"Coba pikirkan, apa gunanya kereta ini nona tutup rapat2, bukankah kereta ini sudah berlubang seperti sarang tawon oleh karena dipanah oleh anak buah kawanan bandit itu.
Biarpun lubang2 itu tidak besar, tapi bagi orang she Tan itu tentu tidak sulit untuk mengetahui keadaan di dalam kereta." Rupanya nona she Soat itu memang berdusta.
Dia menyadari bukan tandingan Tan Goan-hay berlima, maka ketika tersusul dia lantas sembunyi di bawah kereta, dia bilang tidak takut, padaha! dia sangat ketakutan.
Cuma dasar wataknya memang suka menang, meski Soat Pengsay telah mengetahui rahasia keretanya dia tetap sengaja menganggap Soat Peng-say berhasil menipu Tan Goan-hay dan kawan2nya sekedar mengumpak anak muda itu.
Tak terduga Peng-say tidak tahu apa artinya pujian, dia berbalik membongkar kebohongan si nona sehingga terpaksa nona Soat itu tidak dapat membantah lagi.
Setelah dibuat kikuk, nona itu tidak ceriwis lagi seperti tadi, sampai setengah hari dia tidak bicara lagi.
Menjelang lohor, kereta mereka lalu di suatu dusun yang cukup banyak penduduknya.
Mendadak nona Soat itu berseru: "Berhenti! Berhenti!" Tapi Peng-say tidak menghiraukannya, sebaliknya tambah mencambuk kudanya sehingga dusun dilaluinya dengan cepat.
Nona Soat itu menjadi gusar, bentaknya: "Suruh kau berhenti, apakah kau tuli?" "Nona sudah lapar bukan?" tanya Peng-say.
"Ya, lekas putar balik ke sana, habis makan kenyang baru melanjutkan perjalanan," teriak si nona.
"Kuminta nona suka tahan lapar dulu, sampai malam nanti boleh makan dobel, makan siang malam sekaligus," ujar Peng-say.
"Berdasarkan apa kau membantah perintah?" bentak si nona.
"Kubilang putar balik ke sana maka harus lekas putar balik." Peng-say menghela napas, jawabnya: "Baiklah!" -Segera ia memutar kudanya ke arah datangnya tadi.
Tapi sebelum masuk ke kampung itu, mendadak Pengsay memutar keretanya lagi dengan cepat terus dibedal secepat terbang ke arah semula.
"He, kerja apa kau ini"!" teriak si nona dengan gusar.
"Silakan nona berpaling ke sana dan lihatlah sendiri," ujar Peng-say.
Waktu nona Soat itu membuka jendela dan melongok kebelakang, dilihatnya di dalam kampung sana ada lima penunggang kuda sedang tanya jalan kepada penduduk disitu, jelas itulah rombongan Tan Goan-hay, cepat ia menutup jendela pula dan berteriak: "Lekas lekas larikan kudanya lebih cepat!" Kiranya rombongan Tan Goan-hay itu telah meninggalkan barisan opas yang dipimpin Ong Cin-ek dan menguntit arah yang dituju kereta warna emas ini.
Kuda tunggangan mereka adalah kuda pilihan, meski setiap tiba di suatu kampung mereka harus tanya dulu kepada penduduk setempat kearah mana perginya kereta itu, tapi jarak pengejaran mereka makin lama makin dekat.
Untung mereka asyik tanya jalan kepada penduduk sehingga tidak melihat kereta warna emas itu berputar balik, kalau tidak, tidak sampai seminuman teh pasti akan disusul oleh mereka.
Beberapa kali Peng-say sengaja membelok kejalan simpang, akhirnya nona Soat itu merasa aman, katanya dengan tertawa: "He, Jilengcu (si dungu), namamu ini tidak baik.
Orang bernama Lengcu jika otaknya rada2 tolol, tapi tulus dan lugu.
Padahal kau tidak kelihatan bodoh, bahkan cukup pintar." "Terima kasih atas pujian nona," jawab Peng-say.
"Dan entah siapa nama nona yang terhormat?" "Namaku hanya satu huruf saja, yakni Koh." "Soat Koh" Soat Koh".
" Peng say mengulangi nama itu beberapa kali.
"Bagaimana, enak didengar atau tidak namaku?" "Ya, jauh lebih enak didengar daripada namaku?" ujar Peng-say dengan tertawa.
"Menurut cerita ibuku, pada waktu ibu mengandung diriku, kebetulan dilihatnya burung merpati salju terbang lewat di atas kepala beliau, nama lain daripada merpati salju adalah Soat-koh, kebetulan akupun she Soat, maka ibu lantas memberi nama Soat Koh padaku." "Pantas aku merasa nama Soat Koh sudah pernah kudengar, aku jadi ingat kepada gumam guruku waktu kami tinggal diatas gunung sana, setiap kali turun salju dan ada burung salju terbang lewat.
Suhu suka menyebut "Soat koh', tadinya kusangka guruku sedang terkenang kepada orang yang bernama Soat-koh, baru sekarang kutahu yang dimaksudkannya adalah merpati salju." "Kau juga punya Suhu?" tanya Soat Koh.
"Memangnya kau kira cuma kalian yang belajar silat saja yang punya guru dan orang udik pencari kayu seperti kami ini tidak punya guru?" jawab Peng-say dengan tertawa "Hendaklah maklum bahwa dalam segala pekerjaan pasti ada gurunya Pencari kayu juga perlu mengangkat guru, pada waktu hujan salju dan perlu mencari kayu lebih2 perlu diberi petunjuk oleh sang guru.
Kalau tidak, bukan mustahil akan kesasar diatas gunung bersalju, bahkan kalau kurang hati2 bisa terjerumus kejurang yang tertutup salju dan jiwapun bisa melayang." Mestinya Soat Koh hendak tanya siapa gurunya, tapi demi mendengar hanya seorang pencari kayu saja, ia menjadi malas bertanya.
Cuma diam2 iapun merasa kagum bahwa murid seorang pencari kayu ternyata cukup cerdas dan tangkas.
Begitulah Soat Peng-say menghalau keretanya menuju kejalan yang sepi, apabila ketemu jalan persimpangan, yang dipilih tentu adalah jalan yang kecil.
Keretanya tiba di suatu jalan persimpangan yang terdiri dari tiga jalan kecil yang sama, segera ia pilih satu jalan itu dan membelokkan keretanya ke Sana Jalan itu semakin jauh semakin sepi dan akhirnya tiba di lereng pegunungan yang jauh dari khalayak ramai.
Soat Koh tahu jalan pikiran Soat Peng-say, jelas anak muda itu sengaja hendak meloloskan diri dari pencarian Tan Goan-hay dan konco2nya, untuk Peng say sengaja menuju ke jalan yang sepi dari penduduk, dengan demikian sukar bagi rombongsn Tan Goan-hay untuk mencari keterangan.
Sementara itu hari sudah mulai gelap.
malam hampir tiba Soat Koh menjadi sedih, ia ragu malam nanti akan mondok di mana jika cara demikian perjalanannya" Akhirnya di jalan yang dilalui hanya tampak rumput dan batu belaka, orang berjalan kaki saja rasanya sulit melalui jalan pegunungan kecil ini, dengan sendirinya kereta mereka lebih2 tak keruan jalannya, guncangannya yang keras membuat orang kepala pusing.
Kuatir akan kesasar bila perjalanan diteruskan.
cepat Soat Koh berseru: "He, Jilengcu, bolehlah kita istirahat saja di sini!" Peng-say melihat keempat kuda penarik kereta juga sudah lelah, ia lantas memilih suatu tempat yang agak lapang dan menghentikan keretanya.
Soat Koh keluar dari kabin kereta dan memandang sekelilingnya, dilihatnya lereng gunung sana diliputi hutan lebat, sang surya sudah terbenam sehingga suasana sekitarnya terasa dingin dan kelam, tapi juga terasa tenang dan damai, membuat orang lupa pada keramaian duniawi.
Di sebelah sana ada sebuah selokan yang mengalirkan air yang bersumber pada sebuah gua dikejauhan sana, air selokan itu mengalir dengan tenang dan jernih.
Soat Koh mendaki selokan itu dan meraup air yang jernih itu untuk diminum, serunya dengan girang: "Jilengcu, lekas kemari, minumlah air sumber ini.
segar sekali rasanya!" Pelahan Peng-say mendekati selokan itu, katanya dengan tertawa: "Caramu minum itu terlalu banyak buang tenaga." Habis berkata ia terus bertiarap, kepalanya dibenamkan ke dalam air dan diminumnya air jernih itu, dalam Waktu singkat perutnya sudah penuh terisi air.
"Jilengcu," kata Soat Koh dengan tertawa, "Apakah pencari kayu seperti kalian ini biasanya memang suka minum cara kerbau begini?" Merasa nada pertanyaan orang mengandung ejekan, dengan ketus Peng-say menjawab: "Orang lelaki seperti kami tidak perlu berlaku halus segala, kalau haus ya minumlah sekenyangnya, kenapa mesti berlagak seperti perempuan"!" Soat Koh tahu meski otak anak muda itu tidak dungu, tapi sifatnya rada2 dogol, malahan boleh dikatakan tidak dapat merayu anak perempuan, benar2 pemuda udik sejati, maka pantaslah jika nama Jilengcu.
Maka dengan menggeleng ia berkata: "Jilengcu, dengarkan, biar kuajari kau sedikit sopan santun.
bicara dengan orang perempuan hendaklah halus dan ramah.
menghadapi urusan apapun mengalah, kalau tidak, selama hidupmu jangan mendapatkan bini yang baik.
Sebaiknya bila kau turut pada petunjukku, kutanggung tanpa membuang uang juga akan mendapatkan isteri cantik." Peng-say sengaja hendak bertengkar dengan dia, ia menjawab: "Ah, jangan nona menipu diriku si dogol ini.
mana ada urusan seenak itu di dunia ini, tanpa buang uang akan mendapatkan isteri cantik".
"Sekalipun kau punya uang juga tiada gunanya, memangnya kau kira perempuan baru mau menjadi isterimu jika uangmu banjak" Contohnya seperti diriku ini, biarpun kau tumpuk uangmu berlaksa tahil di depanku juga nonamu takkan terpikat olehmu." "Ai, masa engkau berani omong," Peng-say sengaja ber-olok2.
"Ke mana kuhalau kereta ini, ke sana pula kau ikut, jelas2 kau lengket padaku, masa bilang tidak bakal terpikat olehku?" Seketika Soat Koh mendelik, katanya: "Kurang ajar! Bicara yang benar, apa kau minta kubanting hingga setengah mampus"!" Melihat sikap si nona di waktu marah sangat mirip Cin Yak-leng, Peng-say jadi sengaja menggodanya, ia sengaja berlagak dungu dan berkata pula: "Ah, aku tidak percaya nona mampu membanting aku hingga setengah mati.
Asalkan kau tidak pakai panah, biarpun kau pukul tubuhku seratus kali juga aku takkan menjerit kesakitan, malahan kukuatir tangan nona yang putih dan halus itu akan .
" "Tutup mulut!" bentak Soat Koh.
Kuatir juga Peng-say kalau si nona benar2 naik pitam, ia lantas tutup mulut dan tidak berani omong lagi.
"Kemari kau!" bentak Soat Koh.