Lembah Selaksa Bunga Chapter 01

NIC

Pagi itu masih gelap kelam, remang-remang karena sinar matahari masih lemah sekali. Mataharinya sendiri belum tampak, agaknya masih jauh di balik bukit itu, baru mengintai dengan sinarnya yang masih lemah.

Dari kaki bukit tampak bayangan seorang gadis berjalan mendaki bukit memasuki hutan. Agaknya ia sakit karena jalannya mulai terhuyung, namun ia memaksa dirinya melangkah terus mendaki sampai di lereng bukit yang pertama. Akan tetapi agaknya ia tidak kuat lagi dan akhirnya tubuhnya yang limbung itu roboh terkulai, telentang dengan lemah.

Agaknya, bau tanah dan rumput yang masih basah oleh embun, amat menyejukkan dan terasa nyaman sekali bagi tubuhnya yang lemah lunglai seperti kehabisan tenaga. Sambil rebah telentang, matanya yang cekung di wajahnya yang pucat itu menatap ke atas, ke daun-daun pohon yang menutupi langit di atasnya. Ia diam saja, tak bergerak, merasakan nikmatnya udara dingin yang memeluknya, bagaikan orang tidur dengan mata terbuka.

Sinar matahari yang mulai menguat menerobos celah-celah daun pohon, menggugah burung-burung yang semalam tidur bergerombol di antara ranting dan daun. Mulailah burung-burung itu terbangun dan hutan itu pun mulai sibuk dengan suara kehidupan. Burung-burung berceloteh riang dan ramai, dan sinar matahari mulai menerangi daun-daun, membuat mata wanita itu dapat menangkap burung-burung yang tadinya hanya dapat didengar kicau mereka saja.

“Aku seperti mereka ” gadis itu menggumam dan wajahnya yang tampak pucat dan kusut itu mulai agak

bercahaya dan bola matanya bergerak-gerak mengikuti burung-burung yang berceloteh sambil meloncat- loncat dari ranting ke ranting, menggerakkan daun-daun sehingga mutiara-mutiara embun yang bergantungan pada ujung daun-daun itu runtuh ke bawah. Ada tetesan air embun yang membasahi muka pucat itu, menimbulkan senyum lemah karena embun dingin itu sedikit banyak mendatangkan kesegaran.

Ketika burung-burung mulai beterbangan meninggalkan pohon, agaknya hendak mulai dengan tugas mereka sehari-hari untuk mencari makan penyambung hidup, gadis itu menahan senyumnya.

“Aku seperti mereka, terbang bebas seorang diri di dunia ini ”

Satu demi satu atau bergerombol tiga-empat ekor, burung-burung itu meninggalkan pohon besar di bawah mana gadis itu rebah telentang. Kini tinggal tiga ekor burung yang berada di dahan paling bawah sehingga gadis itu dapat melihat mereka dengan jelas.

Setelah memandang dengan penuh perhatian sejenak, gadis itu mengerutkan alisnya. Seekor burung betina hinggap di ujung dahan, menyendiri, dan tak jauh darinya seekor burung betina lainnya berkasih-kasihan dan bermesraan dengan seekor burung jantan! Keduanya bercumbu, seolah hendak pamer kepada burung betina yang menyendiri itu.

Selagi sepasang burung yang berkasih-kasihan itu berkicau riang gembira, burung betina yang menyendiri itu mengeluarkan bunyi bercicit lemah. Dalam pendengaran gadis itu, suara burung betina ini demikian menyedihkan dan mengharukan! Teringat ia akan dirinya sendiri yang nasibnya sama dengan burung betina itu! Ia terpaksa meninggalkan pemuda yang dicintanya karena pemuda itu memilih gadis lain sebagai pasangannya!

Tiba-tiba sepasang matanya mencorong, tangan kanannya meraup dan menggenggam tanah di dekatnya dan sekali tangannya bergerak melemparkan genggaman tanah itu ke atas, dua ekor burung yang sedang bermesraan itu jatuh ke bawah.

“Jahanam keparat!” Gadis itu seolah-olah mendapat tenaga baru dan ia lalu bangkit duduk, memandang kepada dua bangkai burung yang jatuh dekat di depannya. Mula-mula mata yang mencorong itu memandang puas, akan tetapi lambat laun sinar yang tadi mencorong itu mulai meredup, kemudian alisnya berkerut dan mata itu mulai terbelalak.

Dalam pandang matanya, dua ekor bangkai burung itu tampak sebagai jenazah sepasang orang muda, seorang gadis cantik jelita dan seorang pemuda tampan perkasa! Kemudian, gadis itu menjerit, menangis dan menjambak-jambak rambutnya yang hitam lebat sehingga sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu menjadi riap-riapan menutupi mukanya!

“Aduh Lian Hong...... Tek Kun...... apa yang telah kulakukan ini......? Ahhh, maafkan aku...... aku hu-hu-

huu......!” Ia menangis tersedu-sedu sampai lama, dan tangisnya makin lama semakin melemah dan akhirnya ia terkulai pingsan dengan tubuh telentang!

Gadis itu adalah Nyo Siang Lan yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li (Iblis Betina Terbang), seorang tokoh kang-ouw yang selain tinggi ilmu silatnya, juga terkenal liar dan ganas sekali. Gadis berusia sekitar duapuluh satu tahun ini adalah murid mendiang Pat-jiu Kiam-ong. Bersama sumoinya (adik seperguruannya) Ong Liang Hong, puteri kandung gurunya itu, ia melakukan balas dendam dan membunuh musuh-musuh besar Pat-jiu Kiam-ong yang dibunuh secara curang oleh para musuhnya.

Dalam usaha balas dendam ini, ia bertemu dengan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun, pendekar Kun-lun-pai yang tampan dan gagah perkasa. Baru pertama kali selama hidupnya, Nyo Siang Lan jatuh cinta kepada Sim Tek Kun.

Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pemuda putera Pangeran Sim Liok Ong itu adalah tunangan dari Ong Lian Hong, sumoinya! Maka, terpaksa ia meninggalkan mereka, dua sejoli yang saling mencinta. Ia pergi dengan perasaan tidak karuan, setengah merasa bahagia karena keberuntungan sumoinya, dan setengah lagi sengsara karena putus cinta.

Selama hampir satu bulan berlari-lari tanpa tujuan sampai akhirnya pada pagi hari itu ia terjatuh di dalam hutan di lereng bukit itu karena kelelahan. Berhari-hari ia lupa makan lupa tidur, terombang-ambing oleh perasaan yang menekannya, membuatnya hampir menjadi gila.

Tadi, melihat sepasang burung bermesraan di samping seekor burung betina yang kesepian, ia teringat akan diri sendiri dan timbul amarahnya sehingga ia membunuh sepasang burung itu. Akan tetapi sepasang burung itu dalam pandang matanya seperti berubah menjadi seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan, yaitu Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun!

Tapi Lian Hong adik seperguruan yang disayangi dan dianggap seperti adiknya sendiri dan Sim Tek Kun satu-satunya pemuda di dunia ini yang dicintanya! Maka begitu melihat bayangan mereka pada dua bangkai burung yang dibunuhnya itu, ia terkejut, menyesal dan bersedih sekali, merasa seolah ia telah membunuh mereka yang ia sayangi itu karena cemburu. Ia menjerit-jerit minta ampun, menangis sejadi-jadinya sampai akhirnya ia terkulai pingsan saking tidak kuat menahan gelora hatinya.

Tubuh gadis itu tergolek pingsan, dengan rambut tergerai dan mukanya pucat sekali, matanya terpejam dan pernapasannya demikian lemah dan halus seperti orang mati. Pakaiannya kusut dan wajahnya sebagian tertutup rambutnya yang terurai, namun tetap saja mudah dilihat betapa cantik wajahnya dan betapa menggairahkan tubuh gadis yang bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar dengan indahnya itu.

Nyo Siang Lan yang berjuluk Hwe-thian Mo-li memang terkenal sebagai seorang dara perkasa yang cantik jelita, berusia duapuluh satu tahun. Tubuhnya sedang ramping dengan lekuk lengkung sempurna, kulitnya putih kuning mulus dan lembut. Rambutnya hitam lebat dan panjang berikal mayang sehingga biarpun kini sanggulnya terlepas sehingga tergerai, masih tampak indah. Anak rambut yang lembut melingkar di pelipis dan atas dahinya.

Sepasang matanya bagaikan bintang, bening tajam dan agak lebar, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya membuat setiap orang laki-laki yang memandangnya menjadi tergila-gila. Sulit setelah sekali melihat melupakan sepasang bibir yang lembut, penuh, dan kemerahan karena sehatnya itu dan kalau tersenyum sehingga agak terbuka, memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan rapi, rongga mulut dan lidah yang ujungnya merah muda dan sehat.

Siang Lan yang pingsan itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu belasan orang muncul dan menghampirinya. Mereka itu datang dari lereng atas dan orang-orang ini mengenakan pakaian yang aneh karena pakaian mereka itu dilukis kembang-kembang beraneka ragam dan warna sehingga nampak indah mencolok akan tetapi juga aneh.

Biasanya hanya kaum wanita saja yang mengenakan pakaian berkembang-kembang seperti itu. Seorang di antara mereka yang usianya sekitar empatpuluh tahun dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias kembang-kembang hidup, berjongkok memeriksa Siang Lan.

Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan semua anggauta badannya tampak besar, kepalanya, matanya, hidung dan mulutnya yang menyeringai, semua tampak lebih besar daripada manusia umumnya. Dia tampak terkejut heran dan senang melihat gadis yang demikian cantiknya tergolek di situ dan ternyata masih hidup. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang pingsan itu memiliki sebatang pedang dalam sarung yang amat buruk, dia mengerutkan alisnya. Diambilnya pedang itu dan dicabutnya dari sarung pedang.

Bukan main kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang itu berkilauan saking tajamnya. Tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang biasa dan orang yang memiliki pedang pusaka seperti itu tentu bukan orang sembarangan pula. Maka dia menyarungkan kembali pedang itu dan menyerahkannya kepada seorang anak buahnya. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah di kedua pundak dan punggung Siang Lan.

Setelah itu dia sendiri mengangkat dan memanggul tubuh gadis yang lemas itu dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengikutinya naik ke bukit itu. Anak buahnya tampak gembira dan tertawa-tawa mengikuti pemimpin mereka yang memanggul tubuh Siang Lan naik ke arah puncak bukit. Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah lembah bawah puncak yang teramat indah.

Sungguh luar biasa sekali keadaan lembah itu karena sebagian besar tanah di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka bentuk dan warna. Hampir semua bunga yang ada di negeri itu agaknya terkumpul di lembah ini! Lembah yang amat luas itu dipenuhi beribu-ribu tanaman bunga sehingga kalau orang berada di tempat itu dia akan merasa seperti berada di taman sorga! Beraneka keharuman bunga memenuhi udara, menyegarkan pernapasan.

Posting Komentar