Pedang Ular Mas Chapter 45

NIC

"Coba bilang, dia kejam atau tidak?" kemudian Un Lam Yang mulai lagi, dengan pertanyaannya. "Sebenarnya sudah cukup dia bunuh lioksiokhu, maka apa perlunya dia bungkus mayatnya dan dikirim pulang secara demikian?"

"Kau tidak hendak sebutkan sebabnya kenapa dia berbuat demikian!" Un Gie sahuti kakak itu.

"Hm, kau tentunya anggap harus demikian," Lam Yang balas.

Un Gie memandang kelangit yang luas akan lihat bintang-bintang, agaknya ia tersemsem. Kemudian, sembari memandang puterinya, ia kata dengan pelahan : "Ketika itu, Ceng Ceng, aku berusia lebih tua satu tahun daripadamu sekarang ini. Akan tetapi aku masih bersifat seperti kanak- kanak, apa juga aku tak mengerti. Dirumah ini, semua mamak dan paman, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan. Aku tidak sukai mereka itu. Melihat mayat liok- siokhu, aku tidak berduka. Inilah aku bicara terus-terang. Aku melainkan heran, dia yang ilmu silatnya liehay, cara bagaimana dia kena dibinasakan! Aku umpatkan diri dibelakang ibu, aku tidak berani mengucap apa-apa. Kemudian adalah toapehhu yang membuka surat, untuk dibacakan dengan nyaring. Dua-puluh tahun sudah lewat tetapi aku masih dapat bayangi kejadian malam itu, toapehhu gusar hingga mukanya pucat, hingga suaranya menggetar. Aku ingat, beginilah dia membaca : "Kepada yang terhormat, Tujuh saudara Un dari Cio Liang Pay! Aku kirimkan bersama ini satu mayat lengkap, harap kamu suka terima dengan gembira.

Orang ini sudah perkosa encie kandungku, habis itu dia bunuh encieku itu, kemudian lagi, dia juga binasakan ayah, ibu dan dua saudara tuaku, hingga semua lima anggauta dari keluargaku mati terbunuh ditangannya! Melainkan aku sebatang kara yang bisa kabur meloloskan diri dari ancaman malapetaka hebat itu, untuk terus berkelana. Baru sekarang aku pulang, untuk menuntut balas! Hutang darah itu mesti ditebus sepuluh lipat, dengan cara demikian Barulah aku bisa puaskan hatiku. Aku mesti bisa bunuh lima-puluh jiwa anggauta keluargamu yang lelaki dan perkosa sepuluh anggauta perempuan ! Jikalau jumlah ini tak dapat aku penuhkan, aku sumpah tak mau aku menjadi manusia! Hormatnya Kim Coa Long-kun Hee Soat Gie."

Habis membaca, Un Gie menghela napas lega.

"Engko Lam Yang, benar atau tidak liok-siokhu, telah bunuh semua anggauta keluarganya?" dia tanya Lam Yang.

Orang yang ditanya manggut.

"Kami ada bangsa laki-laki, kami sudah masuk Jalan Hitam," jawabnya dengan bangga," maka untuk kami, merampas harta-benda, membunuh orang dan membakar rumah adalah pekerjaan biasa! Liok-siokhu lihat wanita cantik, dengan jalan perkosa dia masih tak dapatkan maksudnya, kalau karenanya dia cabut golok dan membunuhnya, itu mungkin terjadi."

Un Gie menarik napas panjang.

"Kamu orang-orang lagi, diluaran kamu sudah lakukan kedosaan besar, kita orang-orang perempuan didalam rumah, mana kita dapat tahu? " "Sesudah baca surat itu, toapehhu tertawa berkakakan," demikian Un Lam Yang mulai pula dengan ceritanya. "Dia kata :" Dia hendak datang kemari, itulah bagus! Kalau tidak, kita mesti pergi cari dia! Kalau dia umpatkan diri, kemana kita mencarinya?"

"Walaupun toapehhu bilang demikian, ia tapinya berlaku teliti. Sejak malam itu, penjagaan diperkeras. Malah dua orang segera diutus ke Kim-hoa dan Giam-ciu untuk panggil pulang cit-siokhu dan pat-siokhu."

Sin Cie heran.

"He, kenapa mereka bersaudara sedemikian banyak?" pikirnya.

"Ibu," Ceng Ceng juga tanya," kiranya kami masih punyakan Cit-yaya dan Pat-yaya? Kenapa aku tidak tahu?..."

"Mereka adalah saudara cintong dari yayamu," terangkan Un Gie. "Memang, mereka itu tidak tinggal disini."

"Cit-siokhu tinggal di Kim-hoa, pat-siokhu di Giamciu," kata Lam Yang. "Mereka ada keluarga kita tetapi orang luar jarang yang ketahui. Akan tetapi Kim Coa Long-kun benar liehay. Begitu lekas cit-siokhu dan pat-siokhu berangkat menuju kemari, ditengah jalan mereka dipegat dan dibinasakan oleh dia. Dia sungguh seperti malaikat muncul dan hantu selam, entah kapan terjadinya, pada suatu malam dia telah masuk kedalam rumah kita, dia telah curi lima-puluh batang ciam yang kita biasa pakai diwaktu pungut panen. Setiap kali dia bunuh satu orang kita, ditubuh korbannya itu dia tancap sebatang ciam. Rupanya dia hendak wujudkan sumpahnya, sebelum dia binasakan lima-puluh orang kita, dia tidak mau berhenti. " "Dirumah kita ini sama sekali ada seratus orang lebih, cara bagaimana tak mampu kita melawan dia?" tanya Ceng Ceng. "Dia berjumlah berapa banyak orang?"

"Dia bersendirian saja," sahut Un Lam Yang. "Kancat itu belum pernah berani perlihatkan diri, kita juga tidak tahu dimana dia sembunyikan diri. Terang dia menantikan,asal ada orang kita yang mencil sendirian, lantas dia bunuh mati. Ayah jadi gusar berbareng sibuk, sampai ayah undang belasan orang Kangouw datang ke Cio-liang ini, untuk setiap hari atau malam berpesta besar disini, guna tunggui kancat itu. Diluaran juga kita sudah tempelkan surat-surat pengumuman, akan tantang dia secara berterang, untuk satu pertempuran yang memutuskan. Akan tetapi tak mau dia terima tantangan kita itu. Melihat kita berjumlah banyak, dia tidak pernah datang-datangpula. Maka itu, selang setengah tahun, sahabat-sahabat kangouw itu pada pamitan pulang satu demi satu. Tapi, begitu lekas rumah kita sepi, engkoh yang ketiga dari kamar kedua dan adik lelaki kesembilan dari kamar kelima telah kedapatan mati tenggelam didalam empang, pada tubuh mereka tertancap masing-masing sebatang ciam. Nyata sekali, kancat itu pandai sekali mengatasi diri, ia bisa menanti dengan sabar sampai berbulan-bulan, akan datang pula disaat pilihannya. Sejak itu beruntun selama sepuluh hari, setiap harinya ada saja orang kita yang binasa sebagai korbannya, sampai di Cio- liang ini, tukang-tukang peti-mati kehabisan peti untuk merawat korban-korban itu, hingga kita mesti pergi beli peti dikota Kie-ciu. Tentu saja, terhadap orang luar, kita siarkan berita bahwa kita terganggu iblis jahat dan penyakit hebat. Adik Gie, kau tentunya masih ingat baik-baik itu hari-hari yang menggiriskan?" "Ketika itu, seluruh desa pun gempar saking ketal," Un Gie jawab. "Rumah kita telah dijaga dan dirondai setiap siang dan malam, malah ayah bersama semua yaya meronda juga dengan bergiliran, sedang semua orang perempuan dan anak-anak pada sembunyikan diri didalam rumah, tidak ada yang berani keluar dari pintu hek sekalipun satu tindak."

"Walaupun demikian," menyambung Lam Yang dengan gigi bercatrukan," kedua enso dari kamar keempat, pada suatu malam lenyap dua-duanya, diculik diluar tahu kita. Kita sudah menduga, mereka itu tentu bakal terbinasa ditangan si kancat, siapa tahu selang satu bulan lebih, kedua enso itu telah berkirim surat dari Yangciu dalam mana mereka memberi tahu bahwa oleh si kancat mereka sudah dijual dirumah hina dimana mereka dipaksa mesti melayani tetamu-tetamu lelaki selama satu bulan. Su-yaya menjadi demikian mendongkol, sehingga ia rubuh pingsan. Tidak bisa lain, terpaksa kita kirim orang dan uang ke Yangciu untuk tebus kedua enso itu..."

Sin Cie bergidik sendirinya.

"Hebat pembalasannya Kim Coa Long-kun," pikir ia. "Memang ia harus balaskan sakit hati ayah, ibu, encie dan kedua engkohnya, akan tetapi setelah musuh besarnya sudah terbinasa, sikap selanjutnya ini rada keterlaluan..."

Pemuda ini goyang-goyang kepala.

"Yang paling hebat," menyambung pula Un Lam Yang," setiap perajaan Toan-ngo, Tiong Ciu dan penutup tahun, dia tentu-tentu kirimkan kami sepucuk surat berikut sepotong surat perhitungan dalam mana dia peringati bahwa kami masih berhutang beberapa jiwa lelaki dan beberapa orang perempuan. Cio Liang Pay telah malang- melintang di Kanglam beberapa puluh tahun lamanya, sekarang mereka dipermainkan secara begini rupa oleh dia satu orang, bagaimana kami tidak berduka dan lelah? Mau kita menuntut balas, akan tetapi musuh sangat licin dan gagah. Ayah dan beberapa paman pernah tempur dia secara perseorangan, semuanya bukan tandingan dia itu. Maka juga pihak kami jadi putus asa, kita cuma bisa ambil putusan akan bela diri secara beramai-ramai. Asal kita menjaga dengan keras, dia tidak pernah muncul, sampai bulanan pun tidak. Kalau kita alpa, lantas dia muncul dan bekerja. Demikian selama dua tahun, besar dan kecil, sama sekali dia telah binasakan tigapuluh delapan jiwa. Ceng Ceng, hayo bilang, pantas atau tidak kita benci dia?"

"Kemudian bagaimana?" tanya si nona, yang tidak jawab pertanyaan mamak itu.

"Baik ibumu saja yang melanjuti," sahut sang mamak dengan lesu.

Sampai disitu, Un Gie awasi Sin Cie, wajahnya berduka.

"Wan siangkong," katanya dengan pelahan," kau telah rawat jenasah dia, maka sekarang, apa jua boleh aku tak usah sembunyikan kepadamu. Hanya aku minta sebentar, tolong kau tuturkan aku perihal meninggalnya dia itu, supaya kita ibu dan anak mendapat tahu, dengan begitu. "

Nyonya ini tidak bisa bicara terus, ia menangis sesenggukan, sehingga ia mesti menunda beberapa detik untuk legakan hati.

"Ketika itu aku tidak tahu kenapa dia demikian kejam, malah aku tidak ingin mengetahuinya," kemudian nyonya Hee ini mulai dengan keterangannya. "Ayah larang aku keluar dari pekarangan rumah walaupun setindak juga, aku jadi sangat masgul. Maka itu setiap hari aku cuma bisa memain didalam taman. Malah ayah bilang, tanpa ada beberapa engko yang temani, siang pun orang perempuan dilarang berkeliaran didalam pekarangan."

"Dalam bulan ketiga, selagi bunga-bunga mekar indah dan harum baunya, ingin aku pergi kebukit untuk tengok pohon-pohon bungaku, apamau disebabkan sepak terjangnya Kim Coa Long-kun itu, tak dapat aku puasi hatiku, aku mesti dikeram didalam rumah. Pernah aku memikir untuk membolos sendirian akan tetapi aku tidak berani karena bengisnya ayah."

"Pada suatu hari aku pergi memain didalam taman, bersama encie ketiga dari kamar kedua serta enso dari kamar kelima. Bersama kita ada engko Lam Yang serta kaupunya engko Liam Cu. Jadi kita ada berlima. Dengan gembira kita main ayunan, yang diayun makin lama makin tinggi, hingga kita bisa melihat keluar tembok pekarangan dimana tertampak pohon-pohon yangliu yang hijau-segar serta bunga-bunga toh yang gompiok-indah."

"Disaat kita sedang bergembira, se-konyong-konyong engko Liam Cu menjerit sekali, Begitu lekas kita memeriksa, nyata dadanya engko Liam Cu itu telah tertikam sebatang bor Kim-coa-coie, hingga ia habis nyawanya seketika juga. Engko Lam Yang! Aku ingat betul, kau sudah lantas lari masuk kedalam rumah, kau tinggalkan kita bertiga berada didalam taman!"

Mukanya Lam Yang menjadi merah.

"Seorang diri aku tidak dapat lawan dia, apa itu bukan berarti aku akan antari jiwa secara kecewa?" katanya, untuk bela diri: "Aku lari ke dalamuntuk minta bantuan..."

Un Gie tidak gubris bantahan saudara itu, ia lanjuti ceritanya: "Selagi aku bingung karena belum tahu duduknya perkara, tiba-tiba seorang berkelebat diatas tembok, dia lompat turun kebawah, tepat kepadaku, yang masih berdiri

311 diatas ayunan. Dengan sekuat tenaga, ia ayun ayunan itu, lalu ia peluk pinggangku. Aku rasakan seperti aku terbang melayang ditengah udara, aku percaya kita berdua bakal jatuh mati. Kakiku tidak injak lagi papan ayunan."

"Orang itu cekal aku dengan tangan kiri, ketika ia turun diluar tembok, tangan kanannya sambar secabang pohon yangliu, habis mana, dengan turuti cabang yang meroyot turun, ia turun ketanah, dengan begitu, aku terhindar dari bahaya. Dalam bingung, aku pukuli dia pada mukanya. Ketika ia tekan pundakku, lantas seluruh tubuhku jadi lemas, akan kemudian lenyaplah tenagaku. Tapi aku dengar suara berisik dibelakangku. Itulah orang-orang yang susul aku.

"Tidak antara lama, siraplah suaranya sekalian pengejar itu. Terang mereka telah ketinggalan jauh. Masih aku dibawa lari terus, sampai akhirnya kita berhenti disebuah gua dilamping jurang yang nampaknya seperti jurang tergantung. Sampai disitu, dia totok pula padaku, hingga aku jadi dapat pulang tenagaku. Ia awasi aku sambil bersenyum menyengir."

"Tiba-tiba aku ingat kedua enso yang bernasib malang. Maka aku pikir, daripada terhina, lebih baik aku binasa. Begitulah aku loncat, akan benturkan kepalaku kebatu gunung. Dia lihat sikapku itu, dia kaget, dia lantas jambret bebokongku. Cegahan ini membikin gagal kenekatanku itu. Tapi aku telah kena bentur juga batu, tidak keras, karena mana, aku jadi dapat ini tanda. "

Un Gie tunjuki jidatnya, dibagian ujung, yang ketutupan rambut, dimana ada satu cacat, melihat mana, waktu itu lukanya itu tentu bukan enteng. Ia menghela napas.

"Coba itu waktu dia tidak jambret aku, coba dia antap aku benturkan diri, hingga aku terbinasa, urusan tidak bakal jadi berlarut-larut. Untuk dia sendiri, mungkin itu ada banyak baiknya. Tapi karena dia berhasil mencegah aku, dia justru jadi terancam, Karena lukaku itu, aku pingsan, ketika kemudian aku sadar, aku dapati aku sedang rebah diatas sepotong permadani didalam gua itu. Aku kaget hingga hampir aku pingsan pula, Baru hatiku lega apabila aku dapati kenyataan, pakaiannya rapi seperti tadinya. Mungkin karena melihat aku nekat, jangkitlah yang jernih, dia tidak ganggu aku," kata nyonya ini.

0o-d.w-o0

"Rupa-rupanya dia kuatir aku nanti berlaku nekat pula, selama dua hari terus-terusan dia jaga aku," Un Gie bercerita lebih jauh. "Dia matangi sendiri bahan makanan, untuk aku dahar. Aku melainkan menangis, tidak sudi aku layani dia. Hari ketiga lewat, datang hari keempat. Dalam empat hari saja, aku telah jadi kurus bukan main. Ia masaki aku daging kuah, dengan sabar ia bujuki aku untuk dahar daging kuah itu. Tetap aku tidak perdulikan padanya. Tiba- tiba dia jambak aku, untuk bikin kepalaku melenggak, hidungku terus ditutup, sesudah mana, selagi mulutku terpentang, dia paksa cekoki kuah daging itu. Secara demikian, mau atau tidak, aku kena tenggak separuh dari isinya mangkok. Baru setelah itu, ia tidak jambak pula padaku. Dengan sengaja aku sembur mukanya, aku ingin bikin dia gusar, supaya dia bunuh aku, sebab tak ingin aku nanti diperkosa dia, tak sudi aku diperlakukan sebagai kedua enso, yang dijual pada rumah hina. Sedikitpun ia tidak gusar, ia tertawa saja. Dengan sabar ia susuti mukanya, ia awasi aku dengan diam saja, Baru kemudia dia menghela napas." "Malam itu dia rebahkan diri dimulut gua.

Posting Komentar