“Boncengan naik kuda?” tanyanya ragu.
Pek-hwa Sianli tersenyum lebar dan mengerlingkan matanya. “Aih, kalau ber-boncengan kenapa? Apakah engkau merasa keberatan untuk berboncengan dengan aku, Thio-twako? Kalau begitu biarlah engkau yang naik kuda dan aku berjalan kaki saja.”
“Ah, sama sekali tidak, Hwa-moi. Hanya…… apakah orang lain tidak akan menganggap banwa hal itu kurang pantas?”
“Aih, twako, perduli apa dengan anggapan orang lain? Kita bebas melakukan apapun juga yang kita sukai, bukan? Kalau ada orang berani usil mencela kita, hemm, kita sikat saja mereka!”
“Sikat?” Kam Ki bertanya, bingung.
“Ya, kita sikat nyawanya! Kita pecahkan kepalanya!” jawab Pek-hwa Sianli sambil tertawa dan mendengar ini, Kam Ki juga tertawa. Kiranya yang di-masudkan sikat adalah bunuh.
Pendapat ini tidak asing bagi Kam Ki. Guru gelapnya, Hwa Hwa Cinjin, juga pernah mengatakan bahwa kalau ada orang menentang kita, sepatutnya kita bunuh saja! Karena itu pulalah dia merobohkan suhengnya. Bun Sam telah lama menimbulkan iri hati dan membuat dia membencinya secara diam- diam, maka setelah dia merasa kuat, dia tidak segan-segan untuk memukul roboh dan melukai suhengnya yang selalu bersikap baik dan menyayangnya itu.
“Ha-ha-ha, engkau benar, Hwa-moi. Benar sekali! Hayo kita pergi ke rumahmu, naik kuda berboncengan!” kata Kam Ki dan sambil tertawa-tawa mereka berdua lalu menghampiri kuda milik Kam Ki. Setelah memasangkan kendali dan pelana, Pek-hwa Sianli melompat ke atas punggung kuda dan Kam Ki melompat dan duduk di belakangnya. Karena Kam Ki yang memegang kendali, maka seolah kedua lengannya memeluk tubuh wanita itu. Kuda lalu dijalankan congklang dan Pek-hwa Sianli yang duduk di depan menjadi penunjuk jalan.
Setelah kuda berlari congklang, Kam Ki merasakan sesuatu yang selamanya belum pernah dirasakannya dan hal ini membuat jantung berdebar kencang dan mukanya menjadi kemerahan! Betapa tidak? Karena berboncengan seperti itu, tubuh depannya berhimpitan dengan tubuh belakang Pek-hwa Sianli. Terasa olehnya betapa tubuh wanita yang lunak dan hangat itu menempel ketat pada tubuhnya dan larinya kuda yang congklang membuat tubuh mereka saling bergesekan.
Selain itu, karena kepala Pek-hwa Sianli amat dekat dengan mukanya, maka rambut yang halus panjang itu melambai dan menggelitik dagu dan lehernya, ditambah lagi bau harum yang menyengat hidungnya. Kam Ki terpaksa harus mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan diri dan melawan gejolak berahi yang merangsangnya. Keadaan ini mendatangkan perasaan senang dan nikmat, namun juga membuatnya rikuh dan gelisah.
Tentu saja Pek-hwa Sianli yang sudah berpengalaman belasan tahun bergaul dengan bermacam-macam pria itu dapat mengetahui keadaan pemuda itu. Ia merasa girang bukan main, juga geli hatinya. Ia tahu benar bahwa Kam Ki adalah seorang pemuda perjaka yang sama sekali belum berpengalaman dengan wanita, dan bahwa pada saat itu, pemuda itu telah terangsang dan ia akan dapat dengan mudah menundukkannya.
Seorang pemuda yang bukan saja tampan dan gagah, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang amat tinggi. Baginya, mudah saja mencari pemuda tampan dan ganteng, akan tetapi mencari pemuda ganteng yang lihai seperti Kam Ki ini, tentu akan sukar didapat. Maka, ia lalu sengaja menyandarkan tubuhnya ke belakang sehingga lebih rapat dengan tubuh pemuda itu dan ia menyandarkan kepalanya di atas dada Kam Ki.
Jantung dalam dada Kam Ki menjadi semakin berdebar keras dan hal ini tentu saja terasa, bahkan terdengar degup jantung itu oleh telinga Pek-hwa Sianli yang tentu saja amat menyenangkan dan membanggakan hati wanita itu.
Kuda yang membawa beban dua orang itu akhirnya tiba di lereng bukit kecil itu, di mana terdapat sebuah pondok mungil dengan taman bunga yang luas mengelilinginya. Rumah mungil ini berdiri terpencil tanpa tetangga. Hal ini tidaklah aneh karena memang bukit kecil itu telah dibeli oleh Pek-hwa Sianli dari tangan para petani setempat sehingga kini menjadi milik pribadinya.
Kuda itu memasuki pekarangan depan yang juga penuh tetumbuhan bunga beraneka warna. Kam Ki dan Pek-hwa Sianli melompat turun dari atas punggung kuda. Dua orang wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun, keduanya berpakaian seperti pelayan namun wajah mereka cantik dan kulit mereka putih bersih, berlari menyambut. Dari gerakan kaki mereka ketika berlari keluar, Kam Ki dapat menduga bahwa mereka berdua bukanlah wanita biasa yang lemah, melainkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.
“Sian-li sudah pulang!” kata mereka yang segera menangkap kendali kuda itu. Ketika mata mereka memandang kepada Kam Ki dengan pandang mata bertanya, Pek-hwa Sianli lalu berkata kepada mereka.
“A-kui dan A-hui, ini adalah kongcu (tuan muda) Thio Kam Ki, sahabat baikku.”
Dua orang wanita itu lalu membungkuk dengan sikap hormat kepada Kam Ki dan berkata dengan suara berbareng, “Selamat datang, Thio-kongcu!”
“A-hui, bawa kuda ini ke kandang dan A-kui, cepat siapkan pesta makan siang untuk menyambut kedatangan Thio-kongcu!”
Dua orang wanita itu menjawab sambil tersenyum, “Baik, Sian-li.”
A-hui yang pakaiannya berwarna hijau segera menuntun kuda melalui samping rumah, dan A-kui segera berlari memasuki rumah dan langsung ke dapur. Setelah mengandangkan kuda, A-hui juga cepat membantu temannya dan dua orang wanita itu sibuk di dapur mempersiapkan tambahan masakan untuk menghormati pemuda itu. Sambil sibuk mempersiapkan masakan, kedua orang wanita itu dengan genit membicarakan Thio Kam Ki yang mereka puji-puji sebagai seorang pemuda yang tampan dan menarik. Bagi mereka, bukan hal aneh kalau majikan mereka yang atas permintaan Pek-hwa Sianli sendiri mereka sebut Sian-li itu, pulang sambil membawa seorang pemuda ganteng. Juga mereka mengetahui betapa setelah beberapa hari bersenang-senang dengan pemuda itu, pada suatu hari Pek-hwa Sianli akan mengajak pemuda itu pergi dan selanjutnya mereka tidak lagi melihat pemuda itu. Beberapa hari kemudian mereka hanya mendengar dari para penduduk pedusunan di kaki bukit bahwa telah diketemukan mayat seorang pemuda dalam sebuah jurang.
Sementara itu, Kam Ki duduk di ruangan dalam rumah itu bersama Pek-hwa Sianli. Pemuda itu merasa kagum sekali. Rumah itu tidak berapa besar akan tetapi mungil dan indah. Semua prabot rumah di dalamnya juga mewah, indah dan bersih sekali. Tak pernah dia dapat membayangkan sebuah rumah yang memiliki perabot rumah begini indah sehingga dia merasa kagum bukan main. Kursi-kursi dan mejanya juga merupakan perabot rumah yang halus mengkilap terukir indah, tentu amat mahal harganya. Pot-pot kuno indah menghias setiap sudut dengan tanaman bunga di dalamnya. Di dinding bergantungan lukisan-lukisan yang indah, juga kain sutera beraneka warna bergantungan dari langit- langit, menambah indahnya suasana dalam ruangan.
Mereka duduk menghadapi meja, di atas kursi-kursi yang ditilami bantal lunak. A-kui tadi menghidangkan minuman anggur manis dan beberapa piring kue kering yang tentu hanya dapat dibeli dari kota-kota besar. Mereka minum anggur dan makan kue sambil bercakap-cakap.
Pek-hwa Sianli ramah sekali dan sikapnya amat akrab sehingga sebentar saja, Kam Ki sudah dapat menyesuaikan, diri dalam suasana yang menyenangkan itu dan tidak merasa rikuh lagi. Bahkan kalau dalam percakapan kadang-kadang Pek-hwa Sianli menggerakkan tangannya dan menyentuh tangan atau lengannya, Kam Ki juga merasa senang saja dan tidak malu-malu lagi. Perlahan-lahan, Kam Ki mulai dituntun ke dalam jaringan nafsu oleh Pek-hwa Sianli seperti seekor domba yang dituntun masuk ke dalam rumah jagal!
“Twako, kita sudah berkenalan dengan baik dan menjadi sahabat, akan tetapi aku belum mengetahui betul siapa engkau ini. Ceritakanlah padaku, twako, tentang keluargamu dan dari mana engkau datang, hendak ke mana, dan siapa pula gurumu. Mau kan engkau menceritakan riwayatmu kepadaku, twako?” kata Pek-hwa Sianli dengan suara manja dan jari-jari tangannya yang runcing mungil itu memegang dan memainkan jari tangan Kam Ki, membelainya.
“Ah, aku tidak mempunyai riwayat yang menarik, Hwa-moi. Hanya menyedihkan saja. Dalam usia tiga tahun aku telah ditinggal mati ayah ibuku dan sekecil itu aku diambil murid oleh suhu Leng-hong Hoatsu dan dibawa ke Himalaya.”
“Aih……! kaumaksudkan Leng-hong Hoatsu yang amat terkenal sebagai guru besar dan pendiri Hwe-coa- kauw (Agama Ular Terbang) itu?” tanya Pek-hwa Sianli yang benar-benar terkejut karena ia sudah mendengar akan nama besar pertapa yang kabarnya sakti seperti dewa itu. Matanya yang indah memandang kepada Kam Ki dengan terbelalak.
Kam Ki sudah mendengar dari suhunya bahwa Hwe-coa-kauw adalah orang-orang yang mempergunakan nama Hwe-coa (Ular Terbang) peliharaan suhunya untuk menyeleweng. Karena ular itu dipuja-puja maka Leng-hong Hoatsu meninggalkan Tiong-goan (Cina) dan kembali ke Himalaya. Penyelewengan itu sungguh tidak disukai suhunya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menceritakan hal ini kepada Pek- hwa Sianli yang agaknya kagum kepada nama besar suhunya. “Benar, Hwa-moi. Sejak itu, aku menjadi murid dan juga melayani suhu dan baru saja aku turun gunung setelah tamat belajar dan dalam perjalananku ke dunia ramai, aku bertemu dengan engkau yang dikeroyok tiga orang itu, hanya itulah yang dapat kuceritakan padamu, Hwa-moi.”
“Aih, kasihan engkau, Thio-twako. Sejak kecil kehilangan orang tua. Apakah selain suhumu, engkau tidak mempunyai sanak keluarga lain?”
Kam Ki teringat akan Bun Sam. Akan tetapi mungkin suhengnya itu telah mati oleh pukulannya, maka dia menggeleng kepalanya sebagai jawaban.
“Tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini? Juga belum beristeri?”
Kam Ki tertawa, akan tetapi mukanya merah. “Ah, engkau ini aneh-aneh saja, Hwa-moi. Tentu saja belum!”
“Akan tetapi kalau pacar sudah punya, kan? Seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah seperti engkau, tentu sudah mempunyai pacar, tentu dikejar banyak gadis!”
“Ha-ha-ha, kaumaksudkan gadis-gadis kera dan binatang hutan lainnya? Aku tinggal bersama suhu di pegunungan Himalaya, bagaimana mungkin mempunyai pacar?”
Wajah Pek-hwa Sianli semakin berseri. “Hemm, mungkin sekarang tidak punya pacar. Akan tetapi aku yakin engkau sudah seringkali berpacaran dan bergaul dengan wanita bukan?”
“Salah, dugaanmu salah sama sekali, Hwa-moi! Sungguh mati, aku belum pernah berdekatan dengan wanita!”
“Hemm, maksudmu, sekarang ini untuk yang pertama kali engkau berdekatan dengan wanita? Dengan aku?”
“Benar, Hwa-moi,” kata Kam Ki sejujurnya dan dari pandang mata dan suara pemuda itu Pek-hwa Sianli yakin bahwa pemuda itu berkata benar sehingga ia menjadi semakin girang. Ingin ia langsung merangkul dan mencumbu pemuda itu, akan tetapi ia harus berlaku cerdik. Pemuda ini tidak boleh ia perlakukan sembarangan dan sesuka hatinya saja seperti kalau ia memperlakukan para pemuda terdahulu yang menjadi korbannya. Pemuda ini lihai sekali sehingga kalau sampai merasa tidak suka atau marah kepadanya, ia bisa celaka!
“Dan bagaimana rasa hatimu, twako? Senangkah engkau bergaul dengan aku?” “Senang sekali, Hwa-moi. Engkau sungguh baik dan menyenangkan hati.”
Dua orang pelayan itu, A-kui dan A-hui, mengetuk pintu ruangan itu dan setelah Pek-hwa Sianli membolehkan mereka masuk, dua orang pelayan itu berkata, “Hidangan telah siap, Sian-li. Silakan!”
Pek-hwa Sianli memegang tangan Kam Ki dan menariknya berdiri sambil berkata dengan nada gembira, “Hayo, twako, kita makan dulu!” Sambil tertawa-tawa wanita itu menggandeng tangan Kam Ki, diajak memasuki ruangan makan. Dua orang itu tersenyum dan saling lirik penuh arti, lalu mereka mengambil guci anggur dan membawanya ke ruangan makan. Mereka siap melayani kedua orang itu makan. Kam Ki duduk berhadapan dengan Pek-hwa Sianli, dan dengan kagum memandang makanan yang dihidangkan di atas meja. Tidak kurang dari delapan macam masakan terhidang di atas meja, masih mengepulkan uap dan baunya sedap menimbulkan selera.