Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 51

NIC

bahwa kekayaan mereka bertambah menumpuk, sering2 adalah karena mereka hidup hemat dan dapat menabung, apakah kita sampai hati mencuri harta mereka.

Maka sebelum operasi, sebaiknya kita mencari keterangan sejelasnya sasaran yang kita tuju, kalau sudah pasti harta kekayaannya diperoleh dengan jalan tidak halal barulah kita turun tangan." "Huh, ocehanmu hanya meruntuhkan semangatku saja," omel Soat Koh.

"Mencuri milik orang kaya, kan takkan menjadikan dia bangkrut, Paling2 hanya sebagian kecil Kekayaannya saja dan dia tetap dapat hidup, kenapa mesti buang2 waktu main selidik segala?" "Apakah tujuanmu mencuri yang kaya dan menolong yang miskin hanya timbul untuk kepuasan saja dan tidak membedakan siapa yang pantas dicuri dan siapa yang tidak?" ujar Peng-say dengan tertawa.

"Umpamanya, kalau harta orang kaya yang kau curi itu disediakan akan dibuat bayar utang, meski kehilangan itu tidak mengakibatkan dia jatuh rudin, tapi dia akan kehilangan kepercayaan di dunia perdagangan, bagi orang dagang, hal ini sama seperti jalan hidupnya kau sumbat." "Sudahlah, alasanmu memang macam2, tak dapat berdebat dengan kau," kata Soat, "Pokoknya kuturut usulmu, marilah kita pergi kota lain dan menyelidikinya dengan pelahan." "Memangnya kau hendak ke mana?" "Operasi kita sudah terjadi di daerah Hopak, di Soa-tang sini tidak leluasa, biarlah kita ke propinsi Holam yang terdekat saja." "Tapi aku harus keluar lautan, tak dapat kutemani kau ke Holam.

"Keluar lautan" Untuk apa?" "Pernah kau dengar istilah Tang wan, Say koan.

Lamhan dan Pak-cay?" "Ya, pernah," jawab Soat Koh sambil mengangguk.

"Pernah kudengar dari guruku, katanya itulah tempat kediaman keempat tokoh sakti dunia persilatan jaman kini." "Nah, Tang-wan atau Hong hoa-wan itu berada jauh di lautan timur sana," tutur Peng-say "Untuk keluar lautan harus melalui semenanjung Soatang, sekarang kita sudah berada di wilayah Soatang, kesempatan ini harus kugunakan untuk keluar lautan .

" "Kau hendak pergi ke Hong-hoa-wan?" Soat Koh menegas dengan terkejut.

"Apakah kau ingin mencari mampus?" "Kenapa kau anggap pergi ke Hong-hoa-wan berarti mencari mampus?" tanya Peng-say.

"Hong hoa-wan terletak jauh di negeri asing sana, jangankan perjalanan mengarungi samudera sangat berbahaya, setiap saat kapalmu bisa tenggelam, seumpama beruntung dapat kau capai Hong-hoa wan, kaupun jangan harap akan datang pulang dengan selamat.

Sebab Honghoa-wancu adalah gembong iblis yang paling benci pada pengunjung yang berani mendatangi pulaunya.

Sudah lama dia merajai negeri pulau sana, penduduk asli pulau itu dibodohinya.

maka ia takut kedatangan orang Tionggoan yang mungkin akan berebut pengaruh dengan dia.

Sebab itulah, asalkan melihat orang Tionggoan muncul di pulaunya, tentu akan ditawannya dan dilemparkan ke laut untuk umpan ikan hiu." "Hehe, jangan kau bicara seperti menggertak anak kecil," seru Peng-say dengan bergelak tertawa.

"Sama sekali bukan gertak," kata Soat Koh dengan sungguh2.

"Takkan terjadi apa2 jika kau pergi ke Say-koan, Lam-han atau Pak-cay, tapi jangan sekali2 pergi ke Tang-wan.

Ngo-hoa Koancu.

Soh-hok Hancu dan Leng-hiang Caycu konon bukan orang jahat, jika kau mengunjungi mereka, asalkan kau tidak bikin onar tentu takkan menimbulkan kesulitan, tapi Hong-hoa Wancu terkenal bagai orang jahat, biarpun kau tidak cari perkara juga akan mendatangkan malapetaka jika kau berani menginjak pulaunya." "Kepergianku ke Hong-hoa-wan sana memang mau mencari perkara!" kata Peng-say.

"He, apakah kau sudah bosan hidup?" tanya Soat Koh.

"Kau tidak tahu bahwa putera Hong-hoa Wancu ada permusuhan besar denganku, jadi kepergianku kesana sudah jelas harus kulaksanakan." "O, kiranya kau ke sana hendak mencari putera Honghoa Wancu untuk menuntut balas, jika demikian urusannya menjadi lain." "Maka kita berpisah disini saja, kau pergi ke Holam, aku akan menuju ke Ciau ciu-wan (semenanjung Soatang), bilamana aku dapat pulang dengan hidup, setahun lagi kita berjumpa pula di sini." "Apa artinya jika kupergi ke Holam sendirian, mencuri dan menyebarkan hasil curian itu sendirian teman ngobrol saja tidak ada, kukira akan kesepian dan mengesalkan," kata Soat Koh dengan gegetun.

"Begini saja, akan kutemani kau pergi ke Hong-hoa-wan, sepulangnya dari sana dapat kau bantu diriku melakukan pekerjaan tanpa modal itu, setuju tidak?" Peng-say menyadari jika pergi sendiri ke Hong-hoa-wan, hampir dapat dipastikan sukar pulang lagi.

Tapi kalau dikawani Soat Koh.

dengan gabungan pedang kiri dan pedang kanan mereka.

bukan mustahil Ciamtay Cu-ih juga dapat mereka kalahkan.

Maka dengan girang ia bertanya: "Kau tidak takut bahaya?" "Bahaya?" Soat Koh menegas.

"Coba jawab, berbahaya tidak waktu kau bantu diriku menempur Tan Goan-hay dan begundalnya itu." "Sudah tentu kawanan Tan Goan-hay tak dapat disamakan dengan Hong-hoa Wancu," ujar Peng-say.

Tapi Soat Koh tidak menjadi jeri, katanya tegas: "Peduli amat, syukur kalau dapat pulang bersama dengan hidup, kalau tidak, asalkan dapat menempur salah seorang dari empat tokoh sakti masa kini kan juga berharga." "Bagus, jika begitu.

Hayolah kita berangkat!" seru Peng-say dengan tertawa.

Selama tiga hari mereka tinggal di suatu kelenteng bobrok.

Peng-say lantas memasang kuda penarik kereta, sekali cambuk berbunyi, hanya sekejap saja kelenteng rusak itu sudah jauh ditinggalkan.

Setengah harian itu mereka melarikan keretanya, menjelang lohor sampailah mereka di tepi laut .

semenanjung Soatang, terlihat berpuluh kapal berlabuh di sana dan sedang bongkar-muat dengan ramai.

Sejak pagi mereka belum mengisi perut, mereka sudah kelaparan, sementara mereka tidak bertanya tentang kapal yang akan berlayar keluar lautan, tapi lebih dulu mencari rumah makan serta pesan santapan setelah memarkir keretanya.

Begitu hidangan sudah siap, terus saja Peng-say mencomot sepotong bakpau dan dimakan dengan lahapnya.

"Jilengcu, kau lihat tidak?" tiba2 Soat Koh berbisik padanya.

"Melihat apa?" jawab Peng-say taapa menahan suara.

Soat Koh mengomel: "Yang kau pikirkan hanya makan melulu, waktu masuk kemari sama sekali tidak kau perhatikan, iihatlah keempat Tosu di meja sebelah sana sejak tadi selalu melirik dan mengawsi kita.

Bisa jadi kau masuk perangkap orang belum lagi mengetahui siapa yang melakukan?" "Oo.apa betul?" tanya Peng-say sambil memandang sekitarnya.

Benar juga dilihatnya di meja pojok kiri sana berduduk empat Tosu muda, semuanya lagi menggerogoti bakpau dengan kepala tertunduk, tiada seorangpun yang kelihatan melirik ke sini.

"Mana ada orang melirik kita" Ah, kau jangan sok curiga!" ujar Peng-say dengan tertawa.

"Tampaknya kau memang dungu," omel Soat Koh pula dengan mendongkol.

"Kau tatap mereka terang2an begini, memangnya mereka berani lagi melirik kau?" "Mau melirik, mau melotot, biarkan saja, kalau berani, hayolah berdiri!" teriak Peng-say.

Habis berkata ia menyikat lagi hidangan yang tersedia.

Sambil makan Soat Koh masih terus mengawasi gerakgerik keempat Tosu itu.

"Awas, jangan makanan masuk ke hidungmu!" demikian Peng-say berseloroh.

Soat Koh melototinya dan berkata: "Ucapanmu tadi ternyata cespleng, sampai saat ini mereka tidak berani lagi memandang ke sini." "Hakikatnya kita tidak kenal mereka, bisa jadi mula2 mereka salah mengenali orang, maka begitu kita datang mereka lantas mengamat2i, mungkin sekarang mereka tahu salah lihat, maka mereka tidak tertarik lagi kepada kita." Dugaan Peng-say ternyata cocok dengan jalan pikiran keempat Tosu muda itu.

Setelah mereka menyaksikan Peng-say dan Soat Koh bicara dan bergurau dengan bebas.

mereka lantas tahu salah mengenali orang.

Kini Soat Koh berbalik mengawasi gerak gerik mereka, mau-tak-mau mereka menjadi kikuk sendiri dan kuatir menimbulkan onar, maka buru2 mereka habiskan makanan, lalu menuju ke meja kasir untuk membayar.

Pada saat itulah tiba2 masuklah seorang lelakj dan bertanya dengan suara keras: "He, kasir, siapa yang menempelkan poster berhadiah diluar itu?" Si kasir memandang sekejap lelaki itu, agaknya sudah kenal, maka jawabnya dengan tak acuh: "Siapa tahu?" "Huh, hadiah kentut! Poster begitu .

" demikian lelaki itu mengoceh pula.

Dengan mendongkol si kasir lantas menyela: "Hei, pakai kentut apa segala" Tahu tidak banyak tamu sedang makan" Jika mau makan, boleh teken bon, tapi jangan sembarangan mengoceh di sini!" "O, maaf," cepat lelaki itu menjawab dengan cengar-cengir.

"Aku memang orang kasar, apa yang kukatakan tadi tidak sengaja, janganlah marah." Mungkin orang ini sudah biasa utang di rumah makan ini, maka dipandang rendah oleh si kasir, meski dia sudah minta maaf, tapi si kasir tidak menggubrisnya.

Keempat Tosu tadi sebenarnya sudah selesai membayar rekening makan, tapi mereka masih berdiri di samping meja kasir dan mendengarkan.

Selagi lelaki itu hendak berduduk, seorang Tosu itu mendekatinya dan bertanya sambil menepuk bahunya: "He, siapa suruh kau tanya urusan poster berhadiah di luar itu?" Orang itu mendelik dan menjawab: "Tuanmu suka tanya, kenapa, apa tidak boleh?" Dia tidak berani bicara kasar kepada si kasir yang biasa memberi utang padanya, terhadap Tosu ini dia tidak mau mengalah, kata2nya ketus, se-akan2 bila perlu boleh rasakan kepalanku ini.

Tosu itu masih muda, dengan sendirinya juga gampang naik darah.

Melihat sikap orang yang kasar, segera ia cengkeram pergelangan tangannya sambil membentak dengan suara tertahan: "Lekas mengaku, siapa yang menyuruh kau tanya tentang poster?" Setengah badan lelaki itu menjadi kesemutan dan tak dapat bergerak, ia meringis kesakitan dan ber-teriak2: "Baik akan kukatakan ....

akan kukatakan!.

" Tosu itu mengendurkan cengkeramannya sehingga orang itu dapat bernapas, dengan menyengir ia berkata: "Toya, anak jadah yang berdusta.

Soalnya kuheran melihat poster berhadiah itu, maka kutanya si kasir, sama sekali aku tidak disuruh siapa2." Agaknya Tosu itu tidak percaya.

kembali ia memecet lebih keras, keruan orang itu menjerit seperti babi hendak disembelih.

Tosu lain yang lebih berpengalaman lantas membujuk kawannya: "Sute, sudahlah, tampaknya ia hanya tanya secara tidak sengaja." Si TOSU muda terus mendorong ke depan sehingga lelaki itu jatuh terjungkal.

Posting Komentar