Pedang Pusaka Naga Putih Chapter 02

NIC

Tak lama antaranya, segera tampak dua orang guru dan murid itu melayang-layang mendekat. Sebuah bayangan kuning gurunya, Si Iblis Daratan berputar cepat dan tiba-tiba berdiri dan beberapa puluh detik kemudian sebuah bayangan putih Han Liong berkelebat dan telah tiba pula menyusul gurunya. Liok-tee Sin-mo Hong In segera melompat ke arah dahan sebuah pohon, ketika Han Liong menyusul, ia telah meloncat pula ke atas dahan yang lebih tinggi dan segera disusul pula oleh Han Liong. Demikianlah gurunya meloncat-loncat ke atas puncak pohon sebagai seekor kupu-kupu kuning disusul oleh Han Liong dengan cepatnya. Akhirnya sang guru melayang turun dan kakinya menyentuh tanah dengan ringan seperti sehelai daun kering jatuh. Perbuatannya ini ditiru oleh Han Liong dengan gerakan serupa pula.

"Cukup muridku, engkau sudah hampir dapat melebihiku." Tapi diam-diam Han Liong maklum bahwa ia masih kalah setingkat. Kemudian oleh gurunya itu Han Liong disuruh mendemonstrasikan kepandaiannya menggunakan kim-cie-piaow. Liok-tee Sin-mo melempar dengan uang logamnya ke arah sebatang pohon yang jauhnya kira-kira lima tombak lebih. Berturut-turut ia melempar sampai lima kali, kemudian ia menyuruh muridnya menyusul lemparannya itu. Han Liong mengerti maksudnya. Segera dilakukannya dengan sebuah piao. Ketika tangannya terayun, terdengar bunyi nyaring lima kali di batang pohon itu. Ketika diperiksa, ternyata piao sang guru yang tertanam di dalam pohon kena dihantam oleh piao muridnya, sehingga keluar menembus pohon itu. Sang guru tersenyum memuji.

"Eh, aku jangan ditinggalkan!" seru Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih.

"Kemarilah, Liong, dan pegang bambu ini." Han Liong menghampiri gurunya yang berdiri lurus sambil memegang tongkat bambu itu dan diacungkannya ke depan. Han Liong segera memegang ujung tongkat itu, sehingga mereka masing-masing memegang kedua ujungnya.

"Nah, kerahkan tenagamu menahan, karena aku hendak mengangkatmu!" Han Liong segera mengumpulkan tenaga dalam, memasang bhesinya (kuda-kudanya) dengan kuat sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar ke dalam tanah. Tiba-tiba ia merasa ujung bambu itu seakan-akan tergetar dan aliran tenaga gurunya telah menyentuhnya. Bambu itu kini makin bergetar ketika dua tenaga dalam itu bertanding mengadu kekuatan.

"Naik!" Si Malaikat Rambut Putih berseru dan Han Liong merasa betapa tenaga gurunya dengan hebat menggempur pertahanannya hingga bhesinya terasa lemah dan untuk sesaat kedua kakinya terangkat dari tanah kira-kira satu setengah dim! Namun ia masin tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda dan memegang ujung bambu itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengembang di atas kepalanya, sehingga ia merupakan sebuah patung kayu!

Ia mengerahkan tenaganya dan perlahan-lahan ia dapat turun kembali. Kini tangan kiri gurunya turun ke bawah, suatu tanda bahwa ia kini yang harus menyerang. Dengan penuh semangat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengangkat gurunya. Ternyata ia berhasil membuat gurunya menggeserkan kaki depannya yang berarti bahwa ia telah berhasil menggempur bhesi gurunya! Kendatipun ia belum dapat mengangkat si Malaikat Rambut Putih itu ke atas, tapi ia telah memperoleh banyak kemajuan. Ia mengerahkan pula tenaganya dan ditahan oleh gurunya. Dua tenaga dalam bertemu dengan kerasnya dan "brak!!" bambu itu pecah berkeping-keping! Kedua-duanya mundur dan sama-sama memeramkan mata mengatur nafas sebentar,

"Engkau sudah banyak maju, Liong. Ketika latihan yang terakhir beberapa tahun yang lalu, kau masih dapat kuangkat setinggi dua kaki! Kini engkau sudah bisa menggempur kedudukan kakiku. Berlatihlah terus, muridku." Kemudian ia minta muridnya memperlihatkan pelajaran Sin-kut-hoat yakni ilmu melepas tulang yang segera diturut pula oleh Han Liong. Merela memilih sebuah pohon yang banyak dahannya dan di situ Han Liong memperlihatkan kemahirannya. Ia melayang ke atas dan menerobos diantara dahan-dahan dan cabang-cabang yang demikian rapatnya sehingga tubuhnya seakan-akan melilit-lilit dahan seperti seekor ular besar! Keempat gurunya bukan main girang melihat kemajuan murid mereka itu. Mereka puas dan gembira sekali, lebih-lebih Pauw Kim Kong yang tiada hentinya menepuk-nepuk pundak muridnya dengan kasih sayang.

"O ya, dan bagaimana pelajaranmu dalam ilmu surat? Kami ingin sekali tahu," kata Pauw Kim Kong sambil melirik ke arah Yo Leng In.

"Ah, teecu sangat bodoh dan hanya dapat menulis beberapa patah kata dan beberapa buah huruf saja, suhu," jawab Han Liong malu.

"Eh, jangan membuat malu aku yang mendidikmu, Liong," sela bibinya, Yo Leng In.

"Yo Toanio benar, Liong. Di depan orang lain kau boleh merendah, tapi karena hari ini adalah hari ujianmu, kau tak boleh malu-malu. Ayoh perlihatkan kepandaianmu menulis, agar kami puas." Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu mendesak. Dengan terpaksa Han Liong lari mengambil alat tulis dan kertas dari dalam pondok, lalu menulis di atas sebuah batu yang rata, dilihat oleh keempat guru dan bibinya. Setelah selesai, ia perlihatkan tulisannya itu. Semua orang-orang tua itu memuji, kecuali Liok-tee Sin-mo yang berkata sambil tertawa,

"Aku orang tua tak berguna yang harus malu! Setua ini tapi satu huruf pun aku tidak kenal. Coba tolong bacakan tulisan Han Liong itu Yo Toanio!" Yo Leng In mengambil kertas itu lalu membacanya. Ternyata tulisan Han Liong itu berbentuk sajak berbunyi demikian :

Kecil lemah tak berdaya

Yatim piatu menderita sengsara

Hidup terancam bahaya gelap gulita

Untung datang lima bintang bercahaya

Aku orang sengsara tiada guna ini

Sampai mati tak mungkin membalas budi

Hanya berjanji mengorbankan nyawa

Menjunjung tinggi nama lima bintang dengan Setia!

Yo Leng In membaca dengan suara merayu, dan semua pendengarnya maklum bahwa yang dimaksud dengan lima bintang itu ialah keempat gurunya dan seorang bibinya yang telah menolong dan mendidiknya. Kemudian, dengan huruf-huruf kecil yang ditulis dengan tangan gemetar, terdapat dua baris syair demikian,

Sebatang kara, yatim piatu

Siapa ayah, siapa ibu??

Dua baris tulisan ini seakan-akan teriakan jiwa anak muda itu yang ingin sekali mengetahui di mana dan siapakah orang tuanya, tapi ia tak berani bertanya, karena dahulu tiap kali ia bertanya, selalu ia dilarang karena belum waktunya. Tulisannya ini membuat keempat guru dan bibinya sangat terbaru, sehingga dikedua pipi bibinya yang membaca sajaknya itu mengalir air mata! Pauw Kim Kong menghela nafas, dan ketika ia memandang Han Liong, ternyata kedua mata pemuda itupun mengeluarkan dua butir air mata.

"Hm, sudahlah jangan bersedih. Mari kita masuk ke dalam pondok, dan di situ nanti akan kami ceritakan padamu sebenarnya tentang engkau dan orang tuamu. Karena hari ini engkau telah tamat belajar, maka sudah sepatutnya pula kalau kau ketahui akan hal Itu." Semua orang memasuki pondok kecil itu dan di situ Han Liong untuk pertama kalinya mendengar cerita mengenal orang tuanya dan tentang dirinya seperti berikut. Si Han Liong adalah putera tunggal dari Si Enghiong (orang gagah she Si) atau Si Cin Hai yang tak lain adalah seorang siucai (sasterawan) muda patriot sejati yang diangkat menjadi kepala daripada banyak kaum kang-ouw dan liok-lim (kalangan persilatan dan jagoan-jagoan). Si Cin Hai ini adalah putera seorang bekas menteri pemerintah Beng Tiauw bernama Si Kim Pau dan tadinya menjadi kawan baik Gouw Sam Kwie yang ternama itu.

Pada masa Si Kim Pau masih menjadi menteri, kerajaan Beng Tiauw kacau-balau karena ancaman pemberontak Lie Cu Seng. Gouw Sam Kwie yang melihat bahaya ini lalu minta pertolongan serdadu-serdadu Boan dari Mancuria untuk memasuki tembok besar dan membantu usaha menindas kaum pemberontak. Hal ini tidak disetujui oleh Menteri Si Kim Pau dan ia berkata bahwa usaha itu seakan-akan "mengusir serigala dan mendatangkan harimau". Gouw Sam Kwie yang biasanya menghargai pendapat Si kim Pau, ketika itu karena sedang bingung melihat ancaman dan desakan Lie Cu Seng, tidak memperdulikan nasihat Si Kim Pau sehingga mereka berdua berselisih paham. Akhirnya serdadu-serdadu Boan betul berhasil juga menindas pemberontakan Lie Cu Seng. Namun, setelah melihat keindahan dan kekayaan bumi Tiongkok,

Orang Boan itu menjadi keenakan dan tak mau meninggalkan Tiongkok, bahkan lalu berbalik memukul hancur dan menjatuhkan pemerintah Beng Tiauw, dan semenjak itu bangsa Boan Ciu berkuasa di Tiongkok dan mendirikan pemerintah Ceng Tiauw. Si Kim Pau melihat keadaan menjadi begitu hebat, hatinya bersedih dan menyesal sekali, ia seorang menteri yang setia dan berjiwa patriot, maka karena diri sendiri tidak berdaya, ia mengambil keputusan untuk mengorbankan nyawanya sebagai pernyataan bakti kepada negara dengan membunuh diri. Tapi, ketika ia menghunus pedangnya dan hendak menusuk lehernya sendiri, tiba-tiba sepucuk sinar putih berkelebat, serta merta pedangnya terpotong menjadi dua dan di depannya berdiri seorang tua berjubah putih dan rambut serta jambangnya yang panjang sampai kepinggang semuanya putih melepak!

Posting Komentar