Naga Sakti Sungai Kuning Chapter 01

NIC

Laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan berotot, kokoh kekar membayangkan kekuatan yang hebat. Kepalanya seperti kepala harimau, rambutnya masih hitam kaku agak awut- awutan tersembul dari kain pengikat kepalanya. Mukanya jantan dan galak. Alis tebal hitam melindungi sepasang mata yang lebar dan tajam, bahkan kadang-kadang mencorong penuh wibawa, hidungnya besar mancung dengan lengkungan menonjol di tengah, mulutnya tertutup kumis yang dibiarkan tumbuh liar, dan dagu yang membayangkan kekerasan itu dihiasi jenggot pendek yang agaknya dipotong secara kasar. Andaikata dia merawat muka itu baik-baik, mudah dilihat bahwa wajah itu kelihatan menyeramkan. Pakaiannya sederhana dari kain yang kasar dan tebal kuat, biar sederhana sekali namun cukup bersih seperti juga rambut, jenggot dan kumisnya yang tidak terawat itu nampak bersih dan sering dicuci.

Dia duduk diatas sebuah bangku menghadapi meja, sedang makan. Keadaan dalam pondok itupun amat sederhana, seperti keadaan pemiliknya. Sebuah pondok kayu yang kecil saja, tidak memeliki kamar, dengan dua jendela di depan belakang, dan dua pintu di depan belakang pula. Di dalam pondok terbuka begitu saja dan agaknya dia tidur, makan dan melakukan segalanya di satu ruangan itu saja. Ruangan itu hanya diisi meja dan sebuah bangku, ada pula dipan kayu di sudut yang lain. Membayangkan kemiskinan, bukan sekedar kesederhanaan.

Di dalam pondok kayu beratap daun kering itu hanya mempunyai sebuah hiasan, atau mungkin juga tidak dimaksudkan, sebagai hiasan. Di dekat dipan terdapat sebuah rak senjta dan nampak beberapa macam senjata disitu. Tombak, golok, ruyung yang kesemuanya mempunyai ukuran besar dan berat.

Di tengah-tengah pondok, kini persis didepan mukanya ketika dia duduk menghadapi meja tergantung sebuah benda yang akan membuat orang lain bergidik ngeri. Benda itu sebuah kepala ! Kepala yang mongering, akan tetapi masih lengkap. Agaknya kepala itu direndam semacam obat yang membuat kepala itu tidak menjadi busuk. Masih dapat dilihat jelas bentuk muka itu. Sebuah muka laki-laki yang masih muda, tidak lebih dari tahun usianya, tentu saja pucat seperti muka mayat, dengan mata terbuka tanpa sinar sama sekali, seperti mata boneka. Mulutnya juga agak terbuka menyeringai seperti orang ketakutan atau kesakitan. Kepala itu tergantung pada rambutnya yang hitam panjang seperti rambut wanita dan tentu saja amat mengerikan. Setiap ada angin bersilir masuk, kepala itu bergoyang-goyang seperti menengok ke kanan kiri, mencari sesuatu.

Sunyi saja di dalam pondok itu. Pria itu makan tanpa mengeluarkan bunyi. Melihat keadaan tubuhnya dan kesederhanaannya, sungguh mengherankan melihat cara dia makan. Biasanya, orang yang hidupnya sederhana dan kasar seperti itu, kalau makan mengeluarkan bunyi, seperti mengecap-ngecap makanan dalam mulut, menggerak- gerakkan sumpit di pinggiran mangkok. Akan tetapi, orang ini makan seperti seorang terpelajar, orang yang biasa dengan aturan dan tatasusila. Mulutnya mengunyah makanan dengan bibir hampir terkatup, juga sepasang sumpitnya digerakkan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan bunyi. Diatas meja itu terdapat dua piring masakan sayur dan daging, sederhana saja karena dimasaknya sendiri dan semangkok besar nasi.

Akan tetapi diatas meja dekat mangkok nasi itu terdapat sebuah botol besar dan kalau orang melihat botol besar ini, tentu dia akan menjadi terkejut, ngeri dan seram. Botol itu berisi anggur merah yang merendam sebuah Kepala pula.

Sebuah kepala seorang wanita. Masih nampak uth seolah- olah masih hidup. Kulit mukanya yang putih bersih, sebagian leher yang mulus, rambut yang halus hitam panjang itu sebagian berada di luar botol. Mata kepala wanita itupun terbuka, mulutnya sedikit terbuka memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara. Namun bibir yang indah bentuknya itu tidak merah lagi, melainkan membiru, mengerikan !

Pria itu mengambil botol dengan tangan kiri, menuangkan anggur dari botol dengan hati-hati ke dalam sebuah cawan, sambil memandang muka kepala wanita itu, meletakkan kembali botol besar dengan muka itu menghadap padanya, dan dia pun tersenyum. Makin jelas nampak ketampanan wajah setengah tua itu ketika dia tersenyum. Lalu diminumnya anggur dalam cawan itu, matanya ki ni tetap memandang wajah kepala wanita dalam botol besar.

Ditaruhnya cawan kosong itu ke atas meja kembali. Dia sudah selesai makan dan kini duduk termenung, memandang wajah dalam botol, lalu terdengar dia bicara lirih seperti kepada diri sendiri, akan tetapi jelas ditujukan kepada wajah dalam botol itu.

“Hui Cu, pagi ini kau nampak semakin cantik saja ! Ah, engkau mengingatkan aku akan malam pengantin kita …… ah, betapa mesranya, betapa hangatnya, betapa manisnya ……” Dia memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali dan memandang wajah kepala wanita itu, jari tangannya bergerak mengelus rambut yang terjurai keluar dari botol dengan gerakan tangan mesra.

“Ketika itu engkau berusia delapan belas tahun, dan aku dua puluh lima tahun. Kita saling bersumpah untuk saling mencinta sampai mati dan kita saling curahkan cinta kita. Betapa mesranya, Hui Cu. Kemudian setiap malam, ya… hampir setiap malam, kita bermalam pengantin seperti itu. Aku semakin mencintaimu, aku tergila-gila kepadamu . akan tetapi

….. baru setahun, engkau mulai berubah ……”

Tiba-tiba dia menyambar sepasang sumpit didepannya, tubuhnya tak bergerak dan matanya setengah terpejam. Dia memusatkan perhatiannya kepada pendengarannya karena telinganya yang terlatih menangkap suara yang tidak wajar. Lalu dia bersikap biasa kembali, hanya saja tangan kanannya masih memegangi sepasang sumpit. Dan dia sudah melanjutkan “pembicaraannya” kepada wajah wanita dalam botol.

“Dan ketika dia datang ……” Dia menengok kearah kepala yang tergantung ke tengah ruangan dan yang kini kebetulan berputar menghadap padanya dan agaknya menyeringai lebih lebar dari biasanya, “…….dia si mulut manis, si perayu besar, sahabatku yang tadinya amat kusayang, sahabat yang ternyata berkhianat dan palsu, engkau pun jatuh! Ternyata engkau lebih menyukai sikap yang bermanis muka, rayuan- rayuan sikap gombal daripada sikapku yang selalu terbuka dan jujur. Bahkan, ketika aku mencoba kalian, sengaja aku berpamit pergi untuk suatu keperluan, kalin sudah berani mengkhianatiku, berzina didalam kamar kita, diatas ranjang pengantin kita. Aku menahan kemarahan, menantang Kun Tian keluar, untuk bertanding sebagai dua orang laki-laki, memperebutkan engkau ….”

Tiba-tiba nampak sinar kecil berkelebat kearah pria itu. Dengan sikap tenang sekali, pria itu menggerakkan tangan kanannya dan dilain saat sepasang sumpit itu telah menangkap atau menjepit sebatang senjata piauw beronce merah yang ujungnya menghitam dan berbau amis, tanda bahwa piauw itu beracun.

Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pria itu kini melanjutkan kata-katanya yang ditujukan kepada wajah kepala wanita dalam botol.

“Engkau menjadi saksi perkelahian kita yang adil. Aku berhasil merobohkannya, akan tetapi betapa sakitnya hatiku melihat engkau menubruk mayatnya dan menangisinya. Engkau terang-terangan lebih memberatkan dia daripada aku, suamimu yang sah. Hal ini tak dapat kutahan lagi, Hui Cu. Aku memenggal lehermu, juga leher Kun Tian. Aku terlalu cinta padamu, biarlah kepalamu selamanya dekat dengan aku, biarlah setiap hari aku minum anggur yang merendam kepalamu, dan biarlah kepala dia melihatnya dan merasa iri. Ha-ha-ha!” tiba-tiba saja pria itu tertawa bergelak, seperti orang mabuk dan kini dia memandang kepada muka kepala laki-laki yang tergantung di tengah ruangan. Akan tetapi, kalau mulutnya terbuka lebar tertawa bergelak, sepasang mata pria itu basah oleh air mata. Dia menaangis sambil tertawa, tanpa terisak. Sungguh dapat dibayangkan betapa besar penderitaan batin pria ini, yang belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

Dan agaknya, bukan dia saja yang tidak melupakan peristiwa itu. Pihak lawannya, yang kepalanya kini tergantung ditengah ruangan pondoknya, agaknya juga tidak melupakannya.

Orang yang bernama Coa Kun Tian itu adalah putera ketua perkumpulan Hek-Houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam), sebuah perkumpulan yang amat terkenal disepanjang lembah Sungai Kuning. Putera ketua Hek-houw-pangini adalah seorang pemuda berilmu tinggi yang tampan dan gagah menjadi kebanggan perkumpulan Hek-houw-pang yang memang terdiri dari orang-orang gagah. Hanya saying sekali, ketampanan wajah dan kegagahan Coa Kun Tian ini dinodai oleh wataknya yang mata keranjang dan hidung belang. Dia mudah jatuh kalau berhadapan dengan wanita cantik, dan sekali tertarik, dia suka mata gelap dan berusaha merayu sedapatnya untuk merayu wanita itu, tidak peduli wanita itu sudah ada yang punya ataukah belum. Dan biasanya, karena dia gagah dan tampan, pandai merayu, maka jarang ada rayuan-rayuannya yang gagal. Jarang ada wanita yang mampu menolak rayuannya. Demikian pula Phang Hui Cu, isteri pria tinggi besar yang berada di pondok itu, ia jatuh menghadapi rayuan dan ketampanan Coa Kun Tian sehingga dengan penuh gairah melayani hasrat laki-laki itu dan mereka berzina didalam rumah dan kamar suami Hui Cu.

Setelah Coa Kun Tian tewas, gegerlah perkumpulan Hek- Houw-pang. Apalagi setelah mendengar bahwa putera ketua itu tewas di tangan Liu Bhok Ki, seorang pendekar yang menjadi sahabat baik Coa Kun Tian, bahkan menjadi orang yang dihormati oleh Hek-houw-pang ! Hek-houw-pang yang dipimpin ketuanya, tidak tinggal diam saja. Coa Liong, ketua Hek-houw-pang tidak membiarkan puteranya terbunuh tanpa dibalas. Dia lalu mencari Liu Bhok Ki, pendekar yang tadinya menjadi sahabatnya dan sahabat puteranya. Terjadi perkelahian mati-matian dan akhirnya, para anak buah Hek- houw-pang terpaksa membawa pulang jenazah ketua mereka dengan hati penuh duka.

Posting Komentar