Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 51

NIC

Mereka lalu diajak masuk oleh Pek-hwa Sianli dan mereka bertiga duduk di ruangan dalam. Dua orang gadis kembar itu memandang ke kanan kiri.

“Kenapa begini sepi, Sian-li?” tanya A-kim, sebutan yang digunakan Pek-hwa Sianli untuk mempersingkat nama Can Kim Siang.

“Di mana A-hui dan A-kui, Sian-li?” tanya pula A-gin atau Can Gin Siang.

Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba wajah Pek-hwa Sianli yang tadinya gembira itu berubah menjadi muram dan alisnya berkerut, matanya mencorong mengandung kemarahan.

“Eh, ada apakah, Sian-li?” tanya A-kim.

“Aku telah membunuh mereka dan mayat mereka kukubur di kebun belakang!”

“Kaubunuh mereka? Akan tetapi…… kenapakah?” tanya A-gin, terkejut mendengar bahwa Pek-hwa Sianli membunuh dua orang pelayan yang juga dapat dibilang murid kakak misannya itu.

Pek-hwa Sianli menghela napas panjang beberapa kali lalu memandang wajah kedua orang gadis kembar itu. Ia melihat betapa mereka itu ingin tahu sekali.

“Kalau diingat membuat hatiku terasa seperti ditusuk-tusuk. A-kim dan A-gin, aku merasa sakit hati sekali. Aku dikhianati, dibikin malu dan dihina orang tanpa aku dapat menghajarnya karena aku. aku

kalah olehnya. Ah, kalau saja kalian mau menolongku, mencari dan membunuh jahanam itu. Hanya kalian berdualah yang menjadi tumpuan harapanku untuk membalas dendam ini.”

“Sian-li, apakah yang terjadi? Ceritakan kepada kami,” kata A-kim. “Percayalah, kami berdua pasti akan membelamu.”

“Beberapa bulan yang lalu,” Pek-hwa Sianli mulai bercerita. “Aku bertemu dengan seorang laki-laki dan aku jatuh cinta padanya. Dia pandai merayuku dan berjanji akan menikah denganku. Karena terbujuk oleh rayuannya dan karena aku memang kagum dan cinta padanya, aku percaya. Dia bahkan tinggal di rumah ini selama tiga bulan. Kami telah menjadi suami isteri, hanya tinggal menanti saat yang baik untuk merayakan pernikahan kami. Akan tetapi tiba-tiba…… belasan hari yang lalu aku memergoki calon suamiku itu berjina dengan A-hui dan A-kui! Melihat pengkhianatan itu, aku menjadi marah, malu dan merasa terhina, maka aku membunuh A-hui dan A-kui! Akan tetapi ketika aku menyerang laki-laki itu, aku. kalah olehnya. Aku bahkan diejek dan dihinanya, dimaki-maki karena aku membunuh A-hui dan A-kui....... ah, dia menghinaku dan dendam di hatiku ini baru akan hapus kalau dia dapat ter-bunuh! Maka, kedatangan kalian berdua inilah yang menimbulkan harapan dalam hatiku. A-kim dan A-gin, kalian carilah laki-laki itu dan bunuhlah dia! Aku akan berterima kasih sekali kepada kalian kalau kalian mau dan dapat membunuhnya!”

A-kim dan A-gin saling pandang. Tentu saja mereka ikut bersedih dan marah mendengar cerita Pek-hwa Sianli. Biarpun mereka merasa segan mencampuri urusan cinta gagal karena tindakan serong ini, namun mereka berdua merasa berhutang budi amat besar kepada Pek-hwa Sianli sehingga rasanya keterlaluan kalau mereka tidak mau membantu Pek-hwa Sianli membalaskan sakit hatinya.

“Siapa nama laki-laki itu dan di mana dia tinggal, Sian-li?”

“Namanya Thio Kam Ki dan dia adalah murid Leng-hong Hoatsu pertapa dari Himalaya yang amat terkenal itu. Usianya sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan, pakaiannya mewah dan sikapnya ramah.”

“Dan di mana kami dapat menemukan dia?”

Pek-hwa Sianli menarik napas panjang. “Itulah yang membuat aku bingung dan sedih. Dia menurut ceritanya kepadaku, dia yatim piatu dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi aku percaya bahwa setelah tiga tahun memperdalam ilmu silat kalian pada bibi-guru Hoa-san Kui-bo, tentu kalian berdua telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dan dengan kepandaianmu itu kalian dapat mencari Kam Ki sampai ketemu dan membunuhnya untuk membalaskan dendamku. Maukah kalian melakukan hal itu?”

Dua orang gadis kembar itu saling pandang lalu mengangguk. A-kim dan A-gin tinggal selama sepekan di rumah Pek-hwa Sianli, kemudian mereka meninggalkan rumah dan mulai melakukan perjalanan mencari pemuda bernama Thio Kam Ki itu. Mereka memang sudah mendapat ijin dari Hoa-san Kui-bo untuk turun gunung dan merantau.

Berbeda dengan watak Pek-hwa Sianli yang menjadi hamba nafsunya sendiri, sepasang gadis kembar ini memiliki watak yang baik karena hatinya memang memang bersih. Biarpun sejak usia sembilan tahun mereka dididik Pek-hwa selama tujuh tahun kemudian selama tiga tahun mereka dididik Hoa-san Kui-bo yang merupakan seorang datuk sesat, namun kesesatan dua orang guru mereka itu tidak menurun kepada mereka. Mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat dan mereka selalu berusaha untuk berbuat baik dan pantang melakukan kejahatan.

Pek Hwa Sian-li yang memiliki harta benda itu membelikan dua ekor kuda untuk mereka berdua dan memberi bekal emas dan perak yang cukup banyak untuk biaya mereka di perjalanan. Maka berangkatlah Can Kim Siang dan Can Gin Siang meninggalkan Kim-ke-san (Bukit Ayam Emas) tempat tinggal Pek-hwa Sianli itu.

Pagi hari itu udara cerah sekali. Agaknya hujan semalam suntuk telah menghabiskan semua awan mendung sehingga kini yang tertinggal di langit hanya awan-awan tipis yang tidak mampu menghalangi matahari memancarkan sinarnya yang gemilang. Sinar matahari pagi hari itu seolah mendatangkan kehidupan baru setelah semalam terjadi hujan badai yang dahsyat. Malam gelap pekat, pekat yang menyeramkan, dengan air hujan deras, kilat menyambar-nyambar, angin mengamuk. Akan tetapi pagi ini mengubah segala keburukan semalam, diganti dengan keindahan dan kenyamanan, penuh harapan. Sinar matahari menghidupkan segala sesuatu. Burung-burung yang semalam merasa dunia ini seolah kiamat, membuat mereka ketakutan karena pohon di mana mereka tinggal diguncang hujan badai, kini berceloteh gembira, sudah lupa lagi akan keburukan semalam, beterbangan berkelompok-kelompok menuju ke tempat tertentu di mana mereka tahu terdapat makanan untuk hari ini.

Tiga orang penunggang kuda agaknya juga menikmati keindahan pagi itu. Mereka menjalankan kuda dengan santai di kaki Siong-san (Bukit Siong) sebelah utara. Ketiganya masih muda-muda, seorang gadis dan dua orang pemuda.

Setelah tiba di jalan yang menuju ke lereng bukit itu, mereka menahan kuda dan memandang ke atas dengan mata mencari-cari. Akan tetapi yang tampak dari situ hanyalah pepohonan bergerombol, hutan- hutan lebat.

“Li-ko, apakah ini benar Bukit Siong yang dimaksudkan?” tanya Ui Kong, pe-muda tampan tinggi tegap itu.

Ong Siong Li, pemuda tampan bertubuh agak pendek itu mengangguk-angguk. “Tidak salah lagi, Kong-te. Aku pernah beberapa kali lewat dekat Siong-san ini, akan tetapi belum pernah mendaki ke atas.”

“Kuyakin Li-ko benar. Tempat ini memang amat baik untuk dijadikan sarang perkumpulan macam Pek- lian-kauw. Bukit ini penuh hutan lebat dan di sekitar sini tidak terdapat dusun. Daerah yang sepi begini tentu saja tepat untuk dijadikan tempat persembunyian perkumpulan sesat itu,” kata Lim Bwee Hwa.

Siong Li mengerutkan alisnya, sinar matanya meragu ketika dia memandang ke atas. “Hemm, tempat ini berbahaya. Selain penuh hutan lebat, juga perlu dipikirkan segala kemungkinan yang dapat menyulitkan kita. Aku mendengar bahwa perkumpulan Pek-lian-kauw selain memiliki pimpinan yang lihai, juga mempunyai banyak anggauta. Mungkin saja mereka mempunyai puluhan bahkan ratusan orang anggauta. Kalau kita bertiga mendatangi sarang mereka, mungkinkah kita dapat melawan pengeroyokan mereka? Pek-lian-kauw adalah perkumpuian penjahat dan pemberontak yang selalu dimusuhi pemerintah. Apakah tidak lebih baik kalau kita mencari bala bantuan, melaporkannya kepada komandan pasukan keamanan pemerintah di kota terdekat? Pasukan dapat menghadapi anak buah mereka dan kita mencari pembunuh Paman Ui Cun Lee, membasmi dia dan para pimpinan Pek-lian-kauw.”

“Aku tidak takut akan pengeroyokan mereka, Li-ko!” Bwee Hwa berkata pena-saran. “Kita harus membalas kematian Paman Ui dan dapat merampas kembali patung Kwan-im Pouw-sat!”

“Aku juga tidak takut! Untuk membalas dendam kematian ayahku, aku siap berkorban nyawa!” kata Ui Kong.

Siong Li menghela napas panjang dan berkata kepada mereka. “Hwa-moi dan Kong-te, aku juga tidak takut. Akan tetapi menghadapi musuh yang keadaannya lebih kuat dari kita karena jumlah mereka banyak, tidak cukup bermodal keberanian belaka. Kita berani, namun harus memakai perhitungan agar tidak merugikan kita sendiri.”

“Apa sih yang perlu dikhawatirkan, Li-ko? Kepandaian tosu Pek-lian-kauw bermuka putih itu tidak seberapa, kita pasti akan mampu membasmi dia dan anak buahnya!” bantah Bwee Hwa. “Benar, Li-ko. Kita bertiga cukup kuat untuk membasmi gerombolan jahat itu!” kata pula Ui Kong yang selain mendukung Bwee Hwa juga ingin menonjolkan keberaniannya untuk menarik hati Bwee Hwa.

Akhirnya Siong Li mengalah. Tentu saja dia tidak mau berbantahan dengan dua orang itu. “Baiklah kalau begitu, mari kita mendaki bukit ini. Akan tetapi kuharap kalian waspada dan berhati-hati.”

Mereka bertiga lalu menjalankan kuda melakukan pendakian bukit Siong dengan hati-hati dan kini ketiganya tidak bercakap-cakap lagi. Mereka telah tiba di wilayah sarang Pek-lian-kauw.

Tiga orang ini tidak tahu bahwa sejak tadi kedatangan mereka telah diketahui lawan! Bukit itu memang terjaga dengan ketat dan ketika mereka bertiga berhenti tadi, mereka telah terlihat oleh seorang anggauta Pek-lian-kauw dan begitu mereka bertiga mengambil jalan pendakian, jalan yang dibuat oleh Pek-lian-kauw, anggauta itu segera berlari dan melaporkan kepada pimpinannya.

Mendengar laporan ini, Kam Ki mengajak Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko untuk melihat. Dari tempat ketinggian mereka mengamati ke bawah dan tak lama kemudian mereka dapat melihat tiga orang penunggang kuda yang sedang mendaki itu. Mereka sudah tidak begitu jauh lagi. Pandang mata Kam Ki yang tajam dapat melihat betapa seorang di antara tiga orang penunggang kuda itu adalah seorang gadis yang amat cantik.

Posting Komentar