Wajah yang manis itu tampak gembira, mulutnya tersenyum lebar sehingga tampak deretan gigi yang putih mengkilap dan rapi seperti mutiara berjajar, bibir yang merah basah itu merekah sehingga sekilas tampak rongga mulut yang merah.
“Ah, terima kasih, twako. Mari kita ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat)!” kata Pek-hwa Sianli yang tanpa sungkan-sungkan lagi lalu memegang tangan Kam Ki dan menggandeng pemuda itu keluar dari kamar itu, memasuki sebuah ruangan kosong yang dipergunakan untuk berlatih silat. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata, penuh dengan senjata lengkap delapanbelas macam. Mereka memasuki ruangan itu dan segera disusul datangnya A-hui dan A-kui yang membawa dua baskom air dan sehelai handuk. Setelah menaruh barang-barang itu di atas sebuah meja di sudut ruangan, keduanya sambil tersenyum manis keluar lagi dari ruang latihan silat itu.
“Nah, marilah kita bertanding tangan kosong, twako. Hati-hati, jangan pandang rendah ilmuku, twako, jangan-jangan engkau akan kalah olehku!”
Kam Ki tersenyum. Dia tadi sudah melihat ketika wanita ini dikeroyok oleh tiga orang lawannya sehingga dia dapat mengukur sampai di mana kepandaian Pek-hwa Sianli dan tentu saja dia sudah dapat mengira- ngirakan apakah dia akan mampu mengalahkan wanita itu. Akan tetapi dia tidak mau memandang rendah dan dia hanya tersenyum, lalu dia berdiri dengan santai dan berkata kepada wanita itu.
“Nah, mulailah, Hwa-moi, aku sudah siap sekarang.”
Berbeda dengan Kam Ki yang berdiri santai tidak memasang kuda-kuda namun tetap waspada mengamati gerak gerik lawan, Pek-hwa Sianli memasang kuda-kuda yang tampak gagah. Ia membuka ilmu silat Sin-hong-kun (Silat Burung Hong Sakti) dengan kuda-kuda Sin-hong-liang-ci (Burung Hong Sakti Pentang Sayap), kedua kakinya di depan dan belakang berjingkat, kedua lengan dipentang ke kanan kiri dengan tangan ditekuk menunjuk ke atas, kepala tegak dan matanya memandang kepada Kam Ki dengan mulut tersenyum manis.
“Nah, seranglah, Hwa-moi. Aku siap melayanimu,” kata pula Kam Ki.
“Awas seranganku, Ki-twako. Hyaaatttt……!” Wanita itu menyerang dengan dahsyat. Ketika tangannya menyambar dan menampar dari kiri. Kam Ki merasa betapa kuatnya angin pukulan yang terdorong oleh tangan kiri lawannya. Akan tetapi dia tidak menangkis, melainkan menghindarkan diri dengan elakan. Dia membiarkan wanita itu menyerangnya secara bertubi-tubi sampai belasan jurus. Pek-hwa Sianli menampar, memukul, mendorong dan menendang, namun semua serangannya hanya mengenai angin saja. Wanita itu memang menyerang dengan menggunakan jurus-jurus yang paling ampuh karena sebetulnya ia ingin benar-benar menguji sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik hatinya itu.
Setelah belasan kali mengelak, Kam Ki mulai menangkis untuk mengukur sampai di mana kekuatan yang terkandung dalam lengan wanita itu.
“Duk-dukk……!” Dua kali lengan mereka beradu dan Pek-hwa Sianli terhuyung ke belakang. Dia merasa lengannya bertemu dengan benda yang kenyal seperti karet, namun yang mengandung tenaga kuat sekali sehingga, tenaganya membalik dan membuat dia terhuyung. Dengan kagum ia melihat dua kenyataan akan kelebihan pemuda itu, yaitu dalam ilmu meringankan tubuh yang membuat pemuda itu dapat bergerak gesit sekali sehingga belasan kali serangannya yang dilakukan cepat dan bertubi itu, tak sekalipun mengenai tubuh pemuda itu. Kemudian dalam mengadu tenaga sinkang, jelas bahwa iapun jauh kalah kuat.
Di samping perasaan kagum, ia juga merasa girang sekali karena pemuda itu ternyata menyambut atau menangkis pukulannya dengan menggunakan tenaga lunak. Hal ini menandakan bahwa Kam Ki tidak ingin ia terluka karena kalau pemuda itu menangkis dengan tenaga keras, bukan mustahil ia akan menderita luka luar maupun dalam. Akan tetapi Pek-hwa Sianli masih belum merasa puas. Ia lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kam Ki melihat betapa kedua telapak tangan yang berkulit putih halus itu kini menjadi merah sekali.
“Twako, awas, sambutlah Ang-tok-ciang ini!” Setelah berkata demikian, ia menyerang lagi dengan jurus- jurus Sin-hong-kun, akan tetapi sekali ini dengan kedua telapak tangan merah yang mengandung racun. Itulah Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang berbahaya sekali! Lawan yang terkena tamparan tangan merah ini akan menderita luka yang beracun dan dapat mengakibatkan kematian! Akan tetapi Pek-hwa Sianli tidak khawatir karena seandainya pemuda itu terkena tangan racun merahnya, ia memiliki obat untuk memunahkan racun itu.
Tentu saja Kam Ki tidak tahu akan obat ini. Diam-diam ia terkejut karena sebagai murid Hwa Hwa Cinjin, yaitu pertapa sesat yang diam-diam menjadi gurunya yang kedua, tentu saja dia mengenal ilmu-ilmu sesat. Dia tahu betapa berbahayanya Ang-tok-ciang ini. Akan tetapi untuk menyambut serangan ini dengan kekerasan, diapun merasa tidak tega. Wanita cantik jelita ini menerimanya sebagai sahabat dan tamu yang diperlakukan dengan manis budi, maka diapun tidak mau menyakiti Pek-hwa Sianli. Maka, semua serangan dengan kedua tangan yang berubah merah itu dia hindarkan dengan kecepatan gerakannya, mengelak ke sana-sini sambil mencari datangnya kesempatan baik untuk mengalahkan gadis itu tanpa melukai atau menyakitinya. Setelah melihat ada kesempatan terbuka, cepat dia balas menyerang dengan totokan jari tangannya. Dengan cepat, bagaikan patukan ular, dua kali jari tangannya menotok kedua pundak Pek-hwa Sianli.
“Tuk-tukk. !”
Pek-hwa Sianli terbelalak karena seketika ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Ia tahu bahwa dirinya terkena totokan yang ampuh sekali. Yang membuat ia merasa heran bagaimana ia sampai dapat tertotok. Padahal, selama ini ia jarang bertemu tanding. Paling-paling ia bertemu dengan lawan yang seimbang tingkat kepandaiannya atau yang sedikit melebihi tingkatnya. Akan tetapi pemuda ini yang tadi selalu hanya mengelak, tiba-tiba begitu bergerak mampu menotoknya. Hal ini saja menunjukkan bahwa tingkat kepandaian Kam Ki jauh melampaui tingkatnya.
Akan tetapi hanya beberapa detik ia tak mampu bergerak karena segera tangan Kam Ki menepuknya dan totokan itupun punah sehingga ia dapat bergerak lagi.
Bukan main kagumnya hati Pek-hwa Sianli. Akan tetapi dasar ia seorang wanita yang tidak mudah merasa puas, ia masih ingin mencoba lagi.
“Hebat, twako. Ilmu silat tangan kosongmu benar-benar luar biasa dan aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum engkau dapat mengalahkan senjataku siang-kiam (sepasang pedang) aku masih belum mengaku kalah mutlak. Maukah engkau melayani aku bersilat pedang?”
Kam Ki memang ingin memamerkan kepandaiannya kepada gadis itu, maka sambil tersenyum dia menjawab. “Baiklah, Hwa-moi, aku akan melayanimu main-main sebentar dengan sepasang pedangmu.”
Pek-hwa Sianli menjadi girang sekali. Ia berlari ke arah rak senjata dan mengambil sepasang pedang. Kemudian ia berkata kepada Kam Ki. “Twako, cepat pilih senjata mana yang kausukai!” Wanita ini tidak ragu untuk bertanding dengan senjata karena biarpun menggunakan senjata, seorang yang ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi, dapat menguasai senjatanya sepenuhnya sehingga dia tidak akan melukai lawan kalau hal itu tidak dikehendakinya. Semua gerakan terkendali sehingga tidak mungkin kelepasan melukai lawan.
Kam Ki yang sudah dapat mengukur tingkat kepandaian Pek-hwa Sianli dan memang ingin memamerkan kepandaiannya, sambil tersenyum menggeleng kepalanya.
“Aku tidak perlu menggunakan senjata, Hwa-moi, bukan sekali-kali karena aku meremehkan ilmu pedangmu, melainkan aku percaya bahwa engkau tidak akan melukai aku. Pergunakanlah siang-kiam itu untuk menyerangku, aku akan mencoba menghindarkan diri dari serangan sepasang pedangmu.”
Pek-hwa Sianli mengerutkan alisnya, bukan merasa tersinggung karena iapun sudah mengerti bahwa pemuda ini lebih lihai darinya, hanya ia ragu apakah benar pemuda itu mampu menghadapi siang- kiamnya dengan tangan kosong. Sepasang pedangnya itu jarang bertemu lawan yang dapat mengalahkannya. Ia memiliki ilmu pedang Liap-liong-siang-kiam (Sepasang Pedang Pengejar Naga) yang terkenal lihai sekali.
“Betulkah engkau akan menghadapi sepasang pedangku dengan tangan kosong, twako? Ketahuilah bahwa aku mempunyai ilmu Liap-liong-siang-kiam yang amat lihai, dan selama ini jarang ada orang yang mampu mengalahkan sepasang pedangku. Karena itu, aku ragu-ragu untuk menyerangmu kalau engkau bertangan kosong.”
“Jangan khawatir, Hwa-moi. Bagaimanapun juga, engkau tidak akan menggunakan sepasang pedangmu itu untuk membunuh atau melukai aku, bukan?”
Melihat senyum yang membuat wajah pemuda itu amat tampan dan menarik hatinya, Pek-hwa Sianli terpesona dan ia semakin kagum akan keberanian pemuda itu.
“Baiklah kalau begitu. Nah, bersiaplah, twako!” Gadis itu lalu memasang kuda-kuda, pembukaan ilmu pedang Pengejar Naga. Mula-mula sepasang pedang itu berpisah, yang kiri menunjuk ke bumi, yang kanan menunjuk ke langit, lalu sepasang pedang bergerak dan saling bertemu di depan dada, mengeluarkan bunyi berdenting dan tampak bunga api berpijar ketika sepasang pedang bertemu dan pedang-pedang itu bersilang!
Kam Ki memandang kagum. Betapa gagah dan cantiknya gadis ini, pikirnya. Diapun kini memasang kuda- kuda yang tampak gagah sekali, kaki kiri ke belakang, kaki kanan di depan dengan lutut ditekuk, tangan kanan di pinggang dikepal dan tangan kiri di depan dada membentuk cakar.