“Kau takut ?” tiba-tiba timbul pula kekerasan hati Siauw Eng. Memang gadis ini pemberani sekali dan boleh dikata ia tidak kenal arti takut dalam melaksanakan cita-citanya.
Cin Pau menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak takut, Siauw Eng, hanya berhati-hati. Apa artinya kalau kita bergerak akan tetapi tidak berhasil bahkan terkena celaka pula ? Bukankah itu berarti usaha kita akan kandas dan sia-sia belaka ? Akan tetapi, biarlah kita rundingkan hal itu nanti saja. Sekarang paling perlu kita menyempurnakan tulang-tulang kedua ayah kita ini.”
Kali ini Siauw Eng tidak membantah. Ia lalu membantu Cin Pau mengumpulkan banyak kayu kering yang mudah didapat dan dikumpulkan dari dalam hutan itu, lalu menumpuk kayu itu menjadi dua bagian. Setelah itu, atas petunjuk-petunjuk Cinpau, mereka lalu mengatur tulang-tulang itu sedapat- dapatnya di tempat yang betul hingga merupakan kerangka yang utuh, dibaringkan telentang dan berjajar. Siauw Eng melakukan pekerjaan ini sambil menangis terisak-isak hingga Cin Pau juga tidak dapat menahan keluarnya air mata.
“Siauw Eng hati-hatilah kau, jangan menggunakan tanganmu untuk meraba mukamu. Biarkan saja
air matamu mengalir turun, dan sekali-kali kau tidak boleh menggunakan tanganmu untuk menjamah mukamu. Perhatikan ini baik-baik, Siauw Eng, demi keselamatanmu sendiri !”
Siauw Eng mengangguk-angguk dan menahan mengalirnya air mata seberapa dapat. Akhirnya selesailah pekerjaan itu dan Cin Pau lalu mencampurkan semacam obat bubuk putih dengan air dan mereka lalu mencuci tangan dengan campuran obat itu untuk membersihkan dan membinasakan kuman-kuman yang mungkin menempel di tangan mereka dari tulang-tulang itu.
Keduanya lalu berlutut di depan tumpukan tulang itu sambil mengheningkan cipta, memohon berkah dari roh ayah masing-masing. Setelah itu, mereka lalu menyalakan api yang membakar kayu-kayu kering itu dengan cepat.. Oleh karena kayu-kayu yang ditumpuk di bawah, di pinggir dan di atas tulang- tulang itu kering sekali, maka dengan mudah kayu-kayu itu dimakan api hingga sebentar saja api berkobar hebat dan asapnya bergulung-gulung ke atas.
Angin bertiup perlahan seakan-akan tangan-tangan yang tidak kelihatan membantu mengipasi api itu hingga menjadi makin hebat dan panas. Kedua anak muda itu berlutut lagi sambil memandang api yang membakar tulang-tulang ayah mereka.
Setelah api yang membakar tulang-tulang itu padam, maka semua tulang rangka telah menjadi abu. Dengan hati-hati, teliti, dan penuh hormat kedua orang muda itu lalu mengumpulkan abu ayah mereka ke dalam kain membungkus tulang tadi. Mereka begitu asyik dalam pekerjaan itu hingga tidak tahu bahwa sepasang mata memandang mereka dari balik pohon dengan penuh perhatian. Kemudian pemilik sepasang mata itu, seorang pengembala, keluar dari tempat mengintainya dan menghampiri mereka lalu menegur,
“Jiwi ini sedang mengapakah ? Apakah yang jiwi bakar dan itu abu apakah ?”
Cin Pau dan Siauw Eng menengok, dan ketika Siauw Eng melihat bahwa yang datang adalah pengembala penanam jenazah ayahnya, ia lalu berkata kepada Cin Pau. “Inilah dia orangnya yang telah begitu baik hati untuk mengubur jenazah kedua orang tua kita.”
Cin Pau segera berdiri dan menjura kepada orang itu dengan hormat. “Ah, kebetulan sekali. Telah lama siauwte ingin sekali bertemu dengan orang budiman yang telah mengubur jenazah ayah dan pamanku untuk menyampaikan penghargaan dan pernyataan terima kasihku.”
Pengembala itu tersenyum. “Hal yang kecil itu apa artinya untuk disebut-sebut ? Setiap orangpun tentu akan melakukan hal itu apabila ia melihat jenazah sesama manusia terlantar di tengah hutan. Jadi mereka itu adalah ayah kalian ? Bagus, bagus, aku merasa girang sekali bahwa akhirnya mereka ada juga yang mengaku. Tak ada yang lebih menyedihkan bagi orang yang telah mati kecuali kalau tidak ada orang yang mau mengakui namanya lagi. Dan jiwi ini membakar apakah ?” “Kami telah membakar tulang-tulang rangka ayah kami dan ini adalah abu mereka,” kata Siauw Eng.
Pengembala itu mengangguk-angguk. “Kalian orang-orang muda yang berbakti.” Kemudian ia memandang sekeliling seakan-akan takut kalau kata-kata yang hendak diucapkannya ini terdengar oleh orang lain. “Jiwi aku telah tahu bahwa kedua kuburan itu telah dibongkar orang. Hal ini membuat aku merasa penasaran dan heran, maka aku lalu mencari keterangan dan ternyata bahwa kuburan itu
adalah kuburan kedua orang she Khu dan Ma yang namanya telah menggemparkan seluruh dunia. Orang-orang boleh menyebutnya pemberontak, akan tetapi bagiku tetap mereka itu orang-orang gagah yang gugur dengan pedang di tangan. Makin banggalah hatiku karena akulah orangnya yang telah menguburkan mereka. Di kota raja aku telah mendengar hal yang aneh-aneh.”
“Apalagi yang kau dengar ?” tanya Cin Pau tertarik.
“Aku mendengar banyak sekali hal-hal aneh, diantaranya bahwa kabarnya kedua orang gagah yang jenazahnya kukubur itu masih mempunyai keturunan, bahkan keturunan yang seorang adalah seorang gadis muda yang semenjak kecil dipelihara oleh seorang perwira ! Kiranya kaulah nona, anak itu !! Dan anak yang seorang lagi, yang dikabarkan sebagai pemuda baju putih yang gagah perkasa, tentu kau sendiri ! Ah, ah, dan sekarang secara kebetulan sekali aku bertemu dengan jiwi dan menyaksikan betapa tulang-tulang suci kedua enghiong (orang gagah) ini diabukan. Sungguh aku seorang yang beruntung sekali, tidak seperti perwira she Gak yang malang ” Ia menarik napas panjang.
“Perwira she Gak yang malang ? Ada apakah dengan dia ?” tanya Cin Pau penuh perhatian, sedangkan biarpun ia diam saja, namun hati Siauw Eng berdebar mendengar nama ayah tirinya disebut-sebut.
Kembali pengembala itu menghela napas, “Memang dunia ini aneh dan kadang-kadang perbuatan baik dan benar tidak mendapat upah dan hadiah, bahkan mendatangkan malapetaka. Oleh karena menolong ibu nona ini dan memelihara nona sampai besar, sekarang perwira she Gak itu ditangkap oleh kaisar, beserta isterinya, diseret-seret di sepanjang jalan dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh perwira Can ”
Tiba-tiba Siauw Eng melompat berdiri, lalu mengikatkan buntalan abu di atas punggungnya dan secepat kilat ia lalu lari menuju ke Tiang-an. Mendengar betapa ibu dan ayah tirinya ditangkap dan diseret-seret oleh Can Kok, ia tak dapat menahan gelora dan kemarahan hatinya lagi, lalu pada saat itu juga melompat pergi hendak menolong ayah tirinya, terutama ibunya dan menghukum kepada perwira Can yang menghina orang tuanya itu.
“Siauw Eng, tunggu !” Cin Pau berseru sambil mengikatkan pula buntalan abu tulang-tulang ayahnya
dipunggungnya dan berlari mengejar. Oleh karena memang ilmu berlari cepat dari Cin Pau masih lebih tinggi tingkatnya, maka ia berhasil menyusul gadis itu dan memegang tangannya.
“Nanti dulu, Eng-moi. Kau mau kemana ?”
“Kemana lagi ? Apakah aku harus membiarkan saja ibuku ditawan dan dihina orang ? Akan membunuh anjing she Can itu dan berusaha menolong ibu !” jawabnya dengan marah sekali.
Cin Pau maklum bahwa kehendak gadis ini takkan dapat ditahan atau dihalanginya lagi, maka terpaksa ia lalu berkata sungguh-sungguh, “Marilah, adikku, mari kita pergi bersama. Biar kita berdua memberi pelajaran kepada penjahat-penjahat kejam itu. Akan tetapi, menurut pendapatku, soal membalas dendam kepada Can Kok adalah soal kedua. Yang terpenting sekarang ialah kita harus berusaha membebaskan dan menolong Gak-ciangkun dan ibumu !”
Biarpun baru sebentar berkumpul dengan pemuda itu, namun Siauw Eng telah mendapat keyakinan betapa luas pandangan Cin Pau dan betapa cerdiknya pemuda itu, maka ia lalu menurut saja.
Demikianlah, mereka berlari-lari cepat menuju ke kota raja.
Cin Pau maklum bahwa mereka berdua sedang dicari-cari dan pintu gerbang dijaga keras sekali, maka ia mengajak Siauw Eng bersembunyi di dekat tembok kota dan menanti datangnya malam. ******
Malam itu gelap gulita, karena udara tertutup awan tebal. Keadaan di rumah tahanan di mana Gak Song Ki dan Kwei Lan dikeram, sunyi sekali. Beberapa orang penjaga dengan golok terhunus menjaga di sekeliling rumah itu, dan tiga orang penjaga lain duduk di ruang dalam depan pintu kamar tahanan sambil main dadu.
Dua bayangan yang gesit sekali gerakannya mengintai dari jauh, memandang ke arah rumah tahanan itu dengan mata tajam. Mereka ini adalah Cin Pau dan Siauw Eng yang telah berhasil melewati tembok kota tanpa terlihat oleh penjaga.
Ketika dua orang penjaga sedang berjalan agak jauh dari rumah tahanan itu, tiba-tiba mereka roboh tanpa dapat mengeluarkan teriakan sedikitpun karena jalan darah thian-hu-hiat mereka telah tertotok oleh jari-jari tangan Cin Pau dan Siauw Eng yang cepat dan tepat gerakannya. Dengan kaki mereka, kedua orang muda itu menyepak tubuh para penjaga yang telah menjadi lemas dan pingsan itu ke tempat gelap. Kemudian mereka terus maju ke dekat pintu gerbang di mana duduk pula tiga orang penjaga di atas bangku sambil bercakap-cakap.
“Siapa ?” seorang di antaranya membentak ketika melihat dua bayangan berkelebat di dekat mereka, akan tetapi sebagai jawaban, tangan Cin Pau dan Siauw Eng bergerak cepat dan ketiga orang itu pun telah tertotok, seorang oleh Siauw Eng dan dua orang oleh Cin Pau. Kemudian kedua anak muda yang gagah itu terus masuk ke dalam. Tiga orang penjaga yang sedang main dadu terkejut sekali melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba itu, akan tetapi dengan cepat Cin Pau dan Siauw Eng dengan pedang di tangan telah melompat dan menodong dengan ujung pedang.
“Jangan bergerak dan banyak ribut !” kata Cin Pau dan sebelum ketiga orang penjaga itu sempat melawan, ia mengulurkan tangan kirinya dan menotok pula. Ilmu totok dari Cin Pau memang ajaib karena ia memperoleh didikan khusus dari Tiauw It Lojin yang menjadi ahli dalam ilmu kepandaian ini.
Mereka lalu membuka pintu kamar tahanan, mempergunakan kunci yang berada dalam kantong seorang di antara ketiga penjaga itu. Ketika pintu terbuka, Siauw Eng menubruk maju dan ia menangis sambil memeluk ibunya yang duduk menyandar tembok dengan wajah pucat dan tubuh lemas.
Sedangkan ayah tirinya ternyata telah mengalami pukulan-pukulan karena mukanya bengkak-bengkak dan iapun duduk di atas lantai menyandar tembok dengan tubuh lemas.
“Siauw Eng “ Kwei Lan berbisik lemah sambil menangis melihat puterinya datang.
“Ibu ...... ibu, ampunkan anakmu ibu mari ibu dan ayah ikut aku pergi dari sini !”
“Tak usah, Siauw Eng, tinggalkan kami, “ kata Gak Song Ki dengan angkuh. Mendengar ucapan ayah tirinya ini, Siauw Eng lalu menjatuhkan diri dan memeluk ayah tirinya.
“Ayah .... ayahku. ampunkanlah aku. Aku marah kepada ayah dalam keadaan tak sadar dan gelap
pikiran. Mari aku tolong kau ayah, mari kita keluar dan mengamuk, kita bunuh anjing Can Kok itu. Kalau perlu kita menyerbu ke istana dan membunuh Kaisar agar orang-orang tahu bahwa ayah dan anak perwira Gak bukanlah orang-orang lemah yang boleh dihina sesukanya.”
Runtuhlah air mata Gak Song Ki mendengar ucapan anak tiri yang amat disayangnya ini. “Jangan berkata demikian, anakku, kau tahu bahwa aku adalah seorang perwira yang setia.”
“Akan tetapi kau difitnah orang, ayah !”
Gak Song Ki menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas.
“Biarlah, memang aku pantas mendapat hukuman ini. Aku pantas mendapat hukuman mati. Siauw Eng, kau tidak tahu, sekarang lebih baik aku terus terang saja ...... aku akulah yang dulu diberi tugas
memimpin penyerbuan pada keluarga Ma, dan dan aku pernah menendang ibu mertua Kwei Lan
ketika nenek itu hendak membela menantunya. Aku masih ingat baik-baik hal ini ....dan dan