"Habis itu, dia kembali serang ayah."
"Ketika itu muka ayah telah jadi pucat hingga seperti tak ada darahnya, terang ia kaget dan jeri karena dapatkan dua kawannya yang liehay telah dibinasakan dengan cepat. Ayah menangkis secara sembarangan. Tidak lagi ayah bisa mainkan tongkatnya dengan sempurna. "Aku lantas lari keluar gua."
"Tahan! Tahan!" aku berseru berulang-ulang. "Mendengar teriakan aku, dia berhenti menyerang." "Inilah ayahku," aku perkenalkan dia kepada ayah.
Dia pandang ayah dengan mata bengis. "Kau pergi, aku kasi ampun padamu!" ia kata pada ayah.
"Ayah tercengang, lalu ia putar tubuhnya, untuk pergi." "Itu hari, seantero hari aku belum dahar, tubuhku lemas,
ditambah dengan kaget karena menyaksikan pertempuran
hebat itu, dan berbareng aku girang sekali karena ayah dikasih ampun, mendadak aku rubuh sendiri."
"Dia lihat aku rubuh, segera ia lompat untuk kasih bangun padaku. Aku tidak pingsan, selagi ia membungkuk, aku lihat ayah mengawasi dengan mata bersinar bengis. Tiba-tiba ayah ayun tongkatnya dipakai mengemplang bebokongnya. Tentu sekali dia tidak menyangka, karena perhatiannya ada padaku, yang dia hendak tolongi. Aku kaget, aku berseru:" Awas!"
"Dia pun kaget, segera dia putar tubuh. Akan tetapi tongkat sudah sampai, bebokongnya kena terhajar. Syukur untuk dia, dia telah berkelit, serangan itu tidak parah. Sambil putar tubuh, tangannya menyambar menyekal tongkat, yang dia dapat rampas, setelah mana, tongkat itu dilempar kelembah. Dia tidak berhenti sampai disitu, sambil merangsak, dia serang ayah, dengan kedua tangannya."
"Ayah gugup. Rupanya ia menyesal karena serangannya gagal dan ia kaget tongkatnya kena dirampas. Ketika serangan datang, ia putus asa, bukannya ia berkelit atau menangkis, ia justru berdiam seraya tutup kedua matanya. "Dengan mendadak saja, dia tarik pulang serangannya. Dia menoleh kepadaku,lantas dia menghela napas. Kemudian dia pandang ayah dan kata : "Lekas kau pergi, jangan tunggu sampai pikiranku berubah, nanti kau tak dapat ampun lagi!"
"Sampai disitu, tanpa bilang apa juga, ayah putar tubuhnya, akan angkat kaki sambil berlari-lari."
"Dia awasi ayah pergi, lantas dia menoleh kepadaku. Tiba-tiba ia muntahkan darah, darahnya menyemprot kebajuku..."
Ceng Ceng terkejut, hingga ia keluarkan seruan tertahan. Kemudian : "Sam yaya tak tahu malu!" katanya. "Depan berdepan dia tidak berani lawan musuh, dia membokong dengan tangannya yang jahat!"
Un Gie menghela napas.
"Sebenarnya dia adalah musuh kita," katanya, melanjuti. "Dia pun telah binasakan beberapa puluh orang dari keluarga kita. Akan tetapi melihat dia dibokong, tak dapat aku diam saja, makanya aku sudah berseru. Mungkin ini yang dinamakan takdir celaka. Habis itu dengan sempoyongan, dia bertindak kedalam gua, lantas dia ambil obatnya untuk terus dimakan. Masih beberapa kali ia muntahkan darah. Aku kaget dan berkuatir, sehingga aku menangis sendiri."
"Dia terluka akan tetapi dia gembira." "Kenapa kau menangis?" dia tanya aku. "Sebab kau terluka parah," jawabku.
Dia tertawa.
"Jadi kau menangis untukku?" tanyanya pula.
"Aku berdiam aku tidak menjawab. Tetap aku berduka."
"Sebentar kemudian, dia kata padaku: "Sejak semua anggauta keluargaku dibunuh oleh pamanmu yang keenam, sejak itu sudah tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian atas diriku, yang menyayangi aku. Hari ini aku telah bunuh lagi satu kandamu cintong, maka itu sama sekali sudah berjumlah empat-puluh orang yang aku binasakan. Sebenarnya masih ada sepuluh orang lagi, yang mesti jadi korban pembalasanku, akan tetapi sekarang, memandang kepada airmatamu, aku janji aku akan hentikan pembunuhan terlebih jauh. Nyata masih ada kau seorang yang memperhatikan aku."
"Aku menangis saja, aku tidak jawab dia."
"Juga orang-orang perempuan keluargamu, sejak hari ini aku tidak akan ganggu pula," demikian dia kata lagi. "Kau tunggu sampai lukaku ini sudah sembuh, aku nanti antar kau pulang..."
"Masih aku berdiam, tak tahu aku apa perasaanku saat itu. Aku cuma merasa lega yang dia telah berjanji untuk hentikan pembunuhan-pembunuhan terlebih jauh."
"Sjak itu selanjutnya, beberapa hari, akulah yang masak nasi dan masak air, dengan sungguh-sungguh aku rawati dia," Un Gie cerita lebih jauh. "Pada suatu hari, dia pingsan, terus selama satu hari, dia tak sadar akan dirinya. Aku jadi berkuatir, aku kuatir dia bakal tak ketolongan. Aku lantas menangis, menangis saja, sampai kedua mataku pada merah dan bengul. Selagi aku menangis, sekonyong- konyong dia buka matanya, dia tertawa."
"Tidak apa, tak nanti aku mati," katanya.
"Selang lagi dua hari, benar-benar kesehatannya mulai pulih. Dia bisa bangun dan jalan-jalan. Itu malam dia beritahukan aku, sebetulnya luka bekas bokongan ayah ada hebat sekali, akan tetapi ia tertolong obat dan kuat hatinya.
323 Dia bilang, asal dia mati, aku pun bakal mati kelaparan. Seorang diri, pasti aku tidak bisa berlalu dari gua itu, dilain pihak, tidak ada orang dari rumahku yang berani datang menyatroni., kalau tidak, selama itu tentulah sudah ada datang orang, entah siapa. Aku anggap dia omong dari hal yang benar."
"Ibu," Ceng Ceng kata," dia berlaku baik sekali kepadamu, dia ada orang baik."
Setelah mengucap demikian, nona ini menoleh pada Sin Cie.
Anak muda ini merasakan mukanya panas, ia melengos kelain arah.
"Dengan pelahan-lahan kesehatannya maju terus," Un Gie mulai pula. "Selama itu, suka sekali dia bicara dengan aku tentang masanya kanak-kanak. Dia bilang bagaimana ayahnya, ibunya,s angat sayang dia, bagaimana kedua engkonya, encienya, sangat menyinta dia. Katanya pernah satu kali dia jatuh sakit sampai ibunya tidak tidur tiga hari tiga malam. Akan tetapi pada suatu malam, liok-siokhu telah bunuh ibunya itu, ayahnya, saudara-saudaranya!"
"Diluar aku lihat dia kejam dan telengas, akan tetapi bicara tentang kekeluargaannya, nyata ia ada berbatin baik, halus martabatnya. Begitulah ia perlihatkan aku sepotong oto merah yang tersulam indah. Dia kata, itulah oto sulaman ibunya sendiri ketika dia masuk umur satu tahun..."
Selagi mengucap demikian, Un Gie rogo sakunya dari mana ia keluarkan oto yang ia omongi itu, yang ia letaki diatas meja.
Sin Cie lihat oto itu tersulam satu bayi montok tanpa pakaian, wajahnya manis dan sangat menyenangi. Sulamannya sendiri benar-benar indah. Tiba-tiba ia terharu sendirinya. Ia jadi ingat, sejak masih sangat kecil, ia sudah tidak punya ayah dan ibu....
"Sering-sering dia nyanyikan lagu pegunungan untuk aku dengari," kembali Un Gie melanjuti. "Diwaktu senggangnya, dia ambil kayu untuk dibikin menjadi barang- barang permainan untukku. Dia kata aku adalah satu bocah yang tak mengerti apa-apa. "
"Akhir-akhirnya dia sembuh seluruhnya. Akan tetapi, walaupun sudah sembuh, aku lihat dia tidak punya kegembiraan. Aku jadi heran. Pada suatu hari, aku tanyakan sebabnya. Jawabannya mengherankan aku. Dia bilang dia merasa tidak tegah meninggalkan aku."
"Kalau begitu baiklah aku berdiam terus disini menemani kau!" kataku tanpa berpikir lagi.
"Mendengar perkataanku itu, dia jadi girang bukan main. Dia pergi kepuncak, dia loncat naik turun disebuah pohon kayu besar, dia berjingkrakan, dia jumpalitan bagaikan kera. Kemudian dia beritahukan aku, dia telah dapatkan selembar peta dari suatu tempat dimana ada disimpan banyak emas dan barang permata. Katanya ketika dulu Pangeran Yan Ong rampas tahta-kerajaan, dari Pakkhia ia menerjang ke Lamkhia, Baginda Kian Bun kabur dari kota raja, sebelum kabur, raja itu telah pendam harta besarnya disuatu tempat rahasia. Setelah naik tachta, Yan Ong coba cari harta itu diseluruh kota Lamkhia, tidak ada hasilnya. Kemudian Yan Ong utus Sam Po Thaykam beberapa kali berlayar mengarungi samudera, ke Selatan, katanya untuk membuat penyelidikan dimana kaisar Kian Bun bersembunyi, tapi sebenarnya guna cari harta itu."
Diam-diam Sin Cie manggut-manggut sendirinya. "Jadi itulah peta yang aku dapatkan dalam kitab Kim Coa Pit Kip," pikirnya. "Itu jadi ada peta yang melukiskan tempat rahasia itu..."
"Dia ceritakan padaku bahwa seumur hidupnya Kaisar Beng Seng Cou tetap tak dapat cari peta itu - adalah setelah berselang beberapa ratus tahun, secara kebetulan saja, dialah yang mendapatinya. Setelah sekarang dia sudah puas menuntut balas, dia hendak mulai cari harta karun itu. Dia janji, begitu lekas dia berhasil mendapati harta besar itu, dia bakal kembali untuk sambut aku. Maka itu, katanya, sekarang dia hendak antarkan aku pulang."
Nyonya ini berhenti sebnetar, ketika sesaat kemudian ia melanjuti, ia ada sengit sekali. Dia kata : "Ketika aku sampai dirumah, semua orang pandang hina kepadaku. Aku jadi mendongkol dan gusar sekali. Aku sebal terhadap mereka.Mereka tidak punya kemampuan untuk melindungi satu gadis keluarganya, setelah aku pulang dengan tubuh putih-bersih, mereka perhina aku. Maka itu selanjutnya aku tidak perdulikan mereka, tak suka aku bicara dengan mereka itu!"
"Ibu, kau berbuat benar!" kata Ceng Ceng.
"Setelah tiga bulan aku berada dirumah, selama mana aku harap-harap dia," bercerita pula Un Gie. "Pada suatu malam aku dengar suara nyanyian lagu pegunungan diluar jendela kamarku. Aku kenali baik sekali suara nyanyian itu. Dia datang! Lekas-lekas aku buka jendela, aku kasih dia masuk. Pertemuan ini ada sangat menggirangkan aku, dan malam itu, kami berdua lantas hidup sebagai suami-isteri, hingga kemudian, anak, terlahirlah kau. Perangkapan
jodoh itu telah terjadi karena keinginanku sendiri, sampai sekarang aku tidak menyesal karenanya. Orang bilang dia perkosa aku, itulah tidak benar! Ceng Ceng, selama sekian lama itu ayahmu tetap perlakukan baik padaku, kami
326 berdua sangat saling menyinta. Selama itu dia selalu hormati aku, belum pernah dia paksa aku."
Diam-diam Sin Cie puji keberaniannya nyonya ini. Ia pun terharu untuk dengar riwayat percintaan yang demikian sulit.
"Rupa-rupanya, dengan kedatangannya ini, Hee locianpwee telah dapatkan tempat rahasia dari harta besar itu," kata Sin Cie.
Nyonya itu manggut.
"Dia bilang dia masih belum dapat cari," sahutnya. "Akan tetapi dia kata dia sudah dapatkan endusan hingga dia merasa, segera dia akan dapat mencarinya. Maka itu kami telah berdamai untuk dihari kedua, pagi-pagi, pergi minggat. Diluar tahu kami, pembicaraan kami itu ada yang curi dengar. Besoknya fajar sebelum terang tanah, aku sudah lantas siapkan pakaianku. Aku pun telah tinggalkan sepotong surat untuk ayah. Disaat kami hendak berangkat, tiba-tiba ada orang ketok pintu kamarku. Pasti sekali aku kaget dan takut.
"Jangan kuatir," dia kata padaku," biar dalam kepungan satu pasukan perang, kita kaan dapat noblos keluar!"