga, kita dapat saling membantu. Kalau mereka datang hendak menangkap, kita melawan dengan mati-matian mengadu jiwa.”

“Tentu, aku lebih baik mati dari pada menjadi tawanan di tangan mereka,” jawab Siauw Eng dengan gagah dan sedikitpun gadis ini tidak kelihatan takut hingga menimbulkan kagum dalam hati Cin Pau.

Tiba-tiba pintu kamar di luar kedua kurungan itu terbuka dan masuklah berbondong-bondong beberapa orang perwira, dikepalai oleh Can Kok yang tertewa gembira. “Lihatlah, cuwi, lihatlah ! Pemberontak-pemberontak liar dan ganas ini akhirnya harus tunduk dan menyerah ditanganku. Ha, ha, ha !”

Yang masuk ternyata selain ketiga orang panglima, juga nampak Gu Liong, Hwee Lian, dan nyonya Gu Keng Siu. Nyonya Gu Keng Siu nampak gembira sekali dan sambil menuding kepada kedua orang muda dalam kurungan itu, ia berkata dengan suaranya yang halus dan nyaring, “Hm, akhirnya kalian tertangkap juga. Baru puaslah hatiku melihat dua orang keturunan terakhir dari keparat-keparat she Khu dan Ma mampus dalam keadaan rendah dan sebagai pemberontak-pemberontak jahat !”

Cin Pau dan Siauw Eng cepat membalikkan tubuh dan berdiri membelakangi mereka dengan tubuh tegak lurus seakan-akan menganggap tidak ada harganya untuk berhadapan dengan mereka. Mereka tidak melihat betapa mata Hwee Lian menjadi merah dan juga Gu Liong memandang ke arah Siauw Eng dengan tertegun dan susah. Sebenarnya Gu Liong amat sayang dan mencintai Siauw Eng dan gadis ini telah lama dirindukannya. Hanya sikap Siauw Eng yang angkuh dan tinggi hati itulah yang membuat ia ragu-ragu dan tidak berani menyatakan perasaannya. Ketika mendengar bahwa Siauw Eng adalah puteri dari Ma Gi, musuh besar yang telah membunuh ayahnya, timbul kemarahan di dalam hatinya, akan tetapi ia tidak bisa membenci gadis ini bahkan kini setelah melihat betapa gadis itu tertawan dan maut menantinya, ia merasa kasihan sekali. Ia tidak tahu bahwa juga Hwee Lian, gadis yang pendiam dan halus itu, hampir tak dapat menahan air matanya melihat Siauw Eng dan Cin Pau tertawan. Gadis ini kebetulan saja berada di situ karena diam-diam iapun ingin mendengar nasib kedua orang ini dan karenanya ia selalu mengikuti Gu Liong. Ia merasa suka sekali kepada Siauw Eng dan kepada Cin Pau yang baru beberapa kali dilihatnya itu, ia merasa kagum dan juga suka, karena belum pernah ia melihat seorang pemuda yang gagah perkasa, halus dan sopan serta tampan akan tetapi sederhana seperti Cin Pau.

“Nah, cuwi sekalian, sekarang amanlah kota raja dengan tertangkapnya dua orang pemberontak muda ini. Akan tetapi, masih ada bahaya besar mengancam kedudukan Kaisar selama ketua kuil Thian Lok Si yang jahat itu belum tertawan pula.” Kemudian ia lalu mengajak semua kawannya keluar dari tempat itu.

Tiba-tiba Gu Liong berkata kepada Can Kok dengan suara gemas dan marah, “Can-ciangkun, perkenankanlah aku membunuh dua orang keparat ini untuk melampiaskan rasa dendam dan sakit hatiku!” sambil berkata demikian, Gu Liong mencabut pedangnya dan mendekati pagar besi.

“Benar, biar anakku yang membunuh mereka seperti ayah mereka dulu membunuh ayahnya !” kata nyonya Gu Keng Siu dengan suara penuh nafsu.

Can Kok tersenyum dan mencegah Gu Liong. “Jangan, jangan terburu nafsu. Bersabarlah, karena mereka ini harus dibawa menghadap untuk diperiksa perkaranya oleh Kaisar sendiri. Kalau sudah ada keputusan dari Kaisar, boleh saja kau hendak menjadi algojonya.” Tak seorang pun di antara mereka itu dapat menduga bahwa Gu Liong yang kelihatan kasar itu sebenarnya sedang menjalankan aksi yang amat cerdiknya. Ia sengaja memperlihatkan kebencian besar kepada dua orang muda itu agar mendapat kepercayaan dari Can Kok.

Setelah mereka keluar, Siauw Eng berkata kepada Cin Pau sambil menghela napas panjang.

“Kalau aku dapat lolos, yang hendak kupenggal batang lehernya selain Can Kok si keparat, juga Gu Liong dan ibunya.”

Cin Pau hanya tersenyum dan Siauw Eng merasa heran sekali melihat ketenangan pemuda ini yang masih dapat tersenyum dalam keadaan seperti ini.

“Biarpun kau telah berubah menjadi seorang pemuda, namun tetap saja kau masih galak dan cantik,” Cin Pau menggoda dan baru ingatlah Siauw Eng bahwa ia masih dalam keadaan menyamar sebagai seorang pemuda. Maka iapun ikut tersenyum dan berkata,

“Cin Pau, mati bersama kau membuat aku sedikitpun tidak merasa gentar oleh karena di mana kau berada, tentu aku akan selalu terhibur.” Biarpun kata-kata ini diucapkan dengan sejujurnya, namun bagi Cin Pau merupakan pengakuan perasaan hati gadis itu.

****** Malam hari itu, Cin Pau dan Siauw Eng sedikitpun tidak mau tidur. Mereka khawatir kalau-kalau di waktu tidur, musuh datang menyerang dan menangkap mereka. Semenjak siang tadi mereka bercakap- cakap hingga kini merasa lelah dan beristirahat sambil duduk bersamadhi.

Pintu terbuka perlahan dan Siauw Eng yang berada lebih dekat dengan pintu itu segera membuka matanya. Ia melihat bahwa yang masuk adalah Gu Liong. Ternyata pemuda ini telah mendapat kepercayaan dan perkenan Can Kok untuk masuk ke situ dengan alasan hendak menghina dan memperolok-olok kedua tawanan itu.

“Boleh,” kata Can Kok sambil tertawa, “Asal kau jangan mengganggu dan melukai mereka, karena kalau sampai mereka tewas, pahalaku terhadap Kaisar berkurang besarnya.”

Siauw Eng ketika melihat Gu Liong masuk, menjadi marah sekali dan memandang dengan mata berapi.

“Ha, ha, ha !” Gu Liong tertawa keras, bahkan terlalu keras dari pada suara biasanya menurut pendengaran Siauw Eng, “Siauw Eng, Cin Pau ! Kau dua ekor tikus kecil, akhirnya aku bisa melihat kalian di dalam kurungan, persis seperti dua ekor tikus masuk jebakan ! Ha, ha, ha!” Kemudian, dengan heran sekali Siauw Eng melihat Gu Liong mendekati pintu kurungannya dan berbisik, “Siauw Eng, katakanlah ! Apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu ?”

Bukan main terkejut dan terheran hati Siauw Eng. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda ini sebenarnya hendak menolongnya dan bahwa semua lagak yang dibuatnya tadi semata-mata untuk membodohi Can Kok. Untuk beberapa lama ia hanya memandang dengan heran dan tak dapat berkata- kata, akhirnya dengan wajah berseri ia berkata, “Gu Liong, kau baik sekali. Kau carikan pedang untukku!”

Gu Liong berseru lagi keras-keras, “Siauw Eng, perempuan busuk. Kalau saja aku diberi kesempatan, akan ku tusuk dadamu dengan pedang tajam agar puas rasa hatiku.” Lalu disambungnya dengan bisikan pula, “Baik, Siauw Eng, aku akan mencarikan pedang untukmu. Ketahuilah, aku ... aku cinta padamu, Siauw Eng, dan ... dan kau berjanjilah bahwa kelak kalau kau sudah bebas, kau akan ... akan suka menjadi ... isteriku ... “

“Apa ??!!” Siauw Eng bertanya keras-keras sambil membelalakkan kedua matanya, memandang

kepada Gu Liong dengan heran dan marah.

“Berjanjilah, Siauw Eng, dan aku akan mencarikan pedang untukmu, kita tidak mempunyai banyak waktu ”

“Tidak, tidak! Bangsat rendah ! Pergi kau dari sini ! Kau kira aku demikian takut mati hingga sudi berjanji sedemikan rendah ? Tidak, lebih baik aku mati !”

Gu Liong membujuk-bujuk lagi akan tetapi Siauw Eng bahkan menjadi makin marah dan memaki- makinya hingga akhirnya Gu Liong menjadi marah pula.

Posting Komentar