"Aku hendak nyanyikan satu lagu, apa kau suka dengar?" dia kata padaku.
"Aku tidak suka dengar," aku jawab dia.
Dengan tiba-tiba dia kegirangan hingga dia lompat berjingkrakan.
"Aku sangka kau gagu, kiranya kau bisa bicara!" katanya gembira.
"Diluar keinginannku, aku tertawa. Aku anggap lucu yang dia sangka aku tidak bisa bicara. Kemudian secara mendamprat, aku kata padanya: "Siapa yang gagu? Bertemu sama orang jahat, aku memang tidak sudi bicara!"
"Dia tidak layani aku bicara, sebaliknya dengan suara muluk, dia nyanyikan satu lagu pegunungan. Dia nyanyi terus, sampai lanjut malam, hingga sang rembulan muncul dengan keindahannya. Masih saja dia bernyanyi. Seumurku, aku hidup terkurung didalam rumah, mana pernah aku dengar nyanyian semacam itu? Itulah nyanyian percintaan diantara orang-orang lelaki dan perempuan. "
"Kau tidak sudi dengarkan tapi toh kau dengari, bukan?" mendadakan Un Lam Yang campur bicara. "Siapa mempunyai kesabaran akan dengarkan cerita burukmu ini?"
Lantas dia bertindak keluar paseban, tindakannya lebar. "Tentu dia pergi untuk mengadu pada yaya semua," kata
Ceng Ceng.
"Biar saja, aku tidak takut!" sahut Un Gie.
"Kalau begitu,ibu, hayo lanjuti ceritamu," sang puteri minta. "Kemudian lagi, dengan lapat-lapat aku ketiduran sendiri," Un Gie melanjuti. "Besoknya pagi aku mendusi, aku tidak lihat dia. Aku lantas memikir untuk minggat. Tapi setelah aku melongok kemulut gua, aku putus asa. Gua itu berada dipuncak bukit, disebuah lamping, diempat penjurunya, tidak ada jalanan untuk turun. Cuma orang- orang sebagai dia, yang sempurna ilmu silatnya dan bisa ilmu mengentengkan tubuh, bisa naik dan turun dengan merdeka.
"Kira-kira tengah-hari, dia pulang. Dia bawakan aku banyak barang perhiasan, yancie dan pupur. Aku tidak inginkan itu, aku jumput, aku lemparkan kedalam jurang. Dia tidak gusar, malah dia gembira sekali."
"Kapan sang malam sampai, kembali dia bernyanyi untukku."
"Dilain harinya, dia pergi untuk kembali dengan bawakan aku banyak barang mainan, antaranya anak ayam yang berciap-ciap dan anak kucing yang mengeong-ngeong, juga anak burung dan anak kura-kura yang merayap pergi- datang. Tentu saja tak tega aku akan lemparkan semua binatang itu kedalam jurang. Dia rupanya ketahui perasaanku itu. Maka hari itu, terus seantero hari, dia temani aku memain dengan keempat binatang itu, yang kita pun kasih makan. Malamnya, kembali dia nyanyi untuk aku dengari."
Melihat yang dia tidak niat ganggu aku, aku menjadi sedikit lega, hingga aku jadi suka juga dahar. Hanya sampai lebih dari satu bulan, tetap aku tidak suka bicara dengannya. Meskipun demikian rupa sikapku terhadapnya, tidak pernah dia hunjuk kegusarannya, terus-menerus dia bersikap lemah-lembut terhadapku. Sekalipun ayah dan ibuku belum pernah berlaku baik sebagai dia terhadap aku." "Adalah pada suatu hari ketika dengan sekonyong- konyong datang perubahan atas dirinya. Dengan tiba-tiba saja dia awasi aku dengan rupa bengis dan sikap mengancam, hingga aku jadi ketakutan, hingga aku menangis."
"Dia awasi aku sekian lama, lantas ia menghela napas sendirinya.
"Sudah, jangan nangis," dia bujuk aku akhirnya.
"Pada malam itu aku pergoki dia menangis seorang diri, suaranya pelahan sekali, akan tetapi aku tahu, dia menangis dengan sangat sedih. Dia menangis diluar gua. Apamau, malam itu turun hujan.
Dia tidak mau masuk kendati juga hujan turun dengan lebat. Aku jadi tidak tega.
"Mari masuk," aku kata padanya. Dia tidak perdulikan ajakanku itu.
"Kenapa kau menangis?" aku tanya pula.
"Secara mendadak saja dia menyahuti, dengan bengis : "Besok adalah hari ulang setahun dari matinya ayah, ibu, encie dan kedua kandaku! Dalam itu satu hari saja, seluruh keluargaku musnah terbinasa dalam tangannya seorang dari keluargamu! Maka besok aku mesti bunuh lagi orang keluargamu, sedikitnya mesti satu jiwa! Sekarang ini rumahmu dijaga sangat keras dan kuat! Keluargamu sudah minta bantuannya Lie Cwee Toojin dari Ngo Bie Pay dan Ceng Beng Siansu dari Siau Lim Pay! Tapi aku tidak takut!"
"Habis mengucap demikian, dia lantas pergi. Dia pergi sampai magrib dihari yang kedua, masih dia belum kembali. Tanpa merasa aku jadi senantiasa ingat dia. Diam- diam aku meng-harap-harap pulangnya dia." Diam-diam Ceng Ceng lirik Sin Cie, akan lihat orang memandang hina atau tidak kepada ibunya itu,akan tetapi ia dapati pemuda itu duduk dengan tetap tenang dan perhatiannya sangat tertarik. Menampak demikian, diam- diam ia merasa girang.
Un Gie melanjuti :
"Selagi cuaca mulai menjadi gelap, dia masih belum kembali juga. Dua-tiga kali aku telah melongok kemulut gua. Ketika untuk keempat kalinya aku melongok pula, aku tampak tubuh empat orang diatas puncak, kelihatannya bagaikan bajangan saja. Mereka itu sedang saling kejar."
"Aku coba mengawasi dengan teliti, maka akhirnya, dengan samar-samar, bisa juga aku mengenalinya. Orang yang terdepan adalah dia, lalu satu imam, disusul sama satu pendeta yang menyekal sebatang sian-thung, tongkat yang panjang sebagai toya. Orang yang keempat ada ayah dengan senjatanya yang istimewa, tongkat berkepala naga- nagaan. Dia sendiri cekal pedang Kim Coa Kiam. Sendirian saja dia layani tiga lawan, nampaknya dia terancam bahaya. Sebab sesampainya dipuncak itu, mereka lantas bertempur."
"Sekarang aku dapat melihat terlebih tegas. Pendeta yang bersenjatakan tongkat itu liehay sekali, ia dapat mendesak, akan akhirnya mengemplang dengan tongkatnya itu. Aku kaget hingga aku menjerit, sebab aku lihat dia telah sangat terdesak, aku kuatir dia tak dapat menghalau bahaya. Tapi dengan pedangnya, dia bisa menangkis, malah tangkisa itu membuat sapat ujungnya tongkat."
"Ayah dapat dengar jeritanku, ia menoleh kearah aku, lantas ia tidak berkelahi lebih lama, ia berlari-lari menuju aku." "Menampak sikap ayah, dia jadi sibuk sekali. Dia desak kedua lawannya, itu imam dan pendeta, lantas dia tinggalkan, untuk dia susul ayah. Karena ini, dia pun dikejar kedua orang beribadat itu."
"Tidak lama sampailah mereka dilembah dimana dia telah dapat mencandak ayah, untuk cegah ayah mendekati aku, dia serang ayah, hingga kembali mereka berdua jadi bertempur. Baru beberapa jurus, si imam dan si pendeta pun sudah datang, diaorang lalu mengepung pula padanya."
"Ayah lantas gunai ketika untuk menyingkir dari pertempuran itu, untuk ia ber-lari-lari pula kearah aku. Selama itu, mereka telah mendatangi aku semakin dekat. Aku girang sekali.
"Ayah, lekas!" aku teriaki ayahku.
"Sebagai orang kalap, dia desak kedua lawannya, lalu dia lari akan susul ayah. Dia berhasil dia serang ayah dengan hebat, hingga ayah terdesak mundur. Sebentar saja, ayah jadi terancam bahaya.
"Selagi aku berpikir untuk lari kepada ayah, untuk tolongi dia, si imam dan si pendeta sudah menyusul pula, maka kembali mereka bertempur pula."
"Eh, Gie, bagaimana dengan kau?" ayah teriaki aku. "Aku tidak kurang suatu apa, ayah, jangan kuatir," aku
jawab.
"Baik!" ayah bilang. "Nanti aku bereskan dahulu ini kancat!"
Bertiga mereka kepung pula dia.
"Kim Coa Long Kun," terdengar suaranya si imam dari Ngo Bie Pay," aku hendak bicara denganmu supaya kau mengerti. Kami dari Ngo Bie Pay tidak bermusuh denganmu, kita tidak punya sangkutan apa juga, tapi sekarang aku telah campur tahu urusanmu, ini melulu disebabkan perbuatanmu keterlaluan. Aku janji akan tidak bantu siapa juga asal kau suka hentikan permusuhan, supaya selanjutnya kau tidak satroni pula keluarga Un. Aku ingin supaya urusan diselesaikan mulai hari ini."
"Sambil kertak gigi, aku dengar dia menjawab:
"Habis, apa aku tidak boleh balas sakit hatinya ayah dan ibuku, encie dan kanda-kandaku?" demikian tanyanya.
"Kau sudah binasakan banyak jiwa, aku anggap pantaslah kau merasa puas," kata si imam. "Aku minta, dengan memandang mukaku, sukalah kamu kedua pihak habiskan persengketaan ini."
"Tapi dia tidak menjawab, malah dengan tiba-tiba dia serang si pendeta. Karena ini, lagi-lagi mereka jadi bertempur."
"Senjatanya si imam ada liehay, imamnya sendiri berilmu silat tinggi. Disamping dia, tongkatnya si pendeta perdengarkan suara angina men-deru-deru. Tongkat itu masih bisa digunai dengan sempurna walaupun ujungnya sudah terkutung."
"Aku lihat dia terancam. Dia mandi keringat. Dia terdesak. Tiba-tiba aku tampak dia sempoyongan, hampir- hampir dia rubuh terguling. Justru itu, tongkatnya si pendeta menyambar. Masih dia bisa luputkan diri dari bahaya dengan berkelit miring."
"Justru karena dia berkelit, dia dapat lihat mukaku. Menurut keterangannya belakangan, hari itu dia sudah sangat letih, urat-uratnya lemas semua. Akan tetapi kapan dia dapat lihat aku, dan dia dapat perasaan aku sangat memperhatikan padanya, tiba-tiba bangkitlah semangatnya, tenaganya jadi kumpul pula. Maka ketika dia bikin perlawanan lebih jauh, Kim-coa-kiam jadi sangat berbahaya."
"Nona Un, jangan takut!" dia serukan aku. "Kau lihat!" "Entah bagaimana dia telah gunai senjatanya, mendadak
terdengar si pendeta keluarkan jeritan yang menyeramkan,
tubuhnya rubuh, lalu bergelundungan kebawah. Kemudian ternyata, batok kepalanya yang gundul telah tertancap bor Kim-coa-cui."
"Ayah dan si imam jadi kaget."
"Segera datang saatnya dia serang ayah. Gunai ketika yang baik, si imam membokong dari belakang. Tapi dia tidak kena ditikam bebokongnya. Dalam ancaman bahaya itu, ia mendahulukan memutar tubuh, sambil berkelit, tangan kirinya diulur, dua jarinya menusuk kedua matanya si penyerang. Sambil berbuat demikian, dia berseru keras."
"Imam itu terkejut, lekas-lekas ia tunduk, untuk selamatkan diri dari totokan itu kearah mata. Selagi ia tunduk, lengan kanannya telah menyambar. Itulah lengan yang menyekal pedang. Tidak ampun lagi, tubuh si imam terbabat pedang, sehingga dengan satu jeritan mengerikan, dia rubuh binasa."
Ceng Ceng berseru mendengar cerita ibunya itu. Ia kagum.