Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 42

NIC

“Maaf, suhu. Rasanya teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri di sini. Apalagi sekarang sute Kam Ki juga telah pergi. Perkenankan teecu menemani suhu di sini dan melayani suhu yang sudah berusia lanjut.”

“Bun Sam, apakah engkau lupa berapa usiamu sekarang? Engkau sudah berusia kurang lebih duapuluh empat tahun! Engkau bukan anak-anak lagi dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Semua ilmu tidak akan ada artinya kalau tidak kau amalkan. Semua jerih payahmu mempelajarinya selama bertahun- tahun akan terbuang percuma saja. Tidak perlu mengkhawatirkan diriku, Bun Sam. Aku adalah sebagian dari alam ini. Bagaimana aku dapat hidup sendiri? Aku tidak sendiri di dunia ini dan aku sudah biasa hidup tanpa bantuan orang lain. Tumbuh-tumbuhan di pengunungan ini akan mencukupi semua kebutuhan hidupku. Nah, aku minta agar engkau meninggalkan gunung, terjun ke dunia ramai mengamalkan semua ilmumu untuk kepentingan orang banyak. Untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Biarpun hatinya merasa sedih dan terharu karena harus meninggalkan gurunya yang merupakan segala- galanya bagi Bun Sam. Kakek itu menjadi pengganti orang tuanya, gurunya, juga sahabatnya. Akan tetapi mendengar ucapan gurunya yang panjang lebar itu, dia tidak berani membantah.

“Baik, suhu. Teecu akan menaati semua perintah suhu!” katanya dengan suara tegas setelah berhasil menekan keharuan dan kesedihannya.

“Ada sebuah tugas lagi yang penting. Engkau harus mencari Kam Ki dan usahakan agar dia tidak terseret ke dalam kesesatan. Kalau dia tidak dapat dibujuk dan ternyata menjadi orang tersesat, terpengaruh ilmu-ilmu sesat yang entah dia pelajari dari mana itu, maka engkau harus mencegahnya melakukan perbuatan jahat. Kalau perlu lenyapkan semua ilmunya agar dia menjadi orang lemah yang tidak dapat mengganggu orang lain.”

“Akan tetapi, suhu. ” Bun Sam merasa sangsi apakah dia akan mampu melakukan hal itu. Dia amat

sayang kepada sutenya yang telah dia anggap sebagai adik sendiri itu.

“Bun Sam, ingat. Tugasmu adalah menentang yang jahat. Tidak perduli siapa orangnya, bahkan keluarganya sendiri sekalipun, kalau jahat, harus engkau bujuk dan sadarkan, dan kalau bujukan tidak berhasil menyadarkannya, harus kau tentang. Sebaliknya, kalau ada orang tak bersalah tertindas, siapapun dia itu, harus kaubela. Dalam membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan, engkau sama sekali tidak boleh pilih kasih. Terkadang pilih kasih ini membuat orang kehilangan rasa keadilannya. Karena itu, menghadapi Kam Ki, engkau tidak boleh terpengaruh perasaan pilih kasih itu!”

Bun Sam mengangguk-angguk. “Betapa pun beratnya, suhu, teecu akan menaati dan selalu ingat akan perintah suhu.”

“Bagus, sekarang berkemaslah dan berangkatlah hari ini juga.”

Bun Sam berkemas, membawa pakaian dalam sebuah buntalan kain kuning, lalu berlutut memberi hormat dan pamit kepada suhunya. Kemudian dia turun dari bukit itu dan melakukan perjalanan menuju ke timur.

Ketika menuruni lereng bukit itu, Bun Sam merasa dirinya seolah menjadi seekor burung yang terbang melayang seorang diri dengan bebasnya. Dua macam perasaan teraduk di hatinya. Sedih dan girang. Dia bersedih memikirkan gurunya yang dia tinggalkan, gurunya yang sudah tua dan membutuhkan pelayanan. Akan tetapi diapun girang karena dia merasa bebas memasuki kehidupan baru di dunia ramai.

Pemuda itu menuruni bukit terakhir dari Pegunungan Himalaya yang panjang. Usianya sekitar duapuluh dua tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya tampan. Semua orang akan tertarik kalau bertemu dengannya. Wajah tampan itu selalu tersenyum ramah dan matanya tajam bersinar-sinar. Dia adalah Thio Kam Ki yang sejak kecil sekali telah dipelihara dan dididik oleh Leng-hong Hoatsu. Hatinya masih gembira sekali mengenang betapa dengan sekali serang saja menggunakan Ang-tok-ciang yang dipelajarinya dari Hwa Hwa Cinjin, dia mampu merobohkan Sie Bun Sam, suhengnya yang sejak kecil selalu mengunggulinya dalam segala hal.

Sekarang dia bebas, dapat melakukan apa saja yang dikendakinya, sesuka hatinya. Biasanya, di pondok Leng-hong Hoatsu, dia merasa seperti dikekang dan diikat oleh segala macam peraturan. Begini tidak boleh, begitu dilarang. Apalagi suhengnya, Bun Sam itu. Seringkali mengomelinya, menasihatinya sampai dia merasa bosan.

Hanya satu hal yang dibutuhkannya saat ini, ialah pakaian pengganti dan bekal uang. Dia meninggalkan pondok suhunya tanpa membawa apa-apa. Semua pakaian dia tingalkan karena dia takut kalau-kalau perbuatannya memukul roboh suhengnya akan ketahuan suhunya. Akan tetapi itu adalah soal kecil. Di mana-mana tersedia pakaian dan segala kebutuhannya! Tinggal ambil saja! Mau uang? Pakaian? Bahkan teman wanita yang cantik?

“Ha-ha-ha, tinggal ambil, tinggal pilih!” Kam Ki tertawa sendiri sambil berlari cepat, membayangkan segala macam keindahan, segala macam keenakan dan kenikmatan, seolah melihat semua yang serba menyenangkan itu seperti buah-buahan yang bergantungan di depan matanya, tinggal mengulur tangan memetik dan menikmatinya!

Ketika dia tiba di sebuah pedusunan yang agak besar, dusun besar pertama yang ditemuinya semenjak dia turun gunung, dia melihat sebuah rumah besar, yang terbesar dan terindah di antara semua rumah di dusun itu. Ketika mendengar bahwa rumah itu adalah tempat tinggal kepala dusun yang kaya, Kam Ki menjadi girang sekali. Di rumah inilah tersedia kebutuhanku, pikirnya. Pada saat itu yang amat dibutuhkan adalah uang karena dengan uang dia akan dapat membeli segala kebutuhannya. Terutama sekali yang terpenting pakaian karena dia tidak mempunyai pengganti sepotongpun pakaian. Lalu makanan enak dan lain-lain.

Malam itu, dengan mudah saja dia memasuki rumah kepala dusun itu melalui atap dan setelah mencari- cari, akhirnya dia menemukan cukup banyak uang perak dan emas dalam sebuah almari. Dia mengambil sekantung uang perak dan emas, lalu meninggalkan rumah itu tanpa suara sehingga tidak ada penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumah itu kecurian banyak uang. Barulah pada keesokan harinya, tuan rumah terkejut karena sekantung perak dan emas lenyap tanpa meninggalkan jejak. Pintu jendela masih utuh dan tertutup rapat, maka gegerlah seisi rumah. Tentu saja hanya ada dua tersangka yang dapat mencuri sekantung uang itu, yaitu pelayan atau setan!

Kalau seisi rumah kepala dusun ribut dan panik, Kam Ki dengan santai membelanjakan uangnya, membeli beberapa stel pakaian dan makan sekenyangnya di warung makan. Hari itu juga dia melanjutkan perjalanan ke timur dengan menunggang kuda, seekor kuda yang dibelinya di dusun itu, berikut pelananya. Sejak kecil dia tidak pernah menunggang kuda, akan tetapi karena dia seorang ahli silat yang bertubuh kuat, maka sebentar saja dia sudah menguasai kudanya dan berani membalapkan kudanya di sepanjang jalan raya yang kasar.

Hari ini panas sekali. Matahari memancarkan cahayanya tanpa terhalang awan. Panasnya menyengat kulit dan jalan itu menjadi kering berdebu. Kam Ki ingin berhenti mengaso, selain untuk berlindung dari terik matahari di bawah pohon rindang, juga dia ingin memberi kesempatan kepada kudanya untuk mengaso. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat di depan sana gerakan beberapa orang yang agaknya sedang berkelahi. Maka dibalapkannya kudanya ke depan.

Setelah dekat dia melihat seorang wanita cantik jelita sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang laki- laki yang berusia antara tigapuluh sampai enampuluh tahun. Wanita itu memiliki gerakan yang cepat sekali, memainkan sebatang pedang. Senjata ini digerakkan sedemikian cepatnya sehingga membentuk gulungan sinar putih.

Namun, ketika Kam Ki melompat turun dari kuda, membiarkan kudanya makan rumput di tepi jalan, dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang laki-laki itu masing- masing memainkan sepasang golok sehingga wanita itu seolah dikeroyok oleh enam batang golok! Dan gerakan tiga orang pengeroyok itu, walaupun tidak secepat gerakan pedang wanita, namun karena mereka maju bertiga, tetap saja wanita itu menjadi repot melindungi dirinya dari sambaran enam batang golok yang bertubi-tubi!

Melihat ini, Kam Ki tidak tahu siapa yang baik dan siapa yang jahat diantara mereka, akan tetapi karena melihat betapa wanita itu masih muda, tampaknya tidak lebih dari duapuluh tahun usianya dan cantik bukan main dan ia berada dalam keadaan terdesak, maka otomatis hati Kam Ki condong membela wanita itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil dua butir batu kerikil.

Menurut penglihatannya, ilmu silat tiga orang itu biasa-biasa saja dan baginya masih rendah, maka dia lalu menyambit dengan dua buah kerikil ke arah dua orang di antara mereka. Tampak dua sinar hitam menyambar dan dua orang pengeroyok itu berteriak mengaduh dan terpelanting roboh tak mampu bergerak lagi karena benturan kerikil itu telah menotok jalan darah mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan mereka. Wanita cantik itu ketika melihat dua orang lawannya roboh, lalu mengeluarkan teriakan melengking, “Hyaaaaatttt……!” Pedangnya menyambar dengan gerakan melengkung dan robohlah lawan ketiga dengan leher terluka dalam. Wanita itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia melompat ke depan, dua kali pedangnya berkelebat dan dua orang yang tadi roboh tertotok sambaran kerikil, juga dibacok lehernya. Darah membanjir dan tiga orang itu tewas seketika! Barulah wanita itu memeriksa pedangnya. Tidak ada darah sedikitpun mengotori pedangnya. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya pedang itu tadi membacok leher sehingga tidak sampai ternoda darah. Lalu ia menyarungkan pedangnya di belakang punggung, dan ia memutar tubuh untuk memandang orang yang telah membantunya.

Posting Komentar