Pedang Ular Mas Chapter 51

NIC

"Silakan kau ambil sendiri," Beng Tat berikan persetujuannya.

Eng Cay angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.

"Terima kasih!" ujarnya, terus ia memberi tanda kepada orangnya, maka dua orang segera maju kearah emas, mereka ini membungkuk untuk jumput potongan-potongan emas itu. Akan tetapi, Baru tangan mereka raba emas atau mereka telah rasai pundak mereka masing-masing ada yang tolak dengan pelahan, atas mana tubuh mereka jadi terdorong kebelakang, hingga mereka mesti mundur beberapa tindak, kalau tidak, tentu mereka rubuh. Lekas- lekas mereka angkat muka, akan memandang, maka tampaklah mereka Sin Cie berdiri didepan mereka.

Dengan tenang, pemuda ini segera berkata kepada ketua Liong Yu Pang :

"Eng Lo-ya-cu, emas ini adalah uang belanja tentaranya Giam Ong, maka jikalau kau ambil, pastilah itu kurang sempurna!" Nama Giam Ong di utara ada menggetarkan, adalah di Selatan, kaum kangouw tak terlalu memperdulikannya, maka itu, Eng Cay lantas menoleh pada Lu Jie Sianseng.

"Lihat, dia sebut-sebut nama Giam Ong untuk gertak kita!" katanya sambil tertawa.

Lu Jie Sianseng itu ada menyekal sebatang huncwee yang besar, dia menyedot satu kali, dia kebulkan asapnya, dia ulangi dan ulangi itu, gerak-geriknya ada tenang sekali. Sebelum jawab ketua Liong Yu Pang itu, ia melirik pada si anak muda, ia menatapnya.

Sin Cie dapat kenyataan, tenang dia ada, mahasiswa itu tapinya ada angkuh atau agung-agungan, dari itu tak puaslah hatinya. Kapan ia lihat sinar matanya, dan kulit mukanya yang bersemu dadu, ia percaya dia mestinya ada seorang kangouw kenamaan, mungkin dia mempunyai kepandaian istimewa karenanya, tak berani ia memandang enteng. Malah ia lantas saja menjura.

"Apakah cianpwee she Lu?" tanya ia. "Akuyang muda Baru kali ini mulai berkelana, dari itu maafkanlah aku tidak kenal cianpwee..."

Lu Jie Sianseng kepulkan pula asap huncweenya, sekali ini tepat kearah muka si anak muda, kemudian kapan ia menyedot lagi, ia keluarkan asapnya diantara kedua lobang hidungnya. Maka bagaikan sepasang naga melilit, asap itu bergulung-gulung melayang....

0o-d.w-o0

Sin Cie tidak murka karena lagak orang itu, tidak demikian dengan Ceng Ceng, yang hatinya panas, hingga mau ia menegurnya. Tapi Un Gie lihat sikap puterinya, dia tekan pundaknya. Ceng Ceng menoleh dengan cepat, ia lihat ibunya meng- geleng-geleng kepala dengan pelahan. Ia mengerti cegahannya sang ibu, ia terpaksa telan pula kemendongkolannya.

Lu Jie Sianseng ketruk-ketruki huncweenya, akan buang bersih sisa-sisa abu dan tembakau, lalu dengan pelahan- lahan, ia mengisi pula.

Juga Ngo Cou nampaknya tak sabaran mengawasi tingkah-laku dibuat-buat itu, akan tetapi mereka tahu, mahasiswa ini adalah seorang kangouw kenamaan selama beberapa puluh tahun, sebisa-bisa mereka kendalikan diri. Mereka pernah dengar bagaimana dengan ilmu silatnya Hoo Kun, kuntau burung Hoo, Lu Jie Sianseng tidak punyakan tandingan di Selatan dan Utara Sungai Besar, sedang huncwee itu adalah senjatanya yang istimewa, senjata mana selain bisa dipakai menotok jalan darah juga bisa dibuat menggaet senjata lawan. Namun mereka belum pernah saksikan sendiri kegagahannya. Maka meng-harap- haraplah mereka yang jago itu nanti bentrok sama Sin Cie, sukur kalau si anak muda kena dipecundangi, dengan begitu, pekerjaan mereka akan jadi lebih ringan.

Lu Jie Sianseng keluarkan tekesan api dari sakunya, ia menekes-nekes, akan tetapi ia masih tidak hendak lantas sulut huncweenya itu.

Selagi jago Hoo Kun itu ayal-ayalan, tiba-tiba diatas genteng muncul seorang lain, malah dia ini segera berseru : "Kembalikan emasku!"

Menyusul itu seorang perempuan muda loncat turun. Tetapi dia tidak bersendirian, dia segera diikut oleh seorang muda yang sifatnya kasar, dibelakang siapa ada lagi seorang usia pertengahan, umur lima puluh tahun lebih, yang dandan sebagai seorang dagang, tangan kirinya memegang shui-phoa, tangan kanannya menyekal sebatang pit, sedang romannya lucu....

Sin Cie kenali Siau Hui, ia girang berbareng kaget, ia kuatir juga. Ia girang karena datangnya bala-bantuan, melainkan ia belum tahu, bagaimana dengan kepandaiannya dua kawan dari nona An itu. Dilain pihak, ia berkuatir untuk Un Gie dan Ceng Ceng. Dipihak sana, ialah Cio Liang Pay, ada pula Liong Yu Pang, itu artinya ia menghadap dua lawan tangguh. Ia mesti bela diri, ia pun perlu lindungi ibu dan gadisnya. Atau kalau kawan- kawannya Siau Hui lemah sebagai si nona sendiri, ia pun sibuki mereka itu....

Suasana sungguh-sungguh tidak menggembirakan pemuda ini.

Itu waktu dari pihak Cio Liang Pay sudah lantas ada yang maju untuk rintangi Siau Hui, yang mereka tegur.

"Lekas kembalikan emasnya tuan-tuan besarmu!" kata si anak muda yang romannya kasar itu seraya terus saja membungkuk, akan jumput emas dilantai itu.

Sin Cie kerutkan alis mengawasi kesembronoannya.

"Dia begini sembrono, tentu dia tak dapat diharap," pikirnya.

Un Lam Yang lihat orang hendak jumput uang, ia ayun kakinya untuk tendang tangannya si anak muda.

"Cui Suko, awas!" Siau Hui berseru. Ia lihat gerakan si orang she Un itu.

Walaupun ia sembrono, pemuda itu tapinya awas dan sebat. Ia berkelit kesamping, untuk elakkan tendangan, setelah itu sambil merangsak, ia balas menyerang, dengan dua tangan berbareng. Un Lam Yang tidak sudi mengalah, ia keluarkan dua- dua tangannya, untuk menangkis, hingga empat tangan bentrok, setelah mana, keduanya terdampar mundur sendirinya sampai beberapa tindak.

Si anak muda penasaran, ia maju pula.

"Hie Bin, tahan!" berseru kawannya yang mirip saudagar.

Sekarang Sin Cie ingat kepada kawannya Siau Hui, dengan siapa si nona sama-sama mengantar emas itu. Bukankah Siau Hui bilang, sebab ia berpisah dari sang kawan, emas jadi kena disambar Ceng Ceng? Anak muda sembrono itu jadinya ada Giok-bin Kim-kong Cui Hie Bin, keponakan Cui Ciu San. Karena itu, apa mungkin si orang dagang ada toasuhengnya sendiri, Tong-pit Thie-shuiphoa Uy Cin? Maka ia lantas awasi senjata ditangannya orang dagang itu. Itulah sebatang pit yang bergemirlapan, maka tak salah lagi, pit terbuat dari tembaga tulen. Karena ia tidak bersangsi pula, dengan gembira ia maju kepada si orang dagang itu, ia mendekati sambil berlompat, tanpa siasiakan tempo lagi, ia tekuk lututnya sambil manggut.

"Toasuheng, terimalah hormatnya siautee Wan Sin Cie!" katanya.

Saudagar itu ulur kedua tangannya untuk mengangkat bangun, ia awasi anak muda ini, lantas saja ia jadi girang sangat.

"Oh, sutee!" katanya. "Kau masih begini muda? Sungguh tak disangka-sangka olehku kita dapat bertemu disini!"

Siau Hui maju selagi orang bicara.

"Engko Sin Cie, itulah dia Cui Suko!" ia perkenalkan si anak muda sembrono. Sin Cie menoleh pada si anak muda, ia manggut.

Siau Hui lihat bebokongnya pemuda she Wan itu ketempelan rumput kering, ia ulurkan tangannya akan kepriki itu pelahan-lahan. Atas ini Sin Cie bersenyum, tanda terima kasihnya.

Hie Bin lihat kelakuan pemudi dan pemuda itu, ia tak puas.

"Eh, Hie Bin, kenapa kau tidak tahu aturan?" tiba-tiba Uy Cin tegur muridnya itu. "Lekas kau kasi hormat pada susiokmu ini!"

Kembali orang she Cui itu tak puas. Bukankah Sin Cie lebih muda daripadanya? Maka ia menghampirkan dengan tindakan pelahan, dengan ayal-ayalan juga ia hendak paykui.

"Jangan, jangan, tak usah!" Sin Cie lekas-lekas mencegah, ia menghalangi dengan kedua tangannya.

Hie Bin batal berlutut, ia menjura saja. "Siau-susiok!" ia memanggil.

Ia membahasakan "Siau-susiok" atau paman kecil.

"Apa sih siau susiok toa-susiok?" Uy Cin menegur pula. "Biarpun kau terlebih tua, susiok tetap terlebih tua tingkatnya!"

Sin Cie tertawa pada su-tit itu, atau "murid keponakan". "Panggil saja aku siok-siok!" katanya dengan manis. "Siok-siok baik. ?" kata Hie Bin.

Lu Jie Sianseng mesti menonton saja orang menjalankan tata-hormat sutee dengan suheng dan su-tit dengan susiok, kalau tadi dia yang membuat orang tak sabaran, sekarang dialah yang habis sabarnya sendiri. Dia anggap orang

352 seperti tak pandang mata sekali kepadanya. Maka juga kedua matanya lantas mencilak.

"Kamu semua orang-orang apa?" tegur ia dengan jumawa.

Teguran ini membuat orang kaget. Bahwa sekarang ia buka mulut, kiranya ia mempunyai suara yang nyaring sekali, seperti suara burung hantu yang menciutkan nyali. Suara itu pun tajam sekali.

Akan tetapi Hie Bin tidak takut. Dia maju satu tindak. "Emas ini ada emas kami!" kata dia. "Emas ini telah

kena kamu curi! Guruku telah ajak aku kemari untuk

mengambilnya kembali!"

Lu Jie Sianseng tidak segera menjawab, sambil dongak kewuwungan, ia kebul-kebulkan asap huncweenya.

"Hm! Hm!" dia perdengarkan tertawa dingin. Hie Bin mendongkol atas lagak orang itu.

"Sebenarnya emas ini hendak kau pulangkan atau tidak?" ia tegaskan. "Jikalau kau tidak dapat mengambil putusan, hayo titahkan maju orang yang berhaknya!"

Lu Jie Sianseng tertawa dua kali, suara tertawanya pun aneh. Kemudian ia menoleh pada Eng Cay, untuk kata dengan jumawa: "Kau beritahukan bocahh ini, siapa adanya aku!"

Eng Cay turut titah itu.

"Inilah Lu Jie Sianseng yang termashyur namanya!" katanya. "Kau jangan kaget! Kau masih muda sekali, jangan kau tidak tahu adat!"

Tentu sekali Hie Bin tidak kenal Lu Jie Sianseng ini. "Aku tidak perduli entah dia sianseng apa!" katanya dengan mendelu dan sikap memandang enteng. "Kami datang untuk ambil pulang emas kami!"

Tiba-tiba maju pula Un Lam Yang, yang hatinya masih panas.

"Ambil kembali emas? Tak demikian gampang!" ia mengejek. "Jikalau kau ada punya kepandaian, mari layani aku dahulu, Baru kita bicara pula!"

Orang she Un ini menantang, akan tetapi belum dia sampai dapat jawaban, tangannya sudah melayang.

Itulah serangan tidak di-sangka-sangka, maka pundaknya Hie Bin terhajar bogem-mentah. Dia jadi sangat gusar, dia segera menyerang, untuk membalas. Tangan kirinya menyambar cepat sekali. Serangan ini mengenai perut, hingga Lam Yang merasai sakit.

Buat sedetik, kedua mundur, akan saling mengawasi dengan mata mendelik, habis itu, mereka sama-sama maju pula, akan mulai bertempur.

Segera juga terdengar suara dakduk atau bakbuk beberapa kali. Itulah suara dari kepalan yang mampir dikepala atau tubuh masing-masing. Mereka berkelahi dengan sengit sekali, sampai mereka alpa dengan pembelaan diri, dari itu, kepalan masing-masing dapat mengenai sasarannya.

Sin Cie saksikan perkelahian itu, diam-diam ia menghela napas.

"Kenapa muridnya Toasuheng begini tak punya guna?" pikir dia. "Jikalau dia hadapi musuh tangguh, dengan satu dua tonjokan saja dia tentu sudah tak tahan...Apakah mungkin Cui Siokhu juga tidak pernah berikan dia suatu pengunjukan?" Hie Bin itu jujur, cuma adatnya keras dan semberono, karena itu, biarnya dia belajar silat, perhatiannya kurang. Dua bagian saja dari kepandaiannya Uy Cin, belum ia dapatkan. Cuma karena bertubuh kuat yang membikin ia sanggup pertahankan diri dari beberapa tonjokan. Tetapi ia berkelahi dengan hebat.

Kemudian datanglah saatnya pertempuran berakhir. Dengan kepalan kanan, Hie Bin mengancam. Lam Yang berkelit kekanan. Dengan cepat luar biasa, tangan kiri Hie Bin menyambar. Serangan ini tidak dapat dielakkan Lam Yang, dia kena dihajar keras, menyusul suara tonjokan, tubuhnya yang besar rubuh terbanting, hingga dia pingsan.

Kemenangan ini membikin Hie Bin girang sekali, dengan bangga ia menoleh kearah gurunya, ia harap gurunya nanti puji padanya. Diluar harapan, ia dapati sang guru merah wajahnya karena murka, hingga ia jadi heran.

"Aku menang, kenapa suhu gusari aku?" pikir dia.

Siau Hui hampirkan kakak seperguruan itu, muka siapa bengap dan kuping kanannya berdarah, dengan sapu tangannya, dia menyusuti.

"Kenapa kau tidak kelit sesuatu pukulannya?" nona ini kata dengan pelahan. "Kenapa kau melawan dengan keras saja?"

"Untuk apa berkelit?" Hie Bin jawab. "Dengan main berkelit, tidak nanti aku berhasil menghajar dia!"

Posting Komentar