Mutiara Hitam Chapter 45

NIC

Kakek itu telah mengorbankan diri demi keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih bergoyang-goyang. Dari mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir darah segar. Dua orang kakek itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa melawan, begitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini? Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua.

"Siancai.. siancai.. legalah hatiku sekarang.. kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat.."

"Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?"

Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.

"Siansu, kami bersumpah akan mentaati pesanmu sampai mati"

Kata pula Pak-kek Sian-ong.

"Anak-anak yang baik,"

Kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak kecil saja.

"Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah."

Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini menangis terisak-isak. Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan mukanya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheranan. Siangkoan Li segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.

"Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu.."

Mendadak Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh menoleh lalu membentak,

"Aku tidak mempunyai murid macam engkau."

Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka.

"Suhu, harap maafkan teecu. Teecu datang menghadap mohon nasihat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang menjadi perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan..?"

Kini Lam-kek Sian-ong yang membalikkan tubuh dan menoleh. Ia masih duduk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik,

"Engkau orang jahat. Engkau tokoh Thian-liong-pang yang menjemukan. Pergi.. dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini"

"Cukup. Engkau membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan Ayahmu menjadi runtuh berantakan. Kau kira kami tidak mengetahui sepak terjangmu? Kami tidak sudi mempunyai murid macam engkau"

Kata Pak-kek Sian-ong.

"Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twako, kau bikin dua orang muda ini kecewa saja"

Si Muka Merah mengejek.

Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua orang suhunya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi, mengejek dan menghina Kwi Lan. Wajah pemuda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangan semangat. Ia masih berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang kakek itu mohon dikasihani. Akan tetapi kedua orang gurunya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka merah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.

Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu. Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa. Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini, melihat betapa Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahankan lagi. Ia melompat maju dan memaki.

"Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan sekali. Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehendak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian. Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasihat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?"

Ia lalu memegang lengan Siangkoan Li, ditariknya pemuda itu bangun dari berlutut, digandengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.

"Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan menyandarkan pendirianmu kepada orang-orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun ditanggung sendiri. Itu baru laki-laki namanya"

"Hi-hi-hik.."

Pak-kek Sian-ong mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.

"Ha-ha-ha-ha"

Lam-kek Sian-ong juga tertawa. Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Beberapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang gurunya tadi hanya mencobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.

Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung dusun tak jauh dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan membujuk dan menghiburnya dan atas bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi. Hari telah siang, akan tetapi warung yang sederhana itu masih kosong, tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk melenggut di sudut sebelah depan. Biarpun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelanja.

Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan tetapi sisa-sisa di atas meja itu membuktikan bahwa pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa makanan di atas meja, akan tetapi pengemis itu tidak peduli dan duduk melenggut, agaknya tertidur setelah kekenyangan makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja dan kalau orang memperhatikannya, tentu akan menjadi heran melihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya pun terpelihara baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala berikut mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar merah.

Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu kali ke arah pengemis ini, sungguhpun merasa heran namun tidak bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini pun hanya seorang di antara anggauta perkumpulan-perkumpulan itu yang sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga Siangkoan Li terlalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu sibuk dengan usahanya menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa lagi kepada Si Pengemis yang masih duduk melenggut di atas kursinya.

"Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu, betapapun lihainya, tak lain hanya orang-orang yang pernah juga menyeleweng daripada jalan benar? Untuk apa memikirkan mereka? Yang paling perlu, percaya kepada diri sendiri untuk memperbaiki hidup, menghapus semua yang kotor dan mulai dengan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat jantanmu? Bangkitlah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada gunanya."

Posting Komentar