“Orang-orang rendah berhati binatang !”
Secepat kilat mereka lalu menyambar ke arah para pencangkul yang sedang membungkus tulang- tulang itu dan, beberapa tendangan mereka membuat para pencangkul itu jatuh bangun dan ada pula yang terlempar ke dalam lubang kuburan yang mereka gali tadi. Cin Pau lalu mengambil bungkusan tulang ayahnya yang tadi telah dilihatnya dari tempat persembunyian, sedangkan Siauw Eng lalu menyambar bungkusan tulang ayahnya pula.
Dengan amarah yang meluap-luap, Siauw Eng menerjang kepada nyonya Gu Keng Siu sedangkan Cin Pau lalu menerjang Can Kok. Akan tetapi, tiba-tiba ketiga orang panglima itu membentak keras. Ketika Siauw Eng menyerang ibunya, Gu Liong cepat menangkis dan terjadi pertempuran di antara kedua orang muda ini, akan tetapi oleh karena kepandaian Gu Liong memang jauh berada di bawah tingkat kepandaian Siauw Eng, sebentar saja pedangnya telah terpental.
Seorang panglima yang bertubuh tinggi besar lalu maju dengan golok di tangan. Ini adalah panglima pilihan dari kaisar, yang bernama Mau Kun Liong. Tenaganya besar dan kepandaiannya tinggi sehingga ketika ia menangkis pedang Siauw Eng, gadis ini menjadi terkejut karena ternyata bahwa tangkisan itu telah membuat telapak tangannya terasa pedas. Ia berlaku hati-hati sekali dan melawan dengan ilmu pedang Sin-coa Kiamhwat yang lihai, namun perwira tinggi besar itu dapat melawannya dengan baik.
Sementara itu, Can Kok yang diserang oleh Cin Pau, melompat mundur dengan ketakutan. Perwira yang licik ini sudah pernah melihat kehebatan sepak terjang Cin Pau, maka sekarang tentu saja ia tidak berani menghadapi pemuda gagah perkasa ini seorang diri. Cin Pau mendesak terus, akan tetapi tiba- tiba dua orang perwira yang gagah maju menyambutnya dengan golok mereka. Dua orang ini adalah Oey Houw dan Oey See In yang mendapat julukan Tiang-an Ji-Koai-To atau Dua Golok Setan dari Tiang-an. Memang permainan golok kedua orang she Oey ini hebat sekali. Golok mereka lebar dan tipis, tajamnya bukan main dan karena golok mereka amat ringan sedangkan tenaganya amat besar, maka gerakan mereka juga cepat sekali hingga golok yang lebar itu merupakan sinar putih yang berkelebatan bagaikan dua ekor naga berebut mustika.
Cin Pau diam-diam terkejut melihat kegagahan dua orang panglima kaisar ini dan tahulah dia bahwa Can Kok telah mendapat bantuan panglima-panglima berkepandaian tinggi dari istana. Ketika ia mengerling ke arah Siauw Eng, ia mendapat kenyataan bahwa dara baju merah itupun sedang menghadapi seorang panglima tinggi besar bersenjata golok pula. Melihat permainan golok lawan Siauw Eng itu, diam-diam ia mengeluh karena ketiga orang ini benar-benar merupakan lawan tangguh, sedangkan di situ masih terdapat Can Kok, Gu Liong, dan banyak anggauta tentara.
“Eng-moi, mari pergi !!” serunya keras dan oleh karena keadaan telah mulai gelap dan ternyata lawannya amat tangguh, Siauw Eng juga merasa bahwa lebih baik melarikan diri oleh karena sekarang tulang rangka ayahnya telah berada di tangannya. Ia lalu mengeluarkan jurus berbahaya dari Sin-coa Kiamhwat dan pedangnya menyapu ke arah pinggang dan terus dibalikkan pula menyapu kaki lawan. Gerakan ini cepat dan dahsyat, maka Mau-ciangkun tidak berani menangkis dan melompat tinggi ke belakang hingga Siauw Eng mendapat kesempatan untuk melompat jauh dan hendak melarikan diri.
Akan tetapi, karena ia tidak menduganya dan berlaku kurang hati-hati, tiba-tiba ia merasa punggungnya sakit sekali. Untung ia telah mengerahkan tenaganya untuk menolak serangan ini dan piauw yang menyerang punggungnya itu hanya menancap sedikit, akan tetapi cukup untuk membuat ia merasa sakit dan pundaknya terasa kaku.
Cin Pau telah dapat melompat jauh, akan tetapi, ketika ia melihat betapa Siauw Eng telah terkena piauw yang dilepas oleh Mau-ciangkun, ia menjadi terkejut sekali. Cepat ia mengeluarkan biji-biji caturnya dan ketika ia mengayun tangan, dua buah biji catur melayang ke arah pelepas piauw yang melukai Siauw Eng itu. Mau Kun Liong cepat berkelit, akan tetapi sebuah biji catur lagi tetap saja melanggar lehernya hingga ia roboh sambil berteriak ngeri. Kembali Cin Pau mengayunkan tangannya empat biji catur melayang ke arah dua orang lawannya tadi yang juga hendak mengejar. Akan tetapi kedua saudara Oey ini sudah tahu akan kelihaian biji catur Cin Pau, maka dengan golok di tangan diputar cepat mereka berhasil menyampok biji-biji catur itu.
“Kejar mereka ! Kejar pemberontak-pemberontak itu !” Can Kok berseru marah, hatinya mendongkol sekali melihat betapa kedua orang muda itu kembali berani muncul, bahkan telah mencuri tulang kerangka yang ia suruh gali tadi.
Akan tetapi, Cin pau telah mempergunakan kesempatan itu untuk menghampiri Siauw Eng yang berlari sambil terhuyung-huyung, lalu ia memegang tangan gadis itu dan terus diajak lari cepat. Kawanan perwira mencoba untuk mengejar, akan tetapi malam telah menjelang datang dan keadaan di hutan itu mulai menjadi gelap. Mereka merasa ngeri terhadap biji-biji catur Cin Pau yang berbahaya itu, maka mereka membatalkan maksud hendak mengejar terus, bahkan kedua saudara Oey lalu menolong Mau Kun Liong yang menjadi kurban biji catur Cin Pau yang ganas itu. Untung sekali biji catur itu hanya mendatangkan luka dan memutuskan urat kecil saja, kalau dilepas dengan maksud membunuh, tentu jiwa Mau-ciangkun takkan tertolong lagi.
Setelah berlari jauh Siauw Eng mengeluh dan Cin Pau lalu mengajaknya berhenti. “Kau terluka, Siauw Eng ?” tanyanya, karena biarpun tadi ia melihat gadis itu terhuyung-huyung setelah panglima tinggi besar itu melepas piauw, akan tetapi di dalam gelap ia tidak melihat bagian mana yang terluka.
“Punggungku ..... aku kurang hati-hati dan piauw itu sama sekali tidak bersuara “ kata Siauw Eng
yang melepaskan buntalan kerangka di atas tanah dan ia sendiripun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput. Cin Pau juga meletakkan bungkusan kerangka ayahnya pula dan berlutut di dekat Siauw Eng.
“Di Punggung ? Bagaimana rasanya ?”
“Tidak apa-apa, hanya piauw itu masih menancap agaknya.”
“Jangan kau bergerak, biar aku mencabutnya.” Sambil berkata demikian, di dalam gelap Cin Pau meraba punggung gadis itu. “Benar saja, sebatang piauw yang licin dan kecil menancap di punggung, dekat pundak kanannya.
“Biar aku membuat api dulu, jangan kau banyak bergerak !” kata Cin Pau yang lalu membuat api dari kayu-kayu kering. “Jangan, Cin Pau, nanti mereka tahu tempat kita.”
“Tidak apa, biar mereka datang kalau berani. Mengobati lukamu lebih penting lagi dan bagaimana aku bisa mengobatinya di tempat yang gelap ?”
Setelah api unggun itu menyala, Cin pau lalu memeriksa punggung Siauw Eng dan ternyata bahwa piauw itu bentuknya licin, kecil dan panjang bulat. Oleh karena piauw ini licin dan bulat, maka ketika dilontarkan tidak mendatangkan banyak suara, laju lurus seperti ular menyambar.
“Siauw Eng, terpaksa aku merobek bajumu di bagian punggung ini,” kata Cin Pau agak ragu-ragu dan malu. Gadis itu hanya mengangguk sambil menggigit bibir. Setelah pemuda itu merobek pakaian Siauw Eng di bagian yang terluka, maka terlihat betapa piauw itu menancap di kulit gadis yang halus dan putih itu.
“Awas, aku mencabutnya, jangan banyak bergerak !” Siauw Eng menahan sakit sambil menggigit bibirnya dan peluh memenuhi keningnya karena Cin Pau harus berlaku hati-hati sekali dalam mencabut piauw itu karena ternyata bahwa ujung senjata rahasia ini dipasangi kaitan kecil. Kalau saja ia kurang hati-hati mencabutnya, tentu kaitan itu akan terlepas dan tertinggal di dalam daging hingga membahayakan luka di punggung itu.
Sebagaimana diketahui, ibu Cin Pau, yaitu Lin Hwa adalah puteri seorang ahli pengobatan yang juga mewarisi kepandaian ayahnya itu, maka Cin Pau juga mengerti tentang pengobatan, mendapat pelajaran dari ibunya hingga ia selalu membawa bekal obat bubuk untuk menjaga kalau-kalau ia terluka, terutama sekali membawa obat-obat yang khusus digunakan sebagai penolak dan penyembuh luka terkena senjata beracun.
Akan tetapi, setelah memeriksa dengan teliti, ia mendapat kenyataan bahwa biarpun piauw dari perwira tinggi besar itu bisa membahayakan jiwanya namun tidak mengandung racun hingga luka itu hanya nampak merah karena keluarnya darah. Ia menjadi lega dan setelah menaruh obat pada luka itu, ia lalu memberikan mantelnya kepada Siauw Eng untuk dipakai menutupi bajunya yang bolong di bagian punggung itu.
Setelah diberi obat, dan piauw itu dicabut dari punggungnya. Siauw Eng merasa enak dan tidak sakit lagi, maka gadis ini lalu menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon di dekat api unggun dan tak lama kemudiania tertidur pulas. Cin Pau tidak mau mengganggu, bahkan ia lalu menyelimutkan ujung mantel yang panjang itu pada kedua kaki Siauw Eng, lalu duduk menjaga dekat api unggun. Entah mengapa, semenjak saat bertemu dengan Siauw Eng yang dikeroyok oleh perwira-perwira, ia merasa seakan-akan ia mempunyai tugas untuk membela dan melindungi gadis ini.
Pada keesokkan harinya, Cin Pau menyatakan bahwa ia hendak membakar tulang-tulang kerangka kedua ayah mereka itu.
“Tulang-tulang ini tidak baik dibawa kemana-mana, bahkan berbahaya sekali. Dulu ibu pernah bercerita bahwa tulang-tulang manusia yang sudah lama terkubur di dalam tanah apabila dikeluarkan kadang- kadang mengandung racun yang jahat dan berbahaya bagi manusia hidup. Maka, lebih baik kita sempurnakan tulang-tulang kerangka kedua ayah kita ini, kemudian abunya kita bawa ke Kunlun-san untuk memberitahukan dan memberikannya kepada ibuku dan selanjutnya mengubur abu ini secara baik-baik. Sebelum kita bertindak lebih jauh, aku hendak minta nasehat suhu dan ibu.”
“Terserah kepadamu, Cin Pau, akan tetapi, aku takkan bisa hidup bahagia sebelum membalas dendam kepada semua perwira jahat itu dan membunuh kaisar yang telah menghukum keluarga kita !” Gadis ini masih merasa sakit hati dan marah sekali hingga cita-cita satu-satunya yang terkandung dalam hatinya hanya membalas dendam.
“Memang, kita harus membalas dendam, akan tetapi kurang baik kalau kita bertindak secara sembrono dan menuruti hawa nafsu belaka. Dalam pandanganku, tidak semua perwira busuk dan jahat belaka, di antaranya banyak pula yang baik, seperti ayah tirimu itu, kurasa tak patut kalau ia dimasukkan daftar perwira-perwira jahat.”
Siauw Eng menggigit bibirnya, “Ia ..... ia telah membawa lari ibu, ia .... ia telah membujuk ibuku ” Cin Pau menarik napas panjang. Ia tahu bahwa gadis ini terlalu terluka hatinya dan terlalu keras kepala, hingga kurang baik kalau terlalu didesak dan dibantah. “Betapapun juga, harus diingat bahwa keadaan mereka itu kuat sekali. Baru tiga orang perwira yang membantu Can Kok tadi saja sudah merupakan lawan-lawan yang tangguh, apalagi kalau ditambah Kim-i Lokai dan yang lain-lain. Kita harus minta bantuan suhu dan juga ayah angkatku.”