bawah ini tersenyum tenang menanti datangnya tusukan, Siauw Eng menggigil seluruh tubuhnya dan tangannya menjadi lemas. Bagaimana ia bisa membunuh orang yang selalu baik kepadanya, yang dulu sering menggendongnya, menimang-nimangnya, bahkan mendidiknya ilmu silat dengan penuh kesayangan ?
Dengan hati hancur dara itu lalu melarikan diri keluar sambil menahan sedu sedannya. “Siauw Eng !” terdengar ibunya memanggil.
“Siauw Eng !” suara Gak Song Ki terdengar pula.
Akan tetapi, Siauw Eng tidak memperdulikan mereka dan berlari terus dengan cepatnya.
Pada saat itu, terlihat serombongan orang yang dipimpin oleh Can Kok mendatangi dengan cepat dan ketika mereka melihat Siauw Eng, Can Kok lalu memberi aba-aba dan semua orang yang ternyata adalah tentara-tentara kerajaan itu lalu maju mengejar dan mengurung. “Tangkap pemberontak !” seru mereka. Siauw Eng menjadi marah sekali. Dengan pedang di tangan ia menanti kedatangan mereka dan setelah dekat ia lalu berseru keras, “Ya, akulah anak pemberontak Ma Gi ! Ayoh maju, siapa yang berani, cobalah tangkap aku, Gobi Ang Sianli !”
Beberapa orang anak buah Can Kok maju menyerbu akan tetapi begitu tubuh Siauw Eng berkelebat merupakan cahaya merah, dua orang pengeroyok telah roboh mandi darah.
“Ayoo, pembunuh-pembunuh ayahku, pembunuh kakekku dan sekeluargaku ! Majulah menerima pembalasan keturunan keluarga Ma !” Siauw Eng dengan nekad menyerbu dan mengamuk. Setiap lawan yang mencoba menyambutnya, baru beberapa gebrakan saja terus roboh tak kuat menghadapi dara yang gagah dan sedang marah, hebat itu.
Can Kok terpaksa maju dengan senjata kongce yang diandalkan di tangan, lalu membantu mengeroyok dengan hebat. Siauw Eng tidak menjadi gentar, bahkan lalu mengamuk lebih hebat lagi.
Ternyata bahwa Can Kok mendengar berita dari Gu Liong dan ibunya. Memang semenjak dulu, ibu Gu Liong, yakni nyonya janda Gu Keng Siu itu, menaruh dendam hebat kepada keluarga Khu dan Ma dan selalu mengharapkan untuk dapat membalas dendam itu kepada keturunan kedua keluarga yang telah membunuh suaminya itu. Kini ia mendengar dari Gu Liong bahwa keturunan keluarga yang dibencinya itu masih ada, yakni Cin Pau dan Siauw Eng, maka segera ia mengadakan hubungan dengan Can Kok yang serta merta memimpin beberapa orang anak buahnya untuk menawan Siauw Eng.
Gu Liong sendiri tidak ikut mengeroyok karena ia dan ibunya mempunyai tugas lain yang lebih mengerikan dan kejam, yakni Gu Liong dipaksa oleh ibunya untuk mengantarkannya pergi ke makam kedua musuh besar itu.
Telah lama Can Kok memang menaruh hati iri terhadap Gak Song Ki yang mempunyai kedudukan lebih tinggi darinya. Biarpun di luarnya ia selalu bersikap ramah tamah dan hormat, akan tetapi di dalam hati ia merasa iri dan dengki. Kini mendengar bahwa puteri Gak Song Ki itu ternyata adalah anak tiri dan adalah keturunan langsung dari Ma Gi, ia menjadi girang dan segera pergi dengan maksud membikin cemar dan malu nama perwira itu, dan menawan Siauw Eng. Kebetulan sekali rombongan bertemu dengan Siauw Eng yang hendak melarikan diri, maka segera ia maju menyerang.
Namun, ia menghadapi perlawanan yang tak disangka-sangka semula. Pedang Siauw Eng ganas sekali dan dara itu sukar didekati. Siapa berani mendekati tentu menjadi kurban pedang. Bahkan kongce dari perwira itu sendiri tak banyak berdaya menghadapi pedang Siauw Eng. Karena bencinya kepada perwira ini, Siauw Eng lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melakukan serangan bertubi- tubi. Kalau saja tidak banyak anak buahnya yang membantu, pasti perwira she Can itupun tidak kuat menahan serbuan Siauw Eng yang hebat ini.
Pada saat itu, terdengar bentakan. “Pemberontak kecil sungguh ganas.” Suara ini adalah suara Kim-i Lokai, pengemis tua yang masih berada di kota raja yang datang bersama-sama Pauw Su Kam, suheng dari Can Kok itu. Dengan datangnya dua orang lihai itu, keadaan menjadi berubah dan kini Siauw Eng terkurung rapat dan terdesak hebat sekali. Siauw Eng melawan dengan nekat dan mati-matian, mengeluarkan kedua ilmu pedangnya Sin-Coa Kiamhwat dan Pek-Tiauw Kiamhwat berganti-ganti. Akan tetapi, ia menghadapai Kim-i Lokai yang tingkat ilmu kepandaiannya sudah sejajar dengan kedua guru nona itu sendiri, sedangkan Pauw Su Kam juga memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, maka tentu saja makin lama ia makin terkurung rapat oleh senjata-senjata lawan.
“Siauw Eng, jangan takut, aku datang membantu !” terdengar seruan garang dan berkelebatlah bayangan putih yang gesit sekali. Cin Pau yang menyusul telah tiba pada saat yang tepat dan membantu Siauw Eng menghadapi lawannya yang banyak dan lihai itu. Hebat sekali sepak terjang kedua anak muda itu yang bertempur saling membelakangi hingga tidak ada lawan dapat berlaku curang. Seorang diri Cin Pau dikeroyok oleh Kim-i Lokai, Pauw Su Kam, dan Can Kok yang merasa girang sekali dengan datangnya Cin Pau.
“Bagus, kedua turunan pemberontak telah masuk perangkap. Kita tawan keduanya !” kata Can Kok yang segera memberi perintah kepada seorang pembantunya untuk mendatangkan bala bantuan dari istana.
Cin Pau maklum akan berbahayanya keadaan mereka, maka sambil memutar-mutar pedangnya dan memainkan jurus-jurus paling istimewa dari Kui Hwa Koan Kiamhwat hingga Kim-i Lokai dan kawan- kawannya dapat didesak mundur. “Siauw Eng, mari kita pergi dari sini !” kata Cin Pau sambil menarik tangan gadis itu.
Siauw Eng juga insaf akan keadaan yang amat berbahaya, apalagi kalau jago-jago tua yang lain datang, terutama ia takut sekali kalau-kalau kedua orang gurunya datang. Ia tidak tahu bahwa semua jago-jago silat yang membantu pembasmian kuil Thian Lok Si telah pulang dan hanya Kim-i Lokai dan Pauw Su Kam saja yang masih berada di situ. Maka dengan cepat ia lalu melompat keluar kepungan sambil memutar-mutar pedangnya.
Para anak buah tentara kerajaan tidak berani menghalangi mereka karena setiap orang yang berani mencoba menghalangi dengan mudah dirobohkan oleh kedua pemuda pemudi lihai itu. Mereka berdua lalu melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh musuh-musuhnya yang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan senjata. Akan tetapi ilmu lari cepat kedua anak muda itu sudah mencapai tingkat
tinggi hinggahanya Kim-i Lokai saja yang dapat menyamai kepandaian mereka, akan tetapi, seorang diri saja, pengemis tua itu tidak berani turun tangan karena maklum bahwa ia takkan menang menghadapi kedua jago muda itu.
Setelah tiba di dalam hutan dan melihat bahwa tidak ada musuh yang berani mengejar lagi, Siauw Eng tiba-tiba lalu menangis sedih. Cin Pau menghela napas panjang dan ia maklum apa yang disedihkan gadis ini, maka ia lalu menghibur dengan halus.
“Siauw Eng, janganlah kau berduka. Ketahuilah bahwa kita bernasib sama, akan tetapi baru sekarang kau mengalami kesedihan dan penderitaan. Sedangkan aku, aku dan ibuku, semenjak peristiwa menyedihkan itu terjadi, kami berdua telah menderita hebat.” Ia menghela napas lagi. “Semenjak ayah meninggal karena keroyokan para perwira atas perintah kaisar, maka ibuku hidup terasing dan bertapa di puncak Kunlun-san, tidak pernah turun gunung dan melihat dunia ramai lagi.”
“Lebih baik begitu !” kata Siauw Eng dengan tiba-tiba merasa mendongkol sekali terhadap ibunya sendiri. “Jauh lebih baik hidup sengsara seperti itu dari pada seperti .... seperti ibuku ”
Cin Pau sudah mendengar dari Sian Kong Hosiang tentang riwayat ibu Siauw Eng, maka ia lalu berkata menghibur, “Jangan terlalu menyalahkan ibumu, Siauw Eng. Ingatlah bahwa ketika ia ditinggal mati oleh ayahmu, ia masih muda dan sedang mengandung. Mungkin sekali, ini hanya pendapat dan dugaanku, ia menerima pinangan perwira she Gak itu karena ia menjaga nasibmu atau .... atau siapa tahu
karena pada waktu itu ia masih muda sekali.”
Mereka lalu saling menuturkan riwayat semenjak kecil dan ketika mendengar tentang pembelaan Un Kong Sian yang sekarang telah menjadi Sian Kong Hosiang itu, Siauw Eng merasa menyesal sekali mengapa tadinya iapun ikut kena ditipu dan menganggap bahwa kuil Thian Lok Si adalah sarang penjahat.
“Mereka itu bohong belaka !” kata Cin Pau dengan mata berapi. “Kuil Thian Lok Si tak pernah menjadi sarang penjahat dan hwesio-hwesio di kuil itu tak pernah melakukan kejahatan. Ini adalah bujukan dan gosokan dari Can Kok, perwira yang berhati busuk itu. Kita harus berhati-hati terhadap perwira itu, karena kalau dipikir-pikir musuh kita yang terbesar adalah Can-ciangkun itu.”
“Akan tetapi ... ayah ayah tiriku juga ikut menyerbu Thian Lok Si dan mungkin dulu ikut pula
membasmi keluarga kita,” kata Siauw Eng dengan gemas, akan tetapi suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.
“Tentu saja, ayahmu adalah seorang perwira kerajaan, maka setiap perintah raja harus dikerjakannya dengan setia dan taat.”
“Cin Pau, pernah kau melihat ayahku ?”
Pemuda itu memandang heran. “Aneh sekali pertanyaanmu ini. Tadi telah kuceritakan bahwa ketika ayah kita gugur, akupun masih berada dalam kandungan ibu. Bagaimana aku bisa melihat ayahmu atau ayahku ?”
“aku .... aku ingin melihat wajah ayahku ,” kata Siauw Eng dengan suara lemah dan seperti anak
kecil yang merengek ingin sesuatu. Cin Pau maklum bahwa gadis ini sedang bingung sekali dan hal ini tak perlu dibuat heran. Gadis ini semenjak kecil hidup mewah dan dimanjakan, dalam keadaan kaya raya, disayangi ayah bundanya. Sekarang, tiba-tiba saja, ia mendapat kenyataan bahwa ayah yang biasanya menyayanginya itu adalah seorang musuh besar, bahwa ayahnya yang tulen adalah seorang pemberontak yang selama ini ia benci. Dan kini, ia telah melarikan diri dari rumah, berpisah dari ayah bundanya, bahkan dikejar-kejar oleh para perwira dan mungkin selanjutnya akan menjadi orang buruan. Tentu saja peristiwa ini merupakan tekanan yang hebat sekali pada hati dan perasaan Siauw eng.
“Siauw Eng, mulai saat ini, pandanglah aku sebagai sahabatmu satu-satunya yang bersedia membelamu dengan jiwa dan raga,” kata Cin Pau dengan sungguh-sungguh hingga Siauw Eng merasa terharu dan memandangnya dengan kedua mata basah.
“Cin Pau .... antarkanlah aku ke makam ayahku “
Cin Pau mengangguk dan keduanya lalu berjalan perlahan menuju ke hutan di mana terdapat dua makam Khu Tiong dan Ma Gi, ayah mereka itu.