Tiga orang itu saling pandang. Biarpun pemuda ini mengaku murid Hwa Hwa Cinjin dan sudah membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan Hek-bin Moko dan enambelas orang anak buah, akan tetapi kalau mereka maju bersama, tidak mungkin mereka akan kalah.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kami terima tantanganmu, Kam Ki.”
“Memang seharusnya begitu. Mari kita keluar dan bertanding di tempat terbuka agar semua anak buah Pek-lian-kauw menyaksikan siapa yang lebih patut memimpin mereka,” kata Kam Ki yang cepat melompat keluar dari ruangan dan pondok besar itu.
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw lalu bersiap-siap. Hek-bin Moko yang kehilangan pedangnya, mengambil pedang baru dan tiga orang itu lalu keluar dari rumah.
Sementara itu, enambelas orang anak buah Pek-lian-kauw tadi memasuki per-kampungan dan kini seluruh anggauta Pek-lian-kauw yang mendengar bahwa ada seorang pemuda mengacau di sarang mereka, semua keluar untuk menanti perintah para pimpinan mereka. Kurang lebih limapuluh orang anggauta Pek-lian-kauw kini berkumpul di pekarangan rumah induk perkumpulan itu, di mana tiga orang pimpinan mereka tinggal.
Tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda keluar dari pintu diikuti oleh tiga orang ketua mereka. Semua anggauta Pek-lian-kauw terkejut dan siap siaga ketika enambelas orang rekan mereka itu mengatakan bahwa itulah pemuda yang telah menjatuhkan mereka tadi. Semua anggauta Pek-lian-kauw mencabut senjata, menanti perintah.
Akan tetapi Kam Ki yang tiba di pekarangan lebih dulu, segera berseru kepada para anggauta. “Para anggauta Pek-lian-kauw, dengarlah!” serunya lantang karena didorong tenaga sakti yang kuat. “Tiga orang pimpinan kalian telah bersepakat dengan aku untuk bertanding. Mereka bertiga akan mengeroyok aku dan kalau aku kalah dan mati, sudahlah lupakan saja. Akan tetapi kalau aku yang menang, mereka sudah berjanji akan mengangkat aku menjadi ketua Pek-lian-kauw cabang ini dan mereka bertiga menjadi pembantuku. Kalian semua kuperingatkan agar jangan ada yang campur tangan hendak mengeroyok aku karena sjapa yang bergerak, akan kubunuh! Apakah kalian semua setuju? Yang tidak setuju boleh maju!”
Semua anggauta Pek-lian-kauw diam dan tidak ada yang berani maju karena tiga orang ketua mereka tidak memberi isyarat kepada mereka untuk maju. Akan tetapi dua orang di antara mereka yang terkenal jagoan, agaknya hendak mencari muka kepada tiga orang pimpinan mereka. Dengan golok di tangan mereka maju.
“Kami akan membunuhmu, orang muda!” teriak mereka sambil mengacungkan golok.
Kam Ki berkemak-kemik menggunakan ilmu sihirnya, lalu menudingkan telunjuknya ke arah dua orang itu dan membentak dengan suara yang mengandung getaran dan wibawa amat kuat.
“Kalian berdua boleh saling bunuh! Cepat lakukan!”
Kemudian terjadilah hal yang mengherankan dan mengejutkan semua orang. Dua orang murid Pek-lian- kauw itu kini menggerakkan golok mereka dan saling serang dengan sungguh-sungguh! Pek-lian-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang tidak asing, dengan segala ilmu sihir dan racun. Maka, melihat betapa dua orang anggauta itu demikian mudah terjatuh ke bawah pengaruh bentakan pemuda itu, tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw juga terkejut sekali.
Ang-bin Moko, ketua pertama cabang Pek-lian-kauw itu yang bermuka merah, terkejut melihat dua orang anggautanya kini saling serang menggunakan golok dengan mati-matian. Dia cepat mengerahkan tenaga sihirnya untuk memunahkan kekuatan sihir yang menguasai dua orang anggautanya sehingga mereka saling menyerang untuk membunuh itu.
“Kalian berdua, hentikan perkelahian itu! Aku, Ang-bin Moko ketua kalian, memerintahkan agar kalian berhenti berkelahi dan mundur!”
Akan tetapi bentakan nyaring Ang-bin Moko itu seperti lalunya angin saja, lewat tanpa bekas dan dua orang itu masih saling serang dengan mati-matian. Akhirnya, keduanya berseru kesakitan dan keduanya roboh terpelanting, masing-masing menderita luka parah oleh bacokan golok! “Masih adakah yang tidak setuju dan hendak mengeroyok aku?” Kam Ki berseru lantang, terdengar oleh semua anggauta Pek-lian-kauw yang berada di situ. Kini tidak ada seorangpun berani maju menentang.
“Thio Kam Ki, engkau berani membunuh dua orang anggauta kami!” bentak Ang-bin Moko.
Kam Ki tersenyum. “Anggauta Pek-lian-kauw sepatutnya menaati perintah pimpinannya. Kalian bertiga sudah berjanji untuk pi-bu (mengadu kepandaian silat) melawan aku, akan tetapi dua orang itu hendak maju mengeroyok. Maka mereka berdua selayaknya dihajar agar para anggauta lainnya tidak berani membangkang terhadap keputusan yang diambil pemimpin mereka. Sudahlah, mari kita mulai pertandingan ini. Aku sudah siap!”
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw itu mengepung Kam Ki. Mereka sudah mencabut pedang dan kini mereka siap mengeroyok pemuda itu dengan membentuk Sha-kak-kiam-tin (Barisan Pedang Segi Tiga). Ang-bin Moko berdiri di depan Kam Ki, Pek-bin Moko di sebelah kanannya dan Hek-bin Moko di sebelah kirinya. Mereka melintangkan pedang di depan dada dan tangan kiri menuding ke depan dengan dua jari, yaitu jari penunjuk dan jari tengah.
Melihat pemuda itu masih berdiri santai dan sama sekali tidak membawa senjata apapun, Ang-bin Moko merasa tidak enak. Mereka bertiga terkenal sebagai orang-orang yang tangguh, bagaimana sekarang hendak mengeroyok seorang pemuda yang bertangan kosong padahal mereka bertiga menggunakan pedang? Tentu kebesaran mereka merosot dalam pandangan para anak buah mereka yang berkumpul semua di pekarangan itu dan menyaksikan pertandingan yang akan dimulai.
“Thio Kam Ki, keluarkan senjatamu dan bersiaplah. Kami akan segera menyerangmu!” bentak Ang-bin Moko.
Kam Ki tersenyum mengejek. “Tingkat kepandaian kalian bertiga masih jauh terlampau rendah bagiku, untuk apa aku menggunakan senjata? Senjataku adalah kedua pasang kaki tanganku yang cukup untuk mengalahkan kalian dan pedang kalian. Nah, mulailah, aku telah siap!”
Semua orang merasa heran melihat Kam Ki yang berkata siap itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak menggunakan ilmu silat untuk bertanding. Dia berdiri santai saja, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak tampak membuat persiapan.
Tiga orang pemimpin Pek-lian-kauw itu menjadi marah sekali. Sikap dan kata-kata pemuda itu benar- benar amat memandang rendah kepada mereka!
“Bocah sombong! Engkau mencari kematianmu sendiri!” Setelah berkata demikian, Ang-bin Moko memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Tiga orang itu lalu menggerakkan golok mereka, diputar- putar di atas kepala sehingga berubah menjadi sinar bergulung-gulung kemudian sinar-sinar tiga batang golok itu meluncur cepat ketika mereka menerjang ke arah tubuh Kam Ki.
Thio Kam Ki sama sekali bukan sekadar membual ketika tadi mengatakan bahwa tingkat kepandaian tiga orang lawannya itu masih jauh di bawah tingkatnya. Hal ini diketahuinya benar setelah tadi dia menghadapi Hek-bin Moko. Biar ada lima orang atau lebih setingkat Hek-bin Moko mengeroyoknya, dia tentu akan mampu mengalahkan mereka. Apalagi hanya tiga orang! Biarpun mereka bergerak menyerang dengan cepat dan kuat, tubuh Kam Ki berkelebatan dan tiga orang itu menjadi terkejut sekali karena gerakan Kam Ki sedemikian cepatnya sehingga terkadang lenyap dari pandang mata mereka. Tiga orang ketua yang marah dan penasaran itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, menyerang kalang kabut.
Kam Ki memang hendak memamerkan kepandaiannya. Setelah berkelebatan di antara tiga gulungan sinar golok, membuat anggauta Pek-lian-kauw yang menonton pertandingan itu terkagum-kagum, dia memperlihatkan kepan-daiannya yang lebih mengagumkan lagi. Kini dia mulai menangkis tiga batang golok itu dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu begitu saja menangkisi mata golok yang tajam dan berat, dan sama sekali tidak terluka, bahkan setiap kali tangan itu menangkis, tiga orang itu merasa betapa tangan mereka terguncang dan terasa panas.
Tiba-tiba Kam Ki membuat gerakan menyerang. Dia merasa sudah cukup memamerkan kepandaiannya. “Lepaskan golok. !!” bentaknya dan kedua tangannya menyambar-nyambar tiga kali. Dengan tepat
tangannya menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang golok.
Tiga orang itu berteriak dan golok mereka terlepas dari pegangan. Mereka terkejut dan cepat berlompatan ke belakang, lalu mereka berkumpul dan sambil berdiri berjajar, mereka mengerahkan dan menyatukan tenaga sakti lalu mendorongkan tangan mereka, menyerang Kam Ki dengan pukulan jarak jauh!
Melihat ini, Kam Ki menyambut serangan mereka dengan mendorong kedua telapak tangan ke depan. Hawa pukulan dahsyat menyambar keluar dari kedua telapak tangannya itu.