Can Kok merasa gembira sekali karena dapat membalas dendam, biarpun ia masih merasa penasaran dan tidak puas melihat betapa Un Kong Sian masih dapat melarikan diri. Yang membuat mereka penasaran dan heran adalah Cin Pau, pemuda baju putih yang tadinya diharapkan untuk membantu itu ternyata bahkan membantu Sian Kong Hosiang.
Hanya Gak Song Ki sendiri yang diam-diam merasa menyesal dengan terjadinya pembakaran kuil ini dan ia merasa kasihan kepada Sian Kong Hosiang, karena dari sikap hwesio itu ia merasa ragu-ragu untuk percaya bahwa hwesio itu adalah seorang jahat. Dan yang membuat ia termenung bagaikan menghadapi teka teki adalah ketika mendengar betapa Cin Pau menyebut “ayah” kepada hwesio itu. Ia mendengar dari Can Kok bahwa Sian Kong Hosiang adalah Un Kong Sian, sute dari kedua pemberontak Khu Tiong dan Ma Gi, akan tetapi sepanjang pengetahuannya, Un Kong Sian tidak punya anak bahkan telah bercerai dari isterinya, mengapa sekarang orang she Un itu tahu-tahu telah mempunyai seorang putera yang demikian lihainya ? Can Kok memang telah dapat mengetahui rahasia Un Kong Sian, yakni dengan jalan “membeli” seorang hwesio dari kuil Thian Lok Si dan juga ia telah mencari keterangan pada janda Un Kong Sian, yakni Bi Nio yang sudah diceraikan dan yang telah kembali ke rumah orang tuanya.
Dengan hati girang karena merasa berhasil dalam usahanya membasmi kuil Thian Lok Si, Can Kok dan kawan-kawannya lalu kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada kaisar.
Peristiwa pembakaran kuil Thian Lok Si itu takkan dapat dilupakan oleh penduduk di sekeliling daerah itu, yang dianggapnya perbuatan biadab yang amat kejam. Setelah para tentara itu pergi sambil membawa kurban-kurban dari pihak mereka, barulah para penduduk berani keluar. Akan tetapi mereka tidak berani mencoba untuk memadamkan api yang mengamuk dan membakar kuil, hanya mereka lalu bergotong royong menolong para hwesio yang terluka serta menguburkan mereka yang telah tewas.
Sedangkan sisa para hwesio yang terluput dari pada kebinasaan, melarikan diri cerai berai mencari tempat perlindungan sendiri-sendiri. Mereka ini hanya dapat menyesali nasib dan termenung memikirkan dosa apakah yang telah mereka perbuat pada penjelmaan di waktu dahulu hingga kini mereka mengalami bencana sebesar itu.
******
Sian Kong Hosiang mengajak Cin pau melarikan diri ke dalam sebuah hutan di luar kota Tiang-an, dan setelah mereka berhenti berlari dan berdiri di bawah pohon, Sian Kong Hosiang lalu memeluk Cin Pau dan berkata,
“Anak muda, betulkah kau Cin Pau putera Lin Hwa ?”
“Cin Pau menjatuhkan diri berlutut dan menjawab, “Betul ayah, telah beberapa hari aku mencarimu di Tiang-an hingga terbujuk oleh Can-ciangkun untuk membantu menyerbu kuil Thian Lok Si yang katanya menjadi sarang penjahat.” Dengan singkat Cin Pau lalu menuturkan pengalamannya hingga berulang- ulang Sian Kong Hosiang menghela napas panjang.
“Memang Can Kok berhati jahat dan menaruh dendam besar, padahal kuil Thian Lok Si tidak pernah bersalah kepadanya.” Kemudian ia menuturkan kepada Cin Pau tentang pengalamannya dulu ketika melarikan diri dengan ibu pemuda itu dan bersembunyi di kuil Thian Lok Si dan betapa Can Kok mendapat hajaran dari Lokoai yang sekarang telah menjadi mayat itu. Kemudian mereka berdua lalu menggali lubang di dalam hutan itu dan menguburkan jenazah Lokoai yang malang itu.
Setelah penguburan itu selesai, Cin Pau lalu menyatakan bahwa maksudnya mencari Sian Kong Hosiang ialah untuk menanyakan di mana adanya kuburan ayahnya dan Ma Gi yang tewas karena keroyokan para perwira.
“Eh, jadi kau telah diberitahu oleh ibumu bahwa aku bukan ayahmu sejati ?” kata Sian Kong Hosiang. “Kalau begitu, mengapa kau masih menyebut ayah kepadaku ?”
“Aku lebih suka menyebut ayah kepadamu, karena kau seorang yang mulia dan menurut ibuku, budimu tak kurang besarnya dari pada seorang ayah sejati.”
Sian Kong Hosiang menghela napas dengan terharu, karena tak disangkanya bahwa pertolongan yang dulu ia berikan kepada Lin Hwa masih terus diingat dan disimpan dalam hati janda yang malang itu.
“Kuburan ayahmu dan Ma suheng berada di dalam hutan ketiga dari tempat ini, dan aku seringkali mengunjunginya. Jenazah kedua suhengku itu dikubur oleh dua orang pengembala yang baik hati, akan tetapi aku tidak membuka rahasia mereka karena kuatir kalau sampai diketahui orang tentang kedua makam itu, tentu akan diganggu. Sampai sekarang seorang di antara kedua pengembala itu masih belum tahu jenazah siapa yang mereka kubur dan pengembala ini masih berada di sekitar tempat itu.”
Pada keesokkan harinya, setelah bermalam di dalam hutan untuk bersembunyi karena kuatir kalau- kalau para perwira masih mengejar dan mencari mereka, mereka lalu pergi ke dalam hutan di mana terdapat makam Khu Tiong dan Ma Gi. Cin Pau lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kuburan itu dan menangis keras dengan sedihnya. Karena Sian Kong Hosiang sendiri tidak tahu yang mana makam Khu Tiong dan yang mana Ma Gi, maka Cin Pau lalu menangisi kedua kuburan itu dengan sedih,
“Ayah, kepada siapakah aku harus membalas dendam ini ? Kakekku terbunuh sekeluarganya, ayah binasa dikeroyok, ibu hidup menderita, semua ini karena perbuatan perwira-perwira itu. Yang manakah yang harus ku balas ? Apakah aku harus membasmi setiap orang perwira kerajaaan ? Katakanlah, ayah, hatiku bingung, pikiranku gelap, agaknya aku takkan merasa puas sebelum membalas dendam ini
!”
Sian Kong Hosiang termenung, “Cin Pau, jangan menurutkan hati panas dan nafsu menggelora. Kau tentu telah mendengar riwayat kakek dan ayahmu dari ibumu. Kakekmu dan kakek keluarga Ma dua orang sastrawan besar itu telah menulis kitab yang menggerakkan hati rakyat hingga tercetuslah pemberontakan kaum petani. Mereka berdua itu dikhianati oleh Pangeran Gu Mo Tek dan ayahmu serta pamanmu Ma Gi telah bertindak melakukan pembalasan dendam dengan membunuh pangeran Gu Mo Tek yang berhati palsu itu, bahkan telah membunuh pula dua orang putera pangeran itu. Siapa lagi yang menaruh dendam dan siapa lagi yang harus balas-membalas? Anakku, janganlah kita dibawa hanyut oleh karma yang selalu mencari kurban. Coba saja kau bayangkan, kalau saja balas membalas ini tidak diakhiri, tentu akan berlarut-larut terus, bahkan keturunanmu sendiri kelak akan tersangkut dan terbawa-bawa. Dan apakah gunanya semua itu ? Lihatlah, pembakaran kuil Thian Lok Si agaknyapun menjadi sebuah akibat dari pada peristiwa keluarga Khu dan Ma itu, dan kalau seandainya sekarang semua hwesio membalas dendam kepada semua penyerbu, kemudian keturunan semua penyerbu itu membalas pula, bukankah hal balas membalas ini takkan ada akhirnya ?”
Cin Pau tak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menubruk ayah angkatnya sambil menangis. Kemudia ia berlutut lagi di depan kedua makam itu sambil mendekam tak bergerak. Sian Kong Hosiang mendiamkan saja karena pada saat seperti itu, lebih baik Cin Pau menghabiskan rasa dukanya dan tak perlu diganggu agar rasa penasaran dan kebencian serta dendam yang mulai bertumbuh dihati anak muda ini, akan lenyap dengan sendirinya.
Akan tetapi, tanpa disangka-sangka, pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi. Cin Pau seakan-akan tidak mendengar suara ini, akan tetapi Sian Kong Hosiang telah berdiri dan berlaku waspada, karena disangkanya bahwa yang datang itu tentulah rombongan perwira yang mengejar dan mencari mereka.
Akan tetapi ketika penunggang-penunggang kuda itu muncul dari satu tikungan, ternyata bahwa mereka itu adalah tiga orang penunggang kuda yang masih muda-muda, seorang pemuda dan dua orang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenal oleh hwesio ini.
“Cin Pau ! Mengapa kau menangis di sini ?” tiba-tiba seorang di antara kedua orang gadis itu, yang berpakaian merah dan berwajah cantik jelita sekali, turun dari kudanya dan berlari menghampiri Cin Pau yang masih berlutut.
Mendengar suara ini, Cin Pau cepat melompat bangun dengan muka merah dan mata bernyala-nyala. “Kau ... ? Apakah kau datang hendak melanjutkan kekejaman ayahmu, kekejaman segala perwira ? Apakah kau hendak menawan dan membunuhku ? Boleh, boleh ! Kalian bertiga, putera puteri perwira yang kaya raya dan gagah, majulah dan mari kita mengadu jiwa di depan makam orang tuaku !” sambil berkata demikian Cin Pau mencabut pedangnya Pek Kin Kiam dan melintangkan pedang itu di dadanya.
Siauw Eng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat.
“Cin Pau apakah kau sudah menjadi gila ?” tanyanya sambil memandang muka pemuda yang telah
banyak berobah semenjak kemarin itu. Wajah ini sekarang nampak kusut dan mengandung kedukaan besar. “Aku masih terheran-heran mendengar cerita ayah bahwa kau telah membantu penjahat di kuil Thian Lok Si. Aku tidak sengaja mencarimu, dan mengajak kedua saudara Gu ini untuk melihat dua makam yang pernah kulihat ini dan yang menimbulkan keheranan di dalam hatiku. Mengapa kau bersikap begini, Cin Pau ? Kau kau anak siapakah dan kuburan siapakah ini ?”
Sian Kong Hosiang hendak mencegah, akan tetapi Cin Pau yang sudah marah dan gelap pikirannya itu lalu berkata dengan suara gagah, “Inilah kuburan ayahku dan pamanku, kuburan orang-orang gagah Khu Tiong dan Ma Gi. Akulah putera Khu Tiong yang telah terbunuh mati oleh para perwira biadab, mungkin ayahmu Gak Song Ki itupun ikut pula bercampur tangan dan membunuh ayahku. Sekarang mereka membasmi kuil Thian Lok Si menghina ayah angkatku ini, dan kau datang hendak mengadu
jiwa dengan aku ?”
Makin pucatlah wajah Siauw Eng, sedangkan Hwee Lian mengeluarkan seruan tertahan dan wajahnya juga pucat sekali. Sebaliknya Gu Liong ketika mendengar bahwa pemuda baju putih ini adalah putera Khu Tiong, musuh besar yang telah membunuh ayahnya itu, menjadi marah sekali dan memandang penuh kebencian.
Sementara itu, Sian Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras dan dari kedua mata hwesio ini mengalirlah air mata. Ia memandang kepada Siauw Eng dengan mata terbelalak dan mulut celangap, kemudian ia melangkah maju mendekati gadis itu dan sambil menuding ia berkata gagap,
“Kau ..... kau ...... mukamu sama benar dengan Souw Kwei Lan katakanlah, apakah kau anak Souw
Kwei Lan .... ? Apakah Gak Song Ki ayah tirimu ?” Wajah Sian Kong Hosiang menjadi pucat sekali
hingga tidak hanya ketiga orang muda itu yang kaget, akan tetapi bahkan Cin Pau juga terkejut sekali dan heran.
Sebaliknya, Siauw Eng tak terasa lagi mundur dua tindak menghadapi pertanyaan hwesio ini. Ketika ia memandang, teringatlah ia bahwa hwesio ini adalah kepala hwesio di kuil Thian Lok Si, maka ia makin terkejut sekali.
Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan bibir gemetar. “Be benar, ibuku adalah Souw Kwei Lan
! Akan tetapi omongan apakah yang kau ucapkan tentang ayah tiri ? Gak Song Ki adalah ayahku,
ayah sejati.”
“Omitohud ...... Nasib ...... kau kejam, kau telah mempermainkan anak-anak ini Nona, ketika malam
kemarin kau datang menyerbu, persamaanmu dengan wajah Kwei Lan telah berkesan di dalam hatiku. Kau .... kau ” hwesio itu memandang ke arah dua makam itu dengan wajah pucat, “kau adalah puteri
tunggal dari suhengku Ma Gi. Seorang di antara dua orang yang kini terkubur di dalam tanah ini adalah ayahmu sejati. Kau adalah anak Ma Gi !”
“Gila !” Siauw Eng cepat bagaikan kilat mencabut pedangnya dan menusuk ke arah dada Sian Kong Hosiang. Ia merasa begitu terhina hingga ia lupa diri dan menyerang. Akan tetapi, Cin Pau cepat menggunakan pedangnya menangkis tusukan ini, karena kalau ia tidak cepat-cepat menangkis tentu pedang Siauw Eng telah bersarang ke dalam dada Sian Kong Hosiang yang di dalam keharuannya yang besar tak berdaya untuk menggerakkan tubuh dan bagaikan buta menghadapi tusukan itu.
“Siauw Eng ! Jangan kau mengganggu ayahku !” “Apa .... ? Ayahmu lagi ?”
“Ayahku yang sejati adalah yang berada di dalam kuburan ini bersama ..... bersama ayahmu. Dan
dia ini adalah ayah angkatku.”
“Kau gila ! Dia inipun gila ! Kalian semua orang-orang gila !! Aku .....aku adalah anak Gak Song Ki ...
aku aku bukan anak pemberontak !” Dengan wajahnya yang pucat, Siauw Eng mulai menangis.