Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 47

NIC

Melihat ini, Pek-hwa Sianli menjadi gembira sekali dan iapun mulai mengelebatkan sepasang pedangnya dan berseru, “Twako, awas, aku mulai menyerang!”

Sepasang pedang itu menyambar-nyambar dan lenyap bentuknya menjadi dua gulungan sinar. Kam Ki sudah waspada dan tubuhnya juga bergerak cepat sekali sehingga dia berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang itu!

Ke manapun sepasang pedang itu menyambar, selalu tubuh Kam Ki dapat menghindar seolah dapat menyelinap di antara sepasang pedang. Pek-hwa Sianli kagum dan terkejut juga, sama sekali tidak mengira betapa sepasang pedangnya sama sekali tidak berdaya, seolah-olah ia menyerang sebuah bayangan saja!

Sampai tigapuluh jurus lebih ia menyerang tanpa hasil dan tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan pedang itu tahu-tahu telah pindah ke tangan Kam Ki. Ketika ia menyerang dengan pedang kirinya, Kam Ki menggerakkan pedang rampasan itu dengan pengerahan tenaga.

“Tranggg.......!” Pek-hwa Sianli tidak mampu menahan dan pedangnya sudah terlempar lepas dari tangan kirinya. Kam Ki melompat dan menyambar pedang itu sehingga kini sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya!

Pek-hwa terkejut sekali dan kini Kam Ki menghampirinya dan menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepadanya.

“Maaf, Hwa-moi, ilmu pedangmu sungguh lihai, terpaksa aku menggunakan akal untuk merampasnya. Kalau tidak, sungguh amat berbahaya bagiku!” kata Kam Ki sambil tersenyum.

Bukan main kagum dan senangnya hati Pek-hwa Sianli. Ia merasa kagum karena ternyata pemuda itu mampu mengalahkan ia hanya dengan tangan kosong, bahkan tanpa melukai dan dapat merampas sepasang pedangnya begitu saja! Dan hatinya senang karena jelas bahwa Kam Ki merendahkan diri dan memuji ilmu pedangnya!

Ia melempar sepasang pedangnya ke arah rak senjata dan sepasang pedang itu dengan tepat menancap di tiang rak itu! Ia lalu memegang kedua tangan Kam Ki.

“Aih, twako, sungguh engkau hebat, luar biasa, aku taluk padamu, aku kagum sekali……!” Ia lalu menarik pemuda itu ke meja di mana terdapat dua baskom air dan mengajak pemuda itu mencuci muka dan lengan yang berkeringat, lalu mengusapinya dengan handuk yang tersedia tadi.

Sekali ini, Pek-hwa Sianli benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Ia lalu menggandeng tangan Kam Ki dan mengajaknya makan hidangan yang serba lezat dan mewah, yang telah dipersiapkan oleh dua orang pelayannya, A-hui dan A-kui. Dua orang pelayan yang cantik manis ini melayani mereka dengan penuh hormat.

Dua orang gadis pelayan ini telah mengetahui bahwa pemuda itu lihai sekali, dapat mengalahkan nona mereka sehingga mereka berdua pun kagum bukan main. Maka, dengan mencuri-mencuri, terkadang mereka melepas kerling tajam disertai senyum manis kepada Kam Ki ketika mereka berada di belakang Pek-hwa Sianli. Kam Ki melihat ini, akan tetapi dia tidak mengacuhkannya karena seluruh perhatiannya sedang tertarik kepada Pek-hwa Sianli.

Dengan cerdik, Pek-hwa Sianli yang sudah berpengalaman banyak bergaul dengan para pemuda itu berusaha untuk memikat hati Kam Ki. Kam Ki sendiri se-orang pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul erat dengan wanita. Dia adalah seorang perjaka tulen dan masih hijau tentang wanita. Bagaikan seekor laba-laba yang mempergunakan jala benang halus yang ditata indah untuk memikat dan menjebak seekor serangga yang masih bodoh, Pek-hwa Sianli mempergunakan segala kecantikan wajahnya, keindahan bentuk tubuhnya, kemanisan rayuannya, ditambah makanan lezat dan anggur merah manis yang keras namun lembut sehingga setelah selesai makan dan minum banyak anggur, wajah Kam Ki menjadi kemerahan. Bagaikan seekor domba yang dituntun ke tempat penyembelihan, Kam Ki dituntun Pek-hwa Sianli ke dalam kamarnya. Memang pada dasarnya Kam Ki adalah seorang laki-laki yang berbatin rapuh, pertahanannya lemah membuat pendirian dan pertimbangannya goyah sehingga dengan mudah saja dia bertekuk lutut kepada nafsunya sendiri. Maka, tidak sukar bagi Pek-hwa Sianli untuk merayunya dan akhirnya dia jatuh ke dalam pelukan wanita itu dengan gairah yang berkobar-kobar, dengan senang hati menuruti semua keinginan Pek-hwa Sianli. Kam Ki bagaikan seekor serangga yang akhirnya terjerat, dilibat dan dihisap oleh laba-laba sampai habis darahnya dan menjadi kering.

Kam Ki yang masih hijau itu terjatuh ke pelukan Pek-hwa Sianli yang berpengalaman. Dia bagaikan mabok berenang dalam lautan madu yang nikmat dan menyeretnya ke dalam cengkeraman gairah nafsunya sendiri.

Akan tetapi anehnya, bukan Kam Ki yang tergila-gila. Sekali ini Pek-hwa Sianli yang jatuh hati dan tergila- gila. Biasanya tidak ada pemuda yang dikeram wanita itu lebih dari satu minggu. Ia segera menjadi bosan dan untuk merahasiakan ulahnya, pemuda itu lalu dibunuh dan mayatnya dilempar ke jurang. Akan tetapi sekali ini, sudah lewat dua bulan masih saja Kam Ki dan Pek-hwa Sianli bersenang-senang.

Siang malam mereka berenang dalam lautan gairah asmara bagaikan sepasang pengantin baru sedang berbulan madu panjang. A-hui dan A-kui yang menjadi pelayan setia dari Pek-hwa Sianli menjadi terheran-heran melihat keadaan ini dan tahulah mereka bahwa sekali ini majikan mereka benar-benar tergila-gila kepada pemuda yang gagah perkasa dan lihai itu.

Ada dua kasih sejati yang perlu kita Ketahui. Kasih sejati dan kasih atau cinta nafsu. Cinta kasih sejati mengesampingkan kesenangan jasmani kita sendiri dan mendahulukan kepentingan kebahagiaan orang yang dicinta. Cinta nafsu hanya mengejar kesenangan bagi diri sendiri sehingga cinta seperti itu dengan mudah dapat berubah menjadi benci kalau yang dicinta itu tidak mendatangkan kesenangan lagi. Sebaliknya, cinta sejati membuat kita selalu merasa kasihan kepada orang yang dicinta, ingin membahagiakan orang itu, ikut prihatin kalau melihat orang itu berduka dan ikut bahagia kalau melihat orang itu bersuka. Karena sifatnya hanya mengejar kesenangan jasmani, maka cinta nafsu selalu mementingkan si-aku, kalau aku disenangkan, aku cinta, sebaliknya kalau aku disusahkan, aku benci.

Mungkin baru sekarang Pek-hwa Sianli benar-benar jatuh hati dan tergila-gila kepada seorang pemuda. Tentu saja seorang yang telah menjadi hamba nafsu seperti wanita ini tidak pernah mengenal cinta sejati. Cintanya bergelimang nafsu dan karena belum pernah ia mendapatkan seorang laki-laki seperti Kam Ki, maka ia melekat dan tergila-gila. Di lain pihak, Kam Ki yang baru pertama kali mengalami bergaul rapat dengan seorang wanita, setelah lewat tiga bulan, mulailah dia merasa jemu dan bosan!

Memang, nafsu selalu mengejar kesenangan dan kesenangan itu, apabila dikejar dan luput mendatangkan kecewa dan duka, akan tetapi setelah didapatkan, dibayangi kebosanan karena nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain, yang baru dan yang dibayangkan sebagai yang lebih menyenangkan daripada yang telah diraihnya.

Kam Ki mulai merasa bosan dan mulailah dia melirik A-hui dan A-kui! Dalam kebosanannya, tampaklah cacat-cacat yang ada pada diri Pek-hwa Sianli. Se-baliknya A-hui dan A-kui yang “baru” tampak keindahannya saja. Tidak mengherankan kalau dalam pandang mata Kam Ki, dua orang gadis pelayan ini tampak lebih cantik, lebih menarik, lebih menggairahkan nafsunya dari Pek-hwa Sianli! Kemudian, hal yang tidak terelakkan pun terjadilah! Pada suatu malam Pek Hwa Sianli menangkap basah Kam Ki yang tengah bermesraan dengan A-hui dan A-kui, di “keroyok” dua oleh gadis-gadis pelayan itu! Bukan main marahnya hati Pek-hwa Sianli! Ia mengamuk dan membunuh kedua orang pelayannya itu.

Kam Ki sendiri segera melarikan diri, bukan karena takut kepada Pek-hwa Sianli, melainkan karena malu! Dia, yang baru saja berkecimpung dalam lautan asmara, masih mempunyai rasa malu akan penyelewengannya dan diapun melarikan diri, meninggalkan Pek-hwa Sianli baginya sudah membosankan.

Pek-hwa Sianli marah dan menangis, akan tetapi tidak berdaya karena andaikata ia mengejar sekalipun, ia tidak akan menang melawan Kam Ki.

Selama tiga bulan Kam Ki seolah menjadi murid Pek-hwa Sianli berenang dalam lautan asmara. Hal ini membangkitkan gairah berahinya. Bagaikan harimau buas yang selama ini tidur, kini dibangkitkan oleh usikan Pek-hwa Sianli sehingga Kam Ki menjadi seorang yang haus oleh gairah berahi yang berkobar. Dia benar-benar telah menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri dan kehausan itu yang mendorong dia mendekati A-hui dan A-kui.

Kini dia telah bebas dari rangkulan Pek-hwa Sianli dan di dunia bertambah seorang manusia hamba nafsu yang berkeliaran, bagaikan seekor harimau buas yang selalu mencari mangsa. Dalam perjalanannya merantau itu, setiap kali gairah berahinya menguasai pikirannya dan amat menyiksanya, dia lalu mencari mangsa. Dia tidak kuat menahan gelora nafsunya dan mencari mangsa di dusun-dusun yang dilaluinya. Kalau ada wanita muda yang cantik tidak perduli gadis atau isteri orang, lalu diculiknya dan dipaksanya untuk melayani gairah nafsunya, kemudian ditinggalkannya begitu saja.

Pada suatu pagi perjalanannya yang tanpa tujuan tertentu itu membawanya ke kaki Siong-san (Bukit Siong). Baru saja dia meninggalkan sebuah dusun yang cukup ramai dan di dusun itu selain melampiaskan gairah nafsunya pada seorang wanita yang diculiknya, dia juga melakukan pencurian di rumah seorang hartawan menggondol emas dan perak sekantung dan pakaian baru beberapa pasang. Kini dia berjalan di kaki Siong-san, menggendong sebuah buntalan hasil pencuriannya.

Di puncak bukit itu terdapat perkampungan cabang Pek-lian-kauw. Cabang Pek-lian-kauw di Bukit Siong itu dipimpin oleh tiga orang bersaudara seperguruan. Ketuanya adalah Ang-bin Moko (Iblis Muka Merah), dibantu oleh Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih) dan Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam), dengan anak buah sebanyak limapuluh orang lebih. Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang selalu menentang pemerintahan dan untuk memperoleh dana mereka tidak segan untuk melakukan kejahatan seperti merampok dan memaksa orang-orang yang lewat di daerah itu untuk membayar “pajak”.

Ketika Kam Ki berjalan dengan santai di kaki Siong-san yang sunyi itu, tiba-tiba dari balik batu besar dan pohon-pohon di tepi jalan berlompatan keluar belasan orang. Mereka adalah anak buah Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Hek-bin Moko, pemimpin ketiga dari cabang Pek-lian-kauw itu.

“Berhenti!” bentak seorang anak buah sedangkan Hek-bin Moko yang merasa terlalu tinggi kedudukannya untuk memeras seorang pejalan kaki, hanya berdiri memandang. Mukanya yang hitam arang ltu menyeramkan sekali.

“Sobat, serahkan pajak sebesar limapuluh tail. perak, kalau tidak punya, tinggalkan buntalanmu itu di sini, baru engkau boleh melanjutkan perjalanan melewati daerah ini!” Kam Ki tersenyum mengejek, tahu bahwa orang-orang ini berniat merampoknya. Tentu saja dia mempunyai uang yang hanya limapuluh tail perak itu karena dia mempunyai sekantung uang perak dan emas.

Posting Komentar