Pedang Ular Mas Chapter 42

NIC

"Gurunya itu adalah murid dari Bok Lo-cousu dari Hoa San Pay, katanya gelarannya ada Tong-pit-Thie-shui-phoa. Mendengar gelaran itu, yang berarti pit kuningan dan shuiphoa besi, pada mula kalinya aku tertawa tak hentinya. Tak ingat aku akan tanyakan suko tentang nama gurunya itu."

Sin Cie manggut, didalam hatinya, ia kata: "Kiranya Cui Suko itu ada muridnya Toa-suheng, maka dia mesti panggil susiok padaku..."

Ia tidak beritahukan Siau Hui tentang hubungannya ini dengan Hie Bin atau Tong-pit-Thie-shui-phoa.

Kemudian keduanya masuk tidur.

Dimalam kedua, Sin Cie minta Siau Hui menanti saja di pondokan.

Siau Hui insaf, kepandaiannya masih belum berarti, malah tadi malam, ia seperti bantu merintangi kawan ini, maka ia menurut akan berdiam di rumah meski sebenarnya sangat ingin ia turut.

Sin Cie tunggu sampai sudah tengah malam, Baru ia berangkat. Ia ambil jalan seperti kemarinnya untuk pergi kerumah keluarga Un itu. Ketika ia sampai diluar tembok, ia lihat di-mana-mana gelap, tidak ada cahaya api seperti kemarinnya. Tadinya ia mau terus masuk ketika dengan tiba-tiba ia dengar seruling merayu tiga kali, berhenti sedetik setiap rintasan. "Itulah Un Ceng memanggil aku," pikir anak muda ini yang otaknya tajam. "Ngo Cou ada licin tapi Un Ceng masih ingat persahabatan."

Maka ia, urung lompat naik keatas tembok, anak muda ini memutar tubuh, akan bertindak kearah dari mana suara seruling datang. Ialah dari Bwee Kui San, bukit yang bertaman bunga mawar. Selagi ia mendaki, dari jauh-jauh ia sudah tampak dua orang sedang duduk didalam paseban, ketika ia mendekati, ia lihat mereka itu adalah orang-orang perempuan. Diantara sinarnya si Puteri Malam, kelihatan juga, satu diantaranya lagi tempeli seruling kepada bibirnya, hingga segera terdengar irama merayu-rayu.

"Itu toh suara serulingnya Un Ceng?..." pikir pemuda ini, yang menjadi heran dan curiga. Karena ini, selagi mendekati, ia bertindak dengan pelahan-lahan.

Orang perempuan yang meniup seruling itu bertindak keluar paseban, untuk papaki si anak muda.

"Toako!..." katanya dengan pelahan.

Sin Cie terkejut, hingga ia berdiri melongo. Nona itu Un Ceng adanya, anak muda yang ia anggap sebagai sahabatnya! Ia masih berdiam sekian lama, Baru ia tanya : "Kau....kau " katanya tak lancar.

Un Ceng tertawa geli, suaranya pelahan.

"Sebenarnya aku adalah seorang perempuan," ia kasi keterangan. "Sampai sebegitu jauh aku telah abui kau, toako, harap kau jangan buat kecil hati."

Lantas ia memberi hormat sambil menjura.

Sin Cie balas hormat itu. Sekarang Barulah lenyap kecurigaannya sekian lama mengenai perangainya Un Ceng, tentang sifat-sifat kewanitaannya. "Namaku adalah Un Ceng," berkata pula si nona. Ia rupanya dapat mengerti keheranan si anak muda. "Sebegitu jauh aku perkenalkan diri Ceng, sebenarnya masih kurang satu huruf Ceng lagi..."

Dan ia tertawa dengan manis.

Dengan dandan sebagai satu nona, Un Ceng Cneg benar elok dan manis sekali, alisnya bagus, matanya jernih, pipinya dadu, bibirnya seperti buah engtoh.

"Dasar aku yang tolol, orang perempuan tak aku kenali..." pikir Sin Cie.

"Disana ibu; ibu ingin bicara denganmu," kemudian berkata pula si nona. "Mari!"

Sin Cie bertindak kedalam paseban, terus ia memberi hormat.

"Pehbo," ia memanggil sambil ia perkenalkan diri. Nyonya itu berbangkit untuk membalas hormat. "Jangan pakai adat-peradatan," katanya.

Sin Cie lihat kedua matanya nyonya itu merah dan bengul, romannya sangat lesu, tanda dari kedukaan hati yang hebat.

"Menurut Ceng Ceng, ibunya ini telah diganggu orang jahat hingga terlahirlah dia," pikir anak muda kita. "Orang jahat itu tentu Kim Coa Long-kun adanya. Kelihatan nyata sekali, lima ketua dari keluarga Un sangat benci pada Kim Coa Long-kun, sebab ketika Ceng Ceng sebut dia itu sebagai ayah, ia ditegur oleh Jie-yaya. Sebaliknya ibunya mendengar hal kematiannya Kim Coa Long-kun, telah pingsan karenanya, tanda kedukaan yang hebat. Bukankah disini mesti ada terselip suatu rahasia? Apakah adanya itu? Baik aku hiburkan dia..." Nyonya itu berdiam sekian lama, Baru ia bicara pula.

"Dia.....apakah benar dia telah menutup mata?" tanyanya. "Wan Siangkong, apakah kau lihat sendiri dia meninggal?"

Anak muda itu manggut.

"Wan Siangkong baik terhadap Ceng Ceng, inilah aku tahu," kata pula si nyonya yang elok tetapi laju itu. "Maka itu pasti aku tidak akan berlaku sebagai sekalian yayanya itu, yang anggap kau sebagai musuh. Aku minta sukalah kau tuturkan aku tentang meninggalnya dia..."

Mengenai sifatnya Kim Coa Long-kun, Sin Cie masih gelap dan ragu-ragu. Gurunya sendiri, yang bicara dengan Bhok Siang Toojin, mengatakan si ular emas ada seorang berperangai luar biasa, cara hidupnya ada diantara sesat dan tak sesat. Akan tetapi, sejak ia dapatkan "Kim Coa Pit Kip" dan peroleh ilmu silat dari kitab pusaka itu, diam-diam ia kagumi orang luar biasa itu, yang otaknya sangat cerdas, dan diam-diam juga ia pandang si orang aneh sebagai gurunya. Biar tidak langsung dia toh dappat pelajaran berharga dari Kim Coa Long-kun. Maka itu, mendengar Ngo Coue mendamprat Kim Coa Long-kun sebagai "kan- cat", bangsat yang hina dan licik, ia jadi gusar sekali, cuma karena ia belum tahu duduknya hal, tak bisa ia bilang suatu apa. Sekarang ia dengar suaranya ibu dari Ceng Ceng, ia kembali dapat pemandangan lain.

"Belum pernah aku bertemu dengan Kim Coa Long- kun," ia jawab pertanyaan si nyonya, "akan tetapi walaupun demikian, dia dan aku ada sebagai guru dan murid, karena sebagian dari ilmu silatku aku dapat pelajarkan dari beliau. Aku pikir tidak leluasa untuk tuturkan jelas hal Kim Coa Long-kun setelah ia menutup mata, aku kuatir orang jahat nanti pergi menyatroni dan merusak kuburannya itu. " Baru si nyonya mendengar kata terakhir dari si anak muda, ia lantas saja tergeletak rubuh, sehingga Ceng Ceng mesti sambar tubuhnya,untuk ditolongi.

"Ibu, Ibu!" memanggil si nona. "Keraskan hatimu, ibu. "

Tidak lama pingsannya nyonya ini, lalu ia sadar pula. Ia lantas menangis.

"Delapan-belas tahun lamanya aku nantikan dia, aku harap dengan sangat dia datang untuk sambut kami ibu dan anak, supaya kami bisa berlalu dari sini, siapa sangka justru dialah sendiri yang sudah pergi lebih dahulu..." mengeluh nyonya Kim Coa Long-kun ini. "Dan Ceng Ceng sama sekali belum pernah lihat muka ayahnya. "

"Jangan berduka, pehbo," Sin Cie menghibur. "Sekarang ini Hee locianpwee sedang tidur dengan senang dialam baka. Tulang-tulangnya semua akulah yang kubur dengan baik-baik."

"Oh, kau yang menguburnya, Wan Siangkong?" kata si nyonya. "Budimu ini ada sangat besar, aku tidak tahu bagaimana nanti aku membalasnya."

Ia segera berbangkit, untuk memberi hormat. Sin Cie sibuk, untuk mencegah.

"Ceng Ceng, hayo kau paykui kepada Wan Toako!" nyonya ini titahkan gadisnya.

Tanpa bilang suatu apa, Ceng Ceng lantas jatuhkan diri berlutut didepan si anak muda, sehingga dia ini repot berlutut juga untuk membalas hormat, buat sekalian mengasih bangun kepada nona itu.

"Apakah dia meninggalkan surat untuk kami?" kemudian nyonya itu tanya pula. Ditanya begitu, Sin Cie ingat pesan dari Kim Coa Long- kun bahwa siapa "dapatkan warisannya, dia mesti pergi ke Cio-liang di Kie-ciu, Ciatkang untuk cari Un Gie, untuk serahkan emas banyaknya sepuluh laksa tail." Pesan itu membikin ia bingung, lalu ia tak perhatikan lebih jauh. Ia sendiri pun tidak tergiur hatinya oleh itu harta besar, malah ia bayangi, jangan-jangan Kim Coa Long-kun bercelaka karena harta besar itu. Ia juga ingat baik-baik kata-kata gurunya bahwa harta besar bisa mendatangkan malapetaka. Karena ini, ia rada jemu dengan petanya Kim Coa Long- kun itu. Sampai sekarang nyonya ini menanyakannya.

"Maaf, pehbo," katanya, "aku memberanikan diri untuk tanya apa pehbo bernama Gie?"

Ibunya Ceng Ceng nampaknya terperanjat.

"Benar," jawabnya. "Bagaimana kau ketahui itu?" Belum sampai si anak muda sahuti ia, ia sudah tambahkan : "Tentu kau ketahui itu dari surat peninggalannya! Apakah Wan Siangkong bawa suratnya itu sekarang?"

Tegang sekali sikapnya si nyonya selagi ia menanyakan demikian.

Disaat Sin Cie hendak jawab nyonya itu, mendadak ia menjejak dengan kaki kanannya, segera tubuhnya lompat mencelat melewati lankan, menyambar kesuatu gerombolan pohon mawar.

Un Gie danCeng Ceng, ibu dan anak, kaget dan heran, keduanya segera mengawasi anak muda itu.

Tiba-tiba terdengar satu jeritan "Aduh!" kemudian tertampak Sin Cie gusur keluar satu orang, tubuh siapa diam saja, karena rupanya dia telah ditotok jalan darahnya. Dengan jambak bebokongnya, pemuda ini bawa orang itu kedalam paseban dimana dia itu digabruki kelantai. "Eh, inilah cit-pehhu!" Ceng Ceng bersuara tertahan.

Un Gie pun mengenalinya, ia lantas menghela napas panjang.

"Wan Siangkong, tolong kau merdekakan dia," mintanya. "Didalam rumah keluarga Un ini, kecuali kita berdua ibu dan anak, tidak ada orang lain lagi yang pandang kami sebagai orang dalam..."

Sin Cie lihat sikap lesu nyonya itu, ia dengar suara yang lemah bersedih. Lantas saja ia tepuk jalan darahnya orang tawanannya itu, atas mana dia ini keluarkan jeritan perlahan, lalu mendusin.

Nyatalah orang ini ada Un Lam Yang dengan siapa Sin Cie pernah bertempur. Dia adalah anak Un Beng Gie dan turut runtunan, dia ada anak ketujuh dalam keluarga Un itu.

"Cit-pehhu!" Un Ceng tegur mamaknya itu., "kami sedang bicara di sini,mengapa kau mencuri mendengari? Sama sekali kau tidak hargai derajatmu sebagai orang yang terlebih tua!"

Kedua matanya Un Lam Yang bersinar, rupanya ia mendongkol, tapi sebentar saja, lantas ia ngeloyor pergi dengan tak bilang suatu apa. Rupanya ia jeri atas keliehayan si anak muda, yang barusan cekuk ia dengan gampang, sedang kemarinnya, ia pun gagal layani anak muda itu. Akan tetapi, setelah beberapa tindak diluar paseban, dia menoleh dan kata dengan sengit : "Perempuan tidak tahu malu pasti bisa melahirkan satu anak perempuan tidak tahu malu juga! Sudah sendiri mencuri lelaki, sekarang pun anak sendiri diajari curi lelaki juga!" Tapi Ceng Ceng tidak bisa antap hinaan itu, sambil hunus pedangnya ia loncat keluar paseban, untuk menyusul.

"Eh, cit-pehhu, mulutmu kotor sekali!" ia berseru. "Apa kau bilang?"

Un Lam Yang putar tubuhnya lalu ia berdiri tegak.

"Eh, kacung hina, kau hendak berontak?" tanyanya. "Yaya semua yang perintah aku datang kemari! Habis kau mau apa?"

"Jikalau kau hendak bicara dengan kita, kau boleh bicara terus-terang!" Ceng Ceng tegur. "Kenapa kau curi dengar pembicaraan kita?"

"Kita? Hm!" Un Lam Yang menghina, sambil tertawa dingin. "Entah orang hutan dari mana datang kemari yang lantas dimasuki dalam lingkungan kita! Muka terang delapan-belas turunan dari keluarga Un telah kau bikin malu!"

Posting Komentar