Pedang Ular Merah Chapter 01

NIC

Pegunungan Tai Hang San di perbatasan Mongolia merupakan daerah pegunungan yang amat luas dan di situ penuh dengan hutan-hutan liar yang jarang dikunjungi manusia. Di puncak bukit yang paling ujung yakni di bagian barat terdapat sebuah hutan yang benar-benar masih liar dan belum pernah ada manusia berani memasukinya. Hutan ini terkenal menjadi sarang binatang buas, terutama sekali banyak terdapat ular berbisa semacam ularyang berkulit merah dan tidak terdapat di lain bagian dunia akan tetapi yang banyak terdapat di hutan itu, membuat hutan itu dinamakan hutan ular merah.

Pada suatu pagi yang sejuk dengan sinar matahari yang cerah terdengarlah suara nyaring dan merdu dari seorang anak perempuan berusia paling banyak enam tahun, anak itu mungildan cantik sekali dengan sepasang matanya yang bening kocak dan dua kuncir rambutnya yang panjang dan hitam. Tiap kali ia menggerakkan kepalanya, kuncirnya itu menyabet ke kanan ke kiri dan kalau kuncirnya melewati pundak lalu jatuh bergantung di atas pundaknya ke depan, ia tampak lucu dan manis. Sambil memetik bunga-bunga hutan yang beraneka warna, anak ini bernyanyi dengan merdu. Akan tetapi sungguh mengherankan suaranya yang amat merdu itu bcrlawanan sekali dengan kata-kata nyanyiannya yang dapat membuat orang melengak saking heran tidak mengerti.

Aku bukan dewata bukan pula setan

Akan tetapi baik dewata maupun setan

Takkan dapat menguasai aku

Biar dewata berbisik, biar setan menggoda

Aku tak hendak patuh. tak sudi tunduk.

Aku tertawa kalau ingin menangis.

Menangis kalau ingin tertawa

Siapa peduli? Aku adalah aku

Bukan dewata, Bukan pula setan!

Tidak hanya kata-kata saja yang aneh, juga nyanyiannya itu terdengar lucu dan sumbang. Namun anak perempuan itu agaknya merasa suka akan nyanyian ini dan dianggapnya enak dinyanyikan, buktinya ia bernyanyi dengan wajah gembira dan mengulangi nyanyian itu berkali-kali.

Tiba-tiba dua ekor kupu-kupu yang indah sekali sayapnya beterbangan mengelilingi bunga-bunga itu. Anak perempuan ini berhenti menyanyi dan biarpun matanya memandang kagum kcpada dua ekor kupu-kupu itu, namun kedua tangannya masih bekerja mengumpulkan kembang mawar hutan.

"Aduh"!" tiba-tiba ia memekik kesakitan ketika ibu jari tangan kanannya tertusuk oleh duri kembang. Saking kagetnya ia menarik keras tangan itu yang tentu saja membuat lukanya lebih besar dan dalam. Duri kcmbang itu ternyata runcing besar dan kuat. Darah mengalir dari ibu jarinya dan terasa amat pedih dan sakit. Seperti seorang anak kecil yang manja, rasa sakit ini membuat anak itu marah dan ia lalu membuang kembang-kembang tadi kemudian mcnangis keras.

"Ha, ha, ha, ha!" terdengar suara tertawa bcrgelak dari atas pohon menyaingi suara tangis, anak itu tiba-tiba menghentikan tangisannya dan sambil menengok ke atas pohon ia berkata cemberut,

"Suhu mcmang kejam! Aku terluka dan terasa sakit, mengapa ditertawakan?"

Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dari atas pohon itu melayang turun seorang kakek yang tinggi besar dan berkulit muka kchitaman. Sepasang matanya lebar dan bersinar liar seperti mata harimau, baju dan rambutnva tidak karuan, awut-awutan dan tidak terpelihara. Benar-benar mengherankan betapa tubuh yang tinggi besar itu dapat melompat turun dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah di depan anak perempuan itu, telapak kakinya sama sekali tidak menerbitkan suara, seperti kucing melompat saja layaknya! kembali ia tertawa terbahak-bahak di depan anak perempuan itu yang menjadi makin marah.

Sambil membanting-banting kakinya yang kecil, ia bertanya,

"Mengapa suhu tertawa?"

"He, bukankah kau tadi menangis, Eng Eng? Kalau ada yang mcnangis, harus ada yang tertawa. Aku tertawa kalau ingin menangis dan menangis kalau ingin tertawa, bukankah kau sudah tahu? Dan kau, mengapa kau menangis?" Pertanyaan ini diajukan dengan muka yang bodoh dan melihat sinar mata kakek ini, mudah saja orang menduga bahwa dia memang seorang yang miring otaknya, seorang yang tidak waras pikirannya!

"Aku tidak seperti suhu. Aku menangis atau tertawa tentu ada sebabnya. Dan sekarang aku menangis karena jari tanganku terluka oleh duri bunga itu!" Anak yang disebut Eng Eng itu lupa bahwa pada saat itu ia sudah tidak menangis lagi. Akan te-tapi ibu jarinya benar-benar terasa amat sakit dan perih sehingga mukanya yang berkulit halus itu mengerinyit.

Kakek itu sudah biasa dibantah oleh muridnya dan hal ini sama sekali tidak dipedulikan, bahkan ia lalu tertawa-tawa dan melihat ibu jari muridnya,"Tertusuk duri? Kau tentu mengganggu kembang itu, kalau tidak tak rnungkin ia akan menusukmu dengan durinya, Ha. Ha. ha.."

"Sudablab. suhu. Aku yang kesakitan, kau menggoda saja. Memang aku yang bersalah, memetik kembang tanpa melihat karena tertarik oleh dua ekor kupu-kupu yang beterbangan itu."

Kakek itu menengok dan ketika melihat dua ekor kupu-kupu beterbangan dengan lincah gembira, ia berkata,

"Mereka itukah yang mengganggumu?" Ia lalu menggerakkan kedua tangannya bergantian ke arah kupu-kupu yang terbang sejauh dua tombak dari tempat ia berdiri dan aneh sekali! Tiba-tiba seperti tertiup oleh angin besar, kedua kupu-kupu itu terbangnya kacau balau dan melayang ke arah kakek tadi! Kakek itu mengulurkan tangan kirinya dan kini kedua kupu-kupu itu jatuh ke atas telapak tangannya, hinggap disitu tak dapat terbang lagi, hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat pergi dari situ.

"Bagus, bagus, suhu!" seru anak perempuan itu dan ia bertepuk tangan. Untuk sesaat ia terlupa akan sakit pada ibu jarinya, akan tetapi baru saja ia bertepuk tangan, la mengeluh karena lupa jarinya serasa sakit.

"Aduh..aduh..!" Dan ia menangis lagi.

Kakek itu lalu melemparkan sepasang kupu-kupu tadi ke atas dan kedua binatang ini segera dapat terbang lagi dengan cepat, pergi dari tempat yang berbahaya ini, sedangkan kakek itu tertawa lagi ha-ha-hi-hi.

"Sakitkah...? Sakitkah.......

" ia menghampiri sambil tertawa terus.

"Tentu saja sakit, kalau tidak masa aku menangis?

Kakek yang aneh itu lalu memegang tangan muridnya dan ketika ia melihat ibu jari yang terluka, ternyata bahwa ujung duri kembang itu ketika tadi tangan dibetot keras, telah patah dan tertinggal di dalam daging, nampak membayang di kulit ibu jari. Kakek itu memencetnya dan anak itu berseru mengaduh-aduh. Air mata anak itu mengalir turun membasahi kedua pipinya yang merah.

"He, he, he, he! Siapa bilang sakit? Tidak sakit sama sekali. Aku tidak merasakan sakit sama sekali." katanya.

Anak perempuan itu cemberut.

"tentu saja suhu tidak merasa sakit. akan tetapi aku merasa sakit setengah mati!"

"Bohong tidak sakit. tidak sakit! Hayo kau harus menurut aku, bukankah kau muridku? Katakan tidak sakit" Kakek yang miring otaknya itu berkata keras sambil memandang kepada muridnya dengan sepasang mata yang dilebarkan. Biarpun mulutnya masih cemberut, anak itu menurut juga dan berkata keras,

"Tidak sakit!" Akan tetapi kctika kakek itu memijit ibu jarinya lagi ia berjengir kesakitan.

"Jangan pura-pura!" kakek itu mencela.

"Salah sama sekali. Kalau mulutmu bilang tidak sakit, hati dan pikiranmu juga harus berkata tidak sakit. Hayo ulang terus sampai kau benar benar tidak merasa sakit lagi!"

Berkali-kali anak perempuan itu berkata.

"Tidak sakit, tidak sakit!" Akan tetapi masih saja kulit mukanya berkerut menahan sakit.

"Sudahlah, suhu, lekas keluarkan duri itu dari dalam ibu jariku," ia mengeluh.

"Tidak, kalau kau masih merasa sakit aku tidak mau mengeluarkannya Ha, ha, ha! Hayo kau mengerahkan semangatmu sambil menginjak langit menghadap bumi."

Kalau orang lain yang mendengar perintah ini, tentu takkan mengerti dia. Akan tetapi anak perempuan itu memang sudah mendapat pelajaran yang aneh-aneh dari kakek itu, maka mendengar perintah suhunya ini, ia lalu bergerak jungkir balik dan tahu-tahu anak itu sudah berdiri dengan kedua kaki lurus ke atas kepala di bawah. Ia menggunakan dua tangannya untuk mewakili kakinya dan menjaga tubuhnya. Dapat diduga bahwa anak ini telah seringkali berlatih seperti itu, buktinya dapat menginjak langit menghadapi bumi, yakni berdiri jungkir balik dengan mudah sekali dan tubuhnya sama sekali tidak bergoyang-goyang.

Keseimbangan badannya tidak terganggu sama sekali. Otomatis setelah tubuhnya berada dalam keadaan seperti itu, kedua matanya lalu dimeramkan dan jalan-jalan pernapasannya demikian halus dan lambat seperti orang dalam semadhi atau tidur nyenyak!

"Nah, sekarang kumpulkan seluruh ingatan dan perasaanmu lalu kau berkata lagi tidak sakit" Kakck itupun membuat gerakan dengan tubuhnya dan tahu-tahu tubuhnya telah jungkir balik kepala dibawah dan kedua kaki di atas. Kalau anak perempuan itu masih mempergunakan dua tangan untuk menahan tubuhnya, adalab kakek ini sama sekali tidak mempergunakan tangannya dan ketika tubuhnya berjungkir balik, kepalanyalah yang menahan tubuhnya. Akan tetapi ketika kepala itu tiba di atas tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara seakan-akan kepalanya berubah empuk dan berdaging.

Anak perempuan itu masih merasakan betapa ibu jarinya sakit berdenyut-denyut akan tetapi biarpun kalau bicara kepada suhunya ia nampaknya seperti pembantah dan bandel, sesungguhnya ia amat taat dan sayang kepada suhunya itu. Maka ia lalu mengerahkan seluruh kckuatan hati dan pikirannya dan tiga kali ia berkata,

"Tidak sakit, tidak sakit, tidak sakit!" Kctika ia berkata sampai dua kali, ibu jarinya masih terasa sakit, akan tetapi pada saat itu semua pikiran dan perasaannya telah terkumpul dan terpengaruh oleh kata katanya sendiri, ditambah dengan kcmauannya yang keras sekali, maka pada ucapan ke tiga kalinya, benar saja rasa nyeri di ibu jarinya telah lenyap sama sekali!

"Tidak sakit, suhu!" katanya lagl dan suaranya yang terdengar gembira Itu meyakinkan kepada suhunya bahwa kali ini anak itu benar benar tidak merasa sakit lagi.

"Angkat lengan kananmu ke sini!" ia memerintah. Anak itu menurut, menggeser lengan kiri ke bawah kepala dan rnengangkat tangan kanannya yang diacungkan kepada suhunya. Dengan demikian anak itu kini hanya menahan tubuhnya dengao satu tangan saja!

Posting Komentar