Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 40

NIC

“Mengapa kau merahasiakan hal ini kepadaku, ibu ?”

“Untuk kebaikanmu sendiri, Eng-ji, dan juga atas permintaan ayahmu yang amat mencintaimu seperti anak sendiri.” Tiba-tiba Siauw Eng menarik tangannya dari pegangan ibunya. “Jadi seluruh keluarga Khu dan ma dibunuh dan ditumpas habis oleh para perwira sedangkan ibu sendiri enak-enak menjadi isteri seorang perwira dan hidup mewah ?”

“Siauw Eng !!” ibunya menjerit sambil menutup mukanya lalu menangis.

“Jadi kakek dibunuh, ayah dibunuh, nenek dibunuh, semua anggauta keluargaku dibunuh oleh

para perwira, akan tetapi ibu , ibu tidak bersakit hati, tidak menaruh dendam bahkan lalu menjadi

nyonya perwira Gak ..... ? Ah, aku aku merasa terhina dan rendah sekali ! Lebih baik pada waktu

itupun aku ikut mati dalam kandungan ibu bersama seluruh keluarga Ma !”

“Siauw Eng !” kata-kata ini merupakan tikaman hebat sekali yang membuat nyonya itu serentak

bangun dan hendak menampar muka anaknya, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya ia roboh pingsan di atas pembaringan.

Pada saat itu Gak Song Ki berlari mendatangi dari luar. Perwira ini baru saja datang dari istana untuk membuat laporan kepada kaisar tentang penyerbuan kuil Thian Lok Si, dan begitu tiba di rumah, ia mendengar tentang sikap Siauw Eng yang ganjil. Ia segera berlari masuk dengan hati penuh kekuatiran, dan ketika mendengar suara Siauw Eng yang keras sedang berkata-kata kepada ibunya, ia segera menuju ke kamar isterinya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat isterinya telah roboh pingsan di atas ranjang sedangkan anaknya itu berdiri dengan muka merah dan air mata bercucuran.

“Siauw Eng .... ibumu kenapakah ?” tanya Gak Song Ki sambil menubruk isterinya dengan kuatir.

Akan tetapi Siauw Eng tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata tak senang. Gak Song Ki tidak memperdulikan anaknya, lalu memijit-mijit kepala dan leher isterinya. Setelah ditarik urat pada lehernya, maka siumanlah Kwei Lan sambil mengeluh perlahan. Ketika ia membuka mata dan melihat suaminya telah berada di situ dengan muka kuatir, sedangkan Siauw Eng masih berdiri bagaikan patung, ia lalu menangis sedih.

Gak Song Ki merasa lega bahwa isterinya telah siuman dan dapat menangis, maka ia lalu memandang kepada Siauw eng dengan mata penuh cela dan tegur, “Siauw Eng, apa yang telah kau lakukan kepada ibumu ?”

Dan jawaban yang keluar dari mulut Siauw Eng membuat ia merasa seakan-akan ada kilat menyambar dari luar kamar. “Gak-ciangkun, aku bicara dengan ibuku sendiri, harap kau jangan ikut campur dan suka keluar dari kamar !”

Gak Song Ki memandang wajah Siauw Eng seakan-akan gadis itu adalah makhluk aneh yang baru saja datang dari lain dunia.

“Siauw Eng, kau kau adalah anakku, mengapa kau bicara seperti itu ? Aku ayahmu !”

Dengan suara tanpa irama Siauw Eng menjawab, “Ayahku adalah Ma Gi dan sudah tewas dikeroyok oleh perwira-perwira, mungkin kau sendiripun ikut mengeroyok !”

Maka tahulah Gak Song Ki bahwa anak ini telah mengetahui akan rahasia yang ditutupinya rapat-rapat itu, “Betapapun juga, Eng-ji, aku telah menganggapmu seperti anak sendiri dan memelihara serta mendidikmu sejak kau lahir.”

Ucapan yang penuh tuntutan ini bahkan makin memperbesar api kemarahan yang berkobar di dada Siauw Eng. “Orang she Gak !” katanya sambil menuding muka Gak Song Ki, “Kau baik kepadaku oleh karena itu termasuk siasatmu untuk memikat hati ibuku ! Kau bunuh ayahku dan kau pikat ibuku ! Bagus

.... !! Anehkah itu kalau sekarang aku mencabut pedang dan menganggap kau sebagai musuh besarku

?”

“Siauw Eng ” Kwei Lan mengeluh panjang mendengar ucapan anaknya ini.

Gak Song Ki mulai marah melihat sikap Siauw Eng ini. Timbul perlawanan di dalam hatinya, karena betapun ia sayang kepada gadis ini, akan tetapi ia tetap adalah seorang perwira tinggi yang tentu saja tidak mau dihina orang sedemikian rupa. “Siauw Eng !! Ucapan dan sikapmu ini hanya menunjukkan bahwa jiwa pemberontak ayahmu tetap mempengaruhimu. Kau berdarah pemberontak dan tak kenal budi orang. Habis, kalau betul kau adalah puteri Ma Gi, kalau betul bahwa aku telah mengawini ibumu, sekarang kau mau berbuat apakah? Kau mau bunuh aku ? Boleh, boleh, kau kira aku takut mati.”

Kenyataan-kenyataan dan terbongkarnya rahasia itu secara hebat telah melukai batin Siauw Eng dan menekan jiwanya hingga gadis ini seakan-akan menjadi mata gelap dan bingung. Pertimbangannya telah patah dan ia tidak dapat berpikir secara sehat pula. Yang memenuhi benaknya pada saat itu hanyalah marah, kecewa, dendam, malu, dan sakit hati.

Mendengar ucapan Gak Song Ki, ia bergerak cepat dan tahu-tahu ia mencabut keluar pedangnya.

“Orang she Gak ! Kau kira aku tidak berani menusukkan pedang ini di dadamu ? Katakanlah bahwa kau telah ikut membunuh ayahku, ikut membunuh kakekku, ikut membunuh seluruh keluargaku kecuali ibuku yang cantik !” Sambil berkata demikian, Siauw Eng memandang dengan mata berapi dan pedangnya sudah siap menusuk.

“Siauw Eng, aku adalah seorang perwira yang telah bersumpah setia kepada kaisar !” kata Gak Song Ki sambil mengangkat dada, “betapapun juga, aku hanya menjalankan tugas kewajibanku dengan setia.

Aku tidak membunuh siapa-siapa dengan hati membenci, akan tetapi hanya menjalankan tugas semata

! Jangankan keluarga Khu dan Ma, biarpun kausendiri atau orang tuaku sendiri apabila memberontak, sudah menjadi tugasku untuk membasminya !”

“Bagus, sekarang lawanlah ! Aku juga pemberontak ingat ! Aku anak pemberontak !!” Sambil berkata

demikian, Siauw Eng lalu menyerang dengan pedangnya.

Gak Song Ki bukanlah orang lemah, dan cepat perwira ini lalu mengelak dan mencabut pedangnya. Perang tanding antara ayah tiri dan anak yang tadinya saling mencinta seperti ayah dan anak tulen itu terjadi dengan hebatnya di dalam kamar, sedangkan Kwei Lan hanya memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil.

Akan tetapi, Gak Song Ki yang pada dasar hatinya amat menyayang Siauw Eng, tentu saja tidak tega untuk melawan dengan sungguh-sungguh dan ia tadi mencabut pedang hanya untuk menangkis saja. Selain dari pada itu, memang ilmu pedangnya masih kalah setingkat jika dibandingkan dengan anak tirinya ini, maka setelah bertempur di tempat sempit itu beberapa lamanya, sebuah tendangan Siauw Eng telah mengenai lututnya dengan tepat hingga ia roboh terguling. Siauw Eng bagaikan seekor harimau betina yang marah, segera menubruk untuk memberi tikaman terakhir.

“Siauw Eng !” ibunya menjerit ngeri dan tiba-tiba melihat betapa wajah ayah tirinya yang berada di

Posting Komentar