Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 44

NIC

Peng-say menurut dan mendekati si nona.

"Ingin kulihat kau akan berteriak kesakitan atau tidak"!" omel Soat Koh sambil angkat telapak tangannya.

Peng-say tahu hantaman si nona tidak boleh diremehkan, jika terkena tepat, kepala lembu saja bisa hancur.

Namun dia justeru tidak menghindar, ia pandang wajah si nona yang marah itu dengan terkesima.

Soat Koh menjadi tidak tega ketika tangan sudah terangkat, teringat olehnya jasa Peng-say yang telah berhasil mengingusi musuh, dengan menghela napas ia berkata : "Sudahlah, lain kali hendaklah hati2 dan tahu aturan sedikit." Peng-say memang anak kolokan, diberi hati tambah minta kepala, ia lantas membual pula: "Nona Soat kau takkan ikut padaku meski hartaku ber-juta2 tahil, tapi kalau tidak punya duit malahan engkau mau ikut padaku, begitu bukan?" Soat Koh tidak merasakan ucapan orang sebagai kata2 kurang sopan, ia memberi penjelasan: "Bukan begitu maksudku, aku cuma memberi misal, supaya kau tahu perempuan tidak melulu memandang duit saja, lalu mau ikut padamu " "Lalu cara bagaimana baru nona mau ikut aku si Jilengcu ini?" Peng-say melanjutkan bualannya.

"Kau harus pandai membujuk, lemah lembut, santun, jangan jorok, jangan tamak dan mata duitan, dengan demikian, biarpun kantongmu kosong juga banyak perempuan yang kepincuk padamu.

Hendaklah kau tahu, bini yang dibeli dengan duit kebanyakan tak dapat dipercaya." Peng-say memang sengaja membual dan bicara dengan nada pemuda bangor, tujuannya membikin marah si nona, siapa tahu Soat Koh tidak menjadi marah, sebaliknya malah memberi petuah.

Tapi dia sengaja bicara dengan nada berlawanan, katanya pula: "Ah, Jilengcu tidak percaya pada teorimu ini.

Tanpa duit, jangan harap mendapatkan perempuan.

Oya, bicata tentang duit, aku menjadi ingat hari ini aku belum terima upah.

Sepuluh tahil perak hendaklah kau bayarkan padaku sekarang " "Kenapa sekarang juga kau minta uang, malam-malam lagi?" tanya Soat Koh heran.

"Hah, jangan kau kira aku ini orang tolol," ujar Peng-say deng&n tertawa.

"Ucapan nona tadi memang sebagian dapat dibenarkan.

Tapi mengenai jangan mata duitan, ah, kukira setiap manusia di dunia ini pasti suka pada duit Jangan2 maksudmu supaya aku jangan minta upah padamu" Masakah ada orang bekerja tanpa diberi upah?" "Jilengcu," kata Soat Koh sambil menggeleng, "pintarnya kau memang pintar, tapi kalau bodoh ternyata melebihi kerbau.

Memangnya siapa hendak anglap upahmu" Kusuruh kau jangan mata duitan, maksudku dalam hal uang hendaklah kau berpikir panjang, jangan kikir, satu peser saja harus dihitung.

Lebih2 terhadap perempuan.

jangan sekali2 pelit, kalau pelit, betapapun cantik dan baiknya seorang perempuan juga tidak sudi mendekati kau." "Masa aku pernah pelit" tanya Peng-say dengan tertawa, "Melihat caramu bicara mengenai duit, pasti kau ini sangat pelit," kata si nona.

Peng-say ter-bahak2 ucapnya: "Hahahaba, benar juga perkataan nona.

Jika begitu upah sepuluh tahil harus kuterima sekarang, kontan, tidak boleh utang!" Sembari bicara ia terus menyodorkan tangannya.

Soat Koh mendongkol, katanya: "Sialan! Kau kira nonamu tidak mampu membayar upah sepuluh tahil sehari"!" Peng-say meng-geleng2 dan berkata: "Orang yang mata duitan harus selalu pegang uang, bila tiap hari kuterima upah kontan, caraku mengendarai kereta barulah bersemangat Selain itu bayar setiap hari juga akan terasa ringan, bila numpuk sampai beberapa hari, bukannya kuatir nona tidak mampu bayar tapi mungkin nona akan merasa sayang jika sekaligus membayar sekian puluh atau ratus tahil, malahan untuk itu nona akan minta potongan harga padaku, kan aku yang rugi." "Kurang ajar!" omel Soat Koh.

"Memangnya kau kira nonamu ini orang kikir, biarpun beribu tahil juga tak pernah kusayangkan bilamana memang harus dikeluarkan, apalagi memotong upahmu dan minta korting segala.

Jangankan cuma sepuluh tahil sehari, biarpun seratus tahil sehari juga akhirnya akan kubayar lunas tanpa kurang satu peserpun." "Bagus, kutahu watak nona memang sosial," ujar Peng-say sambil tertawa.

"Seperti kata orang: diperoleh dengan mudah, buangnya juga mudah.

Betul tidak, nona Soat?" Diam2 Soat Koh merasa gusar karena nada orang seolah2 menyindir hartanya diperoleh dari mencuri.

Akan tetapi hal ini memang fakta, apa yang dapat dikatakan.

Terpaksa ia mengeluarkan sepotong perak sepuluh tahil dan dilemparkan kepada anak muda itu sambil berseru: "Ini, ambil!" "Terima kasih!" dengan tertawa gembira Peng-say menyimpan uang perak itu.

"Eh.

Jilengcu, kau lapar tidak?" tanya Soat Koh.

Mendingan jika tidak ditanya, sekali menyinggung soal perut, seketika Soat Peng-say merasa perutnya men-jerit2, ia menelan air liur dan menjawab: "Sejak pagi belum terisi sebutir nasipun, tentu saja lapar.

Tapi apakah nona membawa makanan?" "Tentu saja bawa," ujar Soat Koh dengan tertawa.

Lalu ia menuju ke kereta dan mengeluarkan makanan kering terus digerageti dengan lahapnya.

"Wah, tampaknya nona hanya memikirkan diri sendiri, kenapa tidak bagi sedikit kepada Jilengcu?" "He, tak usah ya!" kata Soat Koh.

"Kita kan sudah janji sepuluh tahil satu hari tidak termasuk makan tiga kali" Jika kau ingin makan, boleh kau beli sendiri, peduli apa dengan diriku." "Di pegunungan sunyi begini apa yang dapat dibeli biarpun punya uang banyak?" kata Peng-say.

"Eh, nona yang baik, sukalah engkau membagi sedikit padaku." Soat Koh tidak menggubrisnya, sebaliknya ia sengaja ber-kecek2 sehingga kelihatan lezat sekali makanannya itu.

"Eh, bagaimana kalau kubeli makananmu"!" tanya Peng-say.

Soat Koh tidak menjawab, ia cuma memperlihatkan sebuah jarinya.

"Apa maksudmu?" seru Peng-say terkejut "Maksudmu makanan kering begitu harus kubayar satu tahil?" "Salah." kata Soat Koh "Bukan satu tahil, tapi sepuluh tahil.

Beli atau tidak terserah padamu.

Pokoknya, harga pas, satu peserpun tidak boleh kurang." "Hai, caramu ini bukan jual barang, tapi gorok leher!" teriak Peng say.

"Terserah apa yang ingin kau katakan," ucap Soat Koh dengan tertawa "Biasanya aku tidak sudi makanan kering begini, siapa tahu, kalau perut lapar, rasa makanan kering ini jauh lebih lezat dari pada hidangan di restoran yang paling besar.

He, Jilengcu, selama hidupmu ini pernah tidak kau masuk restoran!" Membayangkan santapan yang enak di restoren, rasa lapar Peng-say lebih2 tak tertahankan, mendadak ia berseru: "Baiklah kubeli makananmu!" Segera ia mengeluarkan potongan perak yang baru disimpannya tadi dan dilemparkan kembali kepada si nona.

Soat Koh terima perak itu, katanya dengan tertawa: "Baik! sekarang kau boleh makan sesukamu dengan sekenyangnya." Tanpa sungkan lagi Peng-say lantas mendekati si nona, ia sambar makanan kering yang tersedia dan dimakannya dengan rakus.

"He, pelahan2, jangan sampai keselak!" seru Soat Koh dengan ter-kikik2 geli.

Untuk pertama kalinya si nona dapat mengerjai anak muda itu, terbayang olehnya air muka Peng-say yang menyengir waktu merogoh uang perak tadi, sungguh ia ingin ter-bahak2.

Setelah mengisi perut dengan kenyang, sementara itu hari sudah gelap, bulan sudah mengintip diufuk timur, angin meniup silir2 dan terasa rada dingin.

"Bagaimana baiknya malam ini?" tanya Soat Koh dengan sedih.

"Jalan pegunungan ini aku tidak apal, ketambahan kurang mahir mengendarai kereta ini, kalau kita melanjutkan perjalanan tentu berbahaya, terpaksa kita bermalam di udara terbuka di sini." kata Peng-say "Bermalam di udara terbuka bagaimana?" hati Soat Koh rada terguncang.

"Sudah tentu engkau tidur didalam kereta dan aku tidur diluar," ujar Peng-say dengan tulus.

"Angin pegunungan diwaktu malam cukup dingin, tiada selimut pula, apakah kau tahan?" tanya Soat Koh.

"Tahan atau tidak terpaksa malam ini harus kita lewatkan," ujar Peng-say.

"Jika demikian, terpaksa mesti bikin susah padamu," ucap Soat Koh dengan menyesal, pada dasarnya wataknya memang tidak jelek.

Esok paginya, Soat Koh bangun lebih dulu.

Dilihatnya Peng-say meringkuk ditepi pohon Siong sana, bajunya tampak basah oleh embun semalam suntuk, perasaannya tambah tidak enak.

Sampai matahari sudah mulai terbit barulah Peng-say bergeliat dan menguap, lalu bangun.

Didengarnya So?t Koh berseru padanya dengan tertawa: "Setan pemalas, hayolah lekas cuci muka dan meneruskan perjalanan." Air pegunungan jernih dan segar, dibuat cuci muka terasa sangat nyaman.

Peng-say menghirup hawa udara segar dalam2.

Diam2 ia merasa gegetun selama sebulan ini dilewatkannya dengan sia2.

Tengah melamun, tiba2 Soat Koh melemparkan sebuah sisir padanya dan berseru: "Lekas sisir rambutmu yang morat-marit itu!" Dengan air selokan sebagai cermin, Peng-say lantas menyisir rambutnya dengan rapi serta diikat di atas kepala.

Rambut manusia sama seperti papan merek sebuah toko, selama sebulan Peng-say tidak cuci muka dan sisir rambut, tentu saja wajahnya kotor dan menjemukan.

Tapi setelah berdandan rapi, jelas gayanya menjadi lain, kini kelihatan ganteng dan cakap.

Waktu ia berpaling, hampir saja Soat Koh pangling.

"Melihat potongannya yang gagah ini, mana mungkin dia seorang pencari kayu segala?" demikian si nona membatin dengan terkesima.

Sarapan pagi tetap dengan makanan kering, untuk ini Soat Koh memberi serpis gratis kepada Peng-say, ia tidak minta bayaran lagi.

Keempat kuda penarik kereta juga kenyang makan rumput dan mengaso satu malam, tenaganya telah pulih.

Peng-say memasang kuda penarik kereta itu, setelah siap, ia silakan si nona naik kereta, ia sendiri melompat ketempat kusir dan kereta lantas dihalau turun kembali kebawah gunung.

Posting Komentar