Gak Song Ki ikut pula mengeroyok, akan tetapi sekali saja pedangnya terbentur oleh sinar pedang Sian Kong Hosiang, ia menjerit dan pedangnya terpental jauh, terlepas dari tangannya. Ia lalu mengambil pedang itu lagi, akan tetapi berdiri bengong saja tidak berani mengeroyok lagi.
Adapun Cin Pau, pada saat melihat wajah hwesio itu, hatinya berdebar dan ia berdiri diam seperti patung. Di manakah ia pernah melihat wajah yang tampan dan halus ini ?? Kemudian, ketika ia melihat gerakan pedang Sian Kong Hosiang, ia makin terkejut. Itulah Kui Hwa Koan Kiam-hwat dari Beng Hong Tosu. Kalau begitu hwesio ini tentu murid Beng Hong Tosu, dan ... wajah itu tiba-tiba ia teringat dan
hampir saja Cin Pau memekik karena girang dan heran, juga terkejut. Kalau begitu, hwesio ini tentulah Un Kong Sian. “Ong taihiap, lekas bantu mereka !” kata Gak Song Ki melihat betapa pemuda itu masih berdiri saja dengan bengong. Cin Pau lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dalam kalangan pertempuran.
Ketika Sian Kong Hosiang melihat seorang pemuda baju putih melompat dengan gerakan dari cabang persilatannya, ia menjadi sangat terkejut. Terlebih lagi herannya ketika melihat bahwa pemuda itu memegang pedang Pek Kim Kiam, pedang suhunya.
“Kau siapa ?” bentaknya sambil memutar pedang menangkis desakan ketiga orang lawannya.
Akan tetapi, Cin Pau bahkan menjawab dengan sebuah pertanyaan pula. “Apakah suhu ini murid Beng Hong Tosu ?”
“Dari mana kau curi pedang guruku itu ?” bentak Sian Kong Hosiang dan mendengar suara ini, tidak ragu-ragu lagi hati Cin Pau karena inilah suara Un Kong Sian, “ayahnya” yang dulu amat disayanginya itu.
“Apakah kau Un Kong Sian ??” tanyanya lagi sambil menggunakan Pek Kim Kiam menangkis tiga pasang senjata mereka yang mengeroyok Sian Kong Hosiang.
“Gilakah kau ??” Bok San Cu berseru ketika melihat betapa Cin Pau menangkis serangannya terhadap hwesio itu.
“Siapa .... siapa kau yang tahu namaku ” Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak.
“Ayah ” Tiba-tiba Cin Pau berseru keras sekali dan melompat ke arah hwesio itu, lalu berdiri di
dekatnya menghadapi ketiga orang pengeroyoknya.
“Cin Pau ... kau ???” suara Sian Kong Hosiang mengandung sedu tertahan karena terharunya, akan
tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk berkata banyak-banyak, karena Kim-i Lokai , Cin San Cu dan Bok san Cu mendesak hebat dengan marah sekali.
“Jangan kuatir, ayah, mari kita bereskan ketiga orang penjilat kaisar ini !” kata Cin Pau dengan gagah dan sambil tersenyum ia lalu memainkan pedangnya dengan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hwat secara cepat sekali hingga Sian Kong Hosiang yang melihat ini menjadi heran dan kagum. Timbul kegembiraan di hati hwesio ini. Sambil memperdengarkan suara ketawanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah keluar dari mulutnya, ia berkata,
“Cin Pau ... benar ... kau Cin Pau !” Lalu ia mainkan pedangnya demikian hebatnya hingga kedua
orang tua dan muda ini dengan cepat membuat Kim-i Lokai, Cin San Cu dan Bok San Cu menjadi terkejut dan terpaksa melompat mundur karena tidak kuat menghadapi dua batang pedang yang dimainkan sedemikian cepat dan gesitnya. Sedangkan Gak Song Ki yang melihat dan mendengar pernyataan Cin Pau itu, berdiri bengong dan terheran-heran. “Siapakah pemuda ini ?” Pikirnya sambil menduga-duga.
Pada saat itu, dari luar menyerbu masuk Kongsan Hengte, Pauw Su Kam, dan Can Kok. Mereka ini segera maju mengurung Sian Kong Hosiang dan Cin Pau hingga kedua orang ini terpaksa berlaku hati- hati dan mengeluarkan kepandaian karena pengeroyoknya yang berjumlah tujuh orang ini terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi. Apalagi Kim-i Lokai, dan kedua orang tokoh dari Gobi-san, mereka ini merupakan lawan-lawan berat yang sukar dirobohkan.
“Cin Pau, mari kita pergi, jangan melayani orang-orang sesat ini !” Sian Kong Hosiang berkata dan biarpun pada saat itu Cin Pau ingin mengamuk dan membasmi musuh-musuh yang mencelakakan ayah angkatnya ini akan tetapi suara Sian Kong Hosiang yang berpengaruh dan halus itu tak kuasa ia membantahnya. Akan tetapi, ketujuh orang pengeroyoknya tidak mau melepaskan mereka begitu saja.
“Pemberontak-pemberontak rendah ! Kalian hendak lari ke mana ?” seru Pauw Su Kam dengan garang dan ia maju sambil memainkan pedangnya. Orang ini timbul kegalakkan dan keberaniannya oleh karena melihat bahwa ia maju mengurung dengan enam orang lainnya yang tinggi ilmu kepandaiannya, maka ia pikir bahwa bertujuh ia takkan takut dikalahkan.
Tidak tahunya Cin Pau amat sebal melihat lagaknya ini dan sambil berseru keras, sebuah tendangan pemuda itu tak dapat dielakkan lagi mampir di dadanya hingga sambil menjerit keras orang she Pauw ini roboh bergulingan dan tak dapat bangun lagi. Ternyata ujung kaki Cin Pau telah berhasil mematahkan sebuah tulang iganya hingga walaupun hal itu tidak membahayakan jiwanya, namun terpaksa akan membuat ia tak dapat meninggalkan pembaringan sedikitnya sebulan.
“Mari, ayah !” Cin Pau mengajak dan kedua orang ini sambil memutar pedangnya lalu melompat keluar dari kuil Thian Lok Si.
Ketika tiba di luar, alangkah terkejut dan sedih hati Sian Kong Hosiang melihat betapa kuilnya yang besar dan megah telah mulai terbakar sedangkan di halaman depan sedikitnya tiga puluh orang hwesio telah rebah mandi darah, terluka berat atau tewas. Sisanya masih melakukan perlawanan dengan nekat dan penuh semangat hingga korban yang roboh di pihak penyerbu juga tidak kalah banyaknya.
“Omitohud !” Sian Kong Hosiang mengeluh dan ketika beberapa orang tentara mencoba untuk datang menghalangi mereka, ia menyampok dengan ujung lengan baju kirinya hingga tiga orang penyerbu itu bagaikan kena disapu angin puyuh, berguling-guling di atas lantai saling tubruk dengan kawan sendiri, yang lain-lain tidak berani maju lagi. Dan pada saat itu, Sian Kong Hosiang melihat tubuh Sin-jiu Lokoai yang menggeletak dengan tubuh penuh luka dan telah tewas.
“Lokoai !” teriaknya dan cepat sekali Sian Kong Hosiang lalu menyambar jenazah suhengnya ini.
Kemudian dengan suara keras ia berteriak,
“Saudaraku sekalian ! Lari tinggalkan tempat ini, jangan menambah-nambah dosa lagi dan habisi pertempuran kejam ini !” Sambil berkata demikian, Sian Kong Hosiang lalu melompat jauh, diikuti oleh Cin Pau. Tubuh Lokoai masih terpondong oleh hwesio itu.
Sedangkan semua hwesio yang mendengar perintah Sian Kong Hosiang ini, lalu melarikan diri secepatnya, meninggalkan tempat itu.
Sungguh mengerihkan sekali keadaan di luar dan di halaman depan kuil Thian Lok Si. Mayat manusia bertumpuk malang-melintang, sedangkan kuil itu sendiri mulai dimakan api dengan hebatnya, yang bergulung-gulung ke atas mengeluarkan bunyi berkerotokan karena bambu pecah. Para tentara yang masih berada di situ, sebagian menolong dan merawat kawan-kawan yang terluka atau binasa, sebagian pula berdiri bersorak-sorak menyoraki kuil yang dimakan api. Tidak kurang pula di antaranya yang diam-diam mengumpulkan benda-benda berharga dari dalam kuil.
Orang-orang kampung semenjak tadi telah menyingkir jauh-jauh dan bersembunyi, hampir tak berani bernapas.
Ternyata bahwa ketika menghadapi keempat pengeroyoknya yang perkasa itu, akhirnya Sin-jiu Lokai Li Song Ek tidak kuat melawan lebih lama lagi, lebih-lebih ketika di antara orang-orang gagah yang tadi membantu tentara lalu maju mengeroyoknya pula. Akhirnya, setelah menjatuhkan beberapa orang, ia lalu menjadi kurban keroyokan banyak senjata dan roboh dengan tubuh penuh luka.