Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 39

NIC

“Tenang dan sabarlah, nona. Bukan dengan sengaja pinceng melukai hatimu dan rahasia ini tidak sengaja terbuka di sini. Memang sudah menjadi kehendak Thian agaknya. Kau pulanglah dan tanyakanlah hal ini kepada ibumu. Betapun juga, dia tentu akan menceritakan kepadamu sejelasnya.”

“Tidak ...... tidak ” kata Siauw Eng sambil menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kepada

Sian Kong Hosiang, tidak ..... kau bohong ! Katakanlah bahwa kau membohong, kau menipuku .....

katakanlah bahwa hal ini tidak benar ”

“Kau memang anak Ma suheng, tak bisa salah lagi,” kata Sian Kong Hosiang dengan suara tetap.

Dengan isak tertahan Siauw eng lalu lari ke arah kudanya, melompat cepat dan membedal kuda itu bagaikan gila. Sementara itu, Hwee Lian dan Gu Liong untuk beberapa lama tidak dapat berkata sesuatu. Berita ini terlampau mengejutkan hati mereka. Kenyataan bahwa mereka telah mendapatkan makam dari kedua musuh besar keluarga mereka tak berarti penting lagi, bahkan kenyataan bahwa Cin Pau pemuda baju putih itu adalah putera pemberontak Khu Tiong juga tidak sangat penting. Akan tetapi berita bahwa Siauw Eng adalah puteri Ma Gi, sungguh-sungguh merupakan berita mengejutkan dan hebat. Sungguh sebuah hal yang sama sekali tak pernah dilupakannya, tak pernah diduga-duga.

Gu Liong lalu majukan kudanya dengan pedang terangkat, siap menggempur Cin Pau, akan tetapi Hwee Lian berseru, “Suheng, jangan !” Dan ketika Gu Liong menahan kudanya memandang, ternyata bahwa Hwee Lian telah mengucurkan air mata sambil menatap wajah Cin Pau.

“Kau ... kau musuh besar keluargaku,” katanya setengah berbisik akan tetapi cukup terdengar oleh Cin Pau yang menjadi bingung. Sebelum ia sempat bertanya, kedua saudara itu telah membalapkan kuda mereka meninggalkan tempat itu.

Cin Pau berdiri termangu-mangu dengan hati tidak karuan. Kenyataan atau dugaan bahwa Siauw Eng adalah puteri tunggal Ma Gi, jadi seorang yang bernasib sama dengan dia sendiri, kecuali bahwa ibu gadis itu telah kawin lagi dengan seorang perwira sedangkan ibunya sendiri mengasingkan diri di puncak Kunlun-san, membuat perasaaan dan pikirannya terhadap Siauw Eng berubah sama sekali.

Tadinya, semenjak pertemuannya dengan Un Kong Sian yang kini telah menjadi Sian Kong Hosiang, ia merasa benci kepada Gak Song Ki dan otomatis ia pun menaruh hati tak senang kepada Siauw Eng yang dianggapnya sebagai puteri seorang perwira berarti menjadi musuhnya pula. Akan tetapi sekarang ia merasa iba, suka, dan girang bahwa Siauw Eng bukan puteri perwira akan tetapi bahkan puteri

Ma Gi, sahabat baik dan saudara seperguruan ayahnya. Cucu Ma Eng, sasterawan tua yang menjadi kawan baik kakeknya Khu Liok itu. Dengan demikian, maka keturunan keluarga Khu dan Ma yang terakhir adalah dia dan Siauw Eng, atau Khu Cin Pau dan Ma Siauw Eng.

“Cin Pau, tak salah lagi, nona tadi tentulah puteri Ma Gi. Adatnya keras dan tabah seperti ayahnya. Sebagai keturunan terakhir dari keluarga Ma, dia harus kita bela. Kalau sampai para perwira mengetahui bahwa dia anak Ma Gi, tentu dia akan mengalami bencana. Kenalkah kau kepada dua orang saudara tadi ?”

“Mereka adalah Gu liong dan Gu Hwee Lian !”

“Apa ?” Sian Kong Hosiang membelalakkan matanya. “Tak heran mereka membencimu setelah mengetahui bahwa kau putera Khu Tiong. Mereka itu adalah keturunan kedua saudara Gu, putera pangeran Gu Mo Tek yang terbunuh oleh kedua suhengku !”

“Begitukah ??” Cin Pau juga menjadi kaget sekali karena tak disangkanya bahwa di depan kuburan ayahnya dan Ma Gi tadi telah berkumpul empat putera puteri dari ke empat orang yang saling bermusuhan itu. Alangkah anehnya. Akan tetapi ia segera ingat akan nasib Siauw Eng, maka segera ia berkata, “Ayah, kalau begitu, aku hendak menyusul adik Siauw Eng !”

“Baik, kau pergilah dan kalau perlu, kau bela dia dan bawa ke sini !” kata Sian Kong Hosiang.

Cin Pau lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu sedangkan Sian Kong Hosiang lalu menuju ke dusun Ma Cin Kiang untuk melihat bekas kuilnya dan seberapa dapat mencari para hwesio yang melarikan diri.

******

Siauw Eng membalapkan kudanya secepat mungkin hingga kuda itu berlari cepat bagaikan sedang berkejaran dengan angin. Disepanjang jalan, air mata Siauw Eng mengucur deras sekali. Benarkah ia anak pemberontak, anak Ma Gi yang kabarnya memberontak dan bahkan menjadi pembunuh ayah Gu Liong dan Gu Hwee Lian ? Dia anak orang yang selama ini menimbulkan jijik dan bencinya karena menurut semua orang, kedua orang pemberontak itu telah membunuh pangeran Gu Mo Tek, kakek Gu Liong dan Hwee Lian, dan yang menjadi orang buruan pemerintah ?

Akan tetapi, mengapa ibunya menjadi isteri Gak Song Ki ? Dan Gak Song Ki telah dianggapnya seperti ayah sendiri, betapa tidak ? Gak Song Ki demikian baik budi dan mulia terhadapnya, begitu mencinta dan menyayang. Dan ayahnya ini dimaki-maki oleh Cin Pau yang kalau benar-benar ia anak Ma Gi, adalah putera kawan baik ayahnya itu. Ah, dia tidak percaya. Tak mungkin dia anak seorang pemberontak rendah. Orang di kota Tiang-an terkejut sekali melihat Siauw Eng melarikan kudanya hingga hampir saja menubruk beberapa orang yang sedang berjalan di jalan raya. Mereka semua mengenal Siauw Eng , mengenal Gobi Ang Sianli yang gagah dan cantik jelita, mengenal puteri perwira Gak Song Ki ini yang disohorkan menjadi kembang kota Tiang-an. Bahkan kaisar sendiri telah mendengar namanya dan di dalam hati, kaisar ini ingin sekali menyaksikan kecantikannya. Semua pangeran muda di kota raja kenal padanya dan mengagumi tiada habisnya. Untung ia memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri Gak- ciangkun yang terkenal gagah dan disegani orang, kalau tidak, tentu telah banyak datang orang dan pemuda menggodanya.

Ketika tiba di depan gedung orang tuanya, Siauw Eng melompat turun dari kudanya dan membiarkan kuda yang terengah-engah dan penuh peluh tubuhnya itu begitu saja, hingga seorang pelayan segera menghampiri untuk merawat kuda itu. Siauw Eng berlari masuk ke dalam rumah dengan pipi masih basah air mata. Ia langsung menuju ke kamar ibunya.

Kwei Lan ketika itu sedang duduk di dalam kamar dan menyulam. Nyonya yang cantik ini sudah agak tua dan karena ia hidup serba kecukupan dan cukup berbahagia, melihat puterinya telah dewasa, berkepandaian tinggi dan cantik jelita, juga suaminya amat mencintainya, maka hatinya menjadi tenteram dan beruntung hingga ia menjadi agak gemuk. Kerjanya tiap hari hanya menyulam saja dengan hati senang.

Alangkah terkejutnya ketika melihat puterinya masuk ke dalam kamar sambil berlari-lari dan ketika ia bertemu pandang dengan Siauw Eng, terlepaslah kain yang sedang disulamnya. Pandangan mata puterinya begitu aneh dan liar menakutkan.

“Eng-ji, kau kenapakah ?” tegurnya sambil berdiri.

“Ibu !” Siauw Eng maju menubruk dan memeluk ibunya. Tak tertahan pula gadis ini menangis

sesenggukan di dalam pelukan ibunya.

“Eh, eh anak nakal ! Kau kenapakah ? Apakah kau berkelahi dengan orang ? Siapa yang mengganggumu?”

Siauw Eng menekan desakan sedu sedan yang membuatnya sukar membuka mulut. Kemudian ia menarik tangan ibunya dan mereka berdua duduk di atas pembaringan. Dengan kedua tangan masih memegangi tangan ibunya, ia lalu bertanya,

“Ibu, sayangkah kau kepadaku ?”

“Eh, eh,” kata ibunya sambil tersenyum, akan tetapi kedua matanya memandang penuh kecemasan, “pertanyaan apakah ini ? Sudah tentu aku sayang kepadamu, anak bodoh !”

“Kalau ibu sayang kepadaku, jawablah, segala pertanyaanku terus terang.” “Tentu saja, pertanyaan apakah ?”

“Ibu, siapakah sebenarnya Khu Tiong dan Ma Gi ?”

Bukan main terkejutnya nyonya ini mendapat pertanyaan demikian dari puterinya. Siauw Eng merasa betapa kedua tangan ibunya tiba-tiba menjadi dingin dan nyonya itu segera menarik kedua tangannya dari pegangan Siauw Eng. “Kedua orang itu ? Mereka adalah dua orang pemberontak yang telah mendapat hukuman, bukankah kau pernah mendengar tentang mereka ?” Kwei Lan berhasil membuat suaranya terdengar wajar dan tidak gemetar.

“Ibu, apakah ayahku yang sekarang ini, ayahku perwira Gak Song Ki ini, adalah ayahku yang sejati?” Kini nyonya itu tak kuasa menahan getaran yang membuat ia menjadi pucat.

“Eng-ji, setan manakah yang telah memasuki pikiranmu ? Tentu saja ia adalah ayahmu sejati. Apakah kau hendak menghina ibumu sendiri ?” “Ibu .... bebar-benarkah kau tega menipu anakmu sendiri ? Ibu .... aku ..... tadi aku telah

mendapatkan kuburan mereka, kuburan Khu Tiong dan Ma Gi !”

“Apa !!??” Berita ini benar-benar mengagetkan hati nyonya itu sehingga tak terasa pula ia berdiri

dengan kedua kaki menggigil.

Siauw Eng menubruk ibunya dan membawa ibunya duduk di atas pembaringan. “Ibu, ampunkan anakmu. Aku tidak bermaksud buruk, aku hanya menuntut hakku untuk mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Ceritakanlah, ibu, tentu ada hubungan sesuatu antara kau dan Ma Gi. Orang

bilang bahwa Ma Gi adalah ayahku, betulkah ini ??”

Kwei Lan mendengar ucapan anaknya ini bagaikan mendengar suara yang turun dari angkasa raya, yang membuatnya serasa dalam mimpi. “Ceritakanlah, anakku, ceritakanlah semua apa yang telah terjadi dan apa pula yang kau lihat di kuburan itu,” katanya dengan bibir gemetar dan wajah pucat, sedangkan kedua matanya memandang jauh.

Sambil menangis dan dengan suara terputus-putus Siauw Eng lalu menceritakan betapa ia bertemu dengan Cin Pau yang mengaku menjadi putera Khu Tiong dan di situ ada pula seorang hwesio ayah angkat Cin Pau yang menyatakan bahwa ia adalah anak Ma Gi.

“Bagaimana muka hwesio itu ?”

“Sikapnya lemah lembut dan halus tutur sapanya, mukanya pucat, halus dan tampan, usianya sebaya dengan ayah.”

Kwei Lan mengangguk-angguk, “Siapa namanya ?” “Sian Kong Hosiang ”

“Hm, memang benar dia ! Tentu Kong Sian, siapa lagi,” nyonya itu berkata dengan suara perlahan.

“Ibu, betulkah semua itu ? Betulkah katanya bahwa aku bukan puteri ayah yang sekarang dan bahwa aku adalah anak Ma Gi ?”

Ibunya dengan wajah pucat dan air mata mulai berlinang di kedua matanya yang indah, lalu memeluk anaknya dan berkata perlahan,

“Eng-ji, anakku yang tersayang. Dengarlah, akan tetapi kau harus tetapkan hatimu, nak. Kau tahu bahwa ayahmu amat baik kepadamu, amat mulia terhadap kita. Dengarlah memang ketika aku

bertemu dengan ayahmu, aku sedang mengandung engkau. Dulu ketika kau masih dalam

kandungan, aku adalah isteri Ma Gi, putera dari sasterawan besar Ma Eng. Kemudian, karena menuliskan kitab yang menghina kaisar, maka kakekmu bersama sasterawan besar Khu Liok serumah tangga telah dijatuhi hukuman oleh kaisar. Sekeluarga dibunuh semua. Ma Gi atau ayahmu itu, bersama Khu Tiong putera Khu Liok, lalu mengamuk hebat dan mereka berdua akhirnya juga dibunuh oleh para perwira yang menjalankan tugas perintah kaisar. Ketika pembunuhan terjadi, ayahmu yang sekarang, perwira Gak Song Ki ini, merasa kasihan melihat aku yang sedang mengandung, maka ia lalu membawa lari aku ke rumahnya ini. Di sini aku dirawat dengan baik sekali sampai kau lahir dengan selamat. Kemudian ......... kemudian ia meminangku, nak, dan dan terpaksa aku menerimanya hingga

aku menjadi isterinya sampai sekarang ini ”

Dengan kedua mata terbelalak dan wajah pucat sekali, sedangkan air matanya mulai turun lagi membasahi pipinya, Siauw Eng mendengarkan penuturan ibunya. Ia memandang kepada wajah ibunya tanpa berkedip,

Posting Komentar