Mereka berdua segera mulai latihan dengan ilmu silat yang diajarkan oleh Leng-hong Hoatsu, yaitu Hwe- coa-sin-kun (Silat Sakti Ular Terbang). Mereka berdua sudah mempelajari ilmu silat yang amat hebat ini. Kedua lengan mereka bergerak seperti ular, meliuk-liuk dan selain cepat gerakannya dan tidak mudah diikuti lawan karena perubahan-perubahannya yang aneh, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Karena Bun Sam maklum bahwa tenaga sutenya tidak seimbang dengan tenaganya, maka dia hanya mengeluarkan sebagian tenaganya saja, membatasi gerakannya dan sesekali kalau sutenya membuat gerakan atau jurus yang kurang sempurna, dia memberi tahu.
Mereka saling serang sampai puluhan jurus dan tidak kurang dari sepuluh kali Bun Sam menunjukkan kesalahan atau ketidaksempurnaan gerakan sutenya. Akhirnya Bun Sam merasa cukup dan begitu dia mempercepat gerakannya, dia berhasil mendorong pundak sutenya sehingga tubuh Thio Kam Ki terdorong ke belakang dan dia harus membuat salto sampai tiga kali ke belakang agar tidak terjengkang. Akan tetapi dia tidak terluka karena memang Bun Sam tadi membatasi tenaganya.
“Cukup, sute. Engkau memang telah memperoleh kemajuan pesat!” kata Bun Sam untuk menyenangkan dan memberi semangat kepada Kam Ki.
Wajah Kam Ki berubah pucat lalu kemerahan. Namun dia tersenyum dan tidak merasa kecewa. Mereka tadi berlatih menggunakan ilmu silat yang sama. Kalau dia kalah matang, gerakannya kalah gesit maka hal itu tidaklah mengherankan. Sekaranglah tiba saatnya untuk memberi hajaran kepada suhengnya yang telah lama mulai dibencinya karena perasaan iri hati yang memenuhi hatinya. Bagaimanapun juga, kalau dia bertanding melawan suhengnya mempergunakan ilmu silat, pasti dia akan kalah.
“Terima kasih, suheng. Akan tetapi aku masih ingin menguji sampai di mana kemajuanku dalam hal tenaga dalam. Karena itu, sambutlah seranganku ini, suheng!”
Bun Sam hendak menolak untuk mengadu tenaga sakti, akan tetapi sutenya telah memasang kuda-kuda dan menggerakkan kedua lengan untuk melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tenaga sakti. Maka, terpaksa dia harus menyambut, selain untuk melindungi dirinya, juga untuk mengukur sampai di mana kekuatan tenaga sakti sutenya agar dia mengetahui kemajuannya. Biasanya, dia dapat mengukur kekuatan tenaga sakti sutenya itu sekitar setengah ukuran tenaganya sendiri. Maka, karena mengira bahwa tenaga sakti sutenya mungkin sudah agak naik kekuatannya, dia menambah sedikit tenaganya, menggunakan tiga perempat bagian tenaganya dan mendorongkan kedua tangan ke depan menyambut serangan sutenya. Tentu saja dia menggunakan tenaganya untuk menahan saja, bukan untuk menyerang. Dengan demikian, maka dia akan memenangkan adu tenaga itu tanpa melukai sutenya, hanya membuat sutenya terpental mundur saja dan paling hebat terjengkang dan terbanting jatuh.
Akan tetapi dia kaget sekali melihat mulut sutenya berkemak-kemik dan gerakan kedua lengan ketika mendorong itu sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan guru mereka. Dia menjadi curiga akan tetapi terlambat dan pada saat itu, dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara, di antara mereka.
“Wuuuutttt…… blaaarrr……!!” Tubuh Bun Sam terlempar ke belakang dan dia terbanting roboh dalam keadaan pingsan!
Melihat ini, Kam Ki menghampiri suhengnya untuk memeriksa dan melihat kakak seperguruannya itu benar-benar jatuh pingsan, dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang berubah merah lalu berdongak dan tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha……!”
Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan Leng-hong Hoatsu dan suara tawanya itu terhenti seperti dicekik. Timbul rasa takutnya. Kalau Leng-hong Hoatsu sampai mengetahui perbuatannya, dia pasti celaka! Bahkan guru gelapnya sendiri, Hwa Hwa Cinjin, merasa takut kepada Leng-hong Hoatsu dan ketika Hwa Hwa Cinjin mengetahui bahwa Kam Ki adalah murid Leng-hong Hoatsu, dia melarikan diri meninggalkan tempat itu. Hwa Hwa Cinjin takut kalau dituduh merampas murid Leng-hong Hoatsu, maka dia melarikan diri ketakutan. Apalagi dia!
Berpikir demikian, Thio Kam Ki lalu melarikan diri turun dari lereng bukit, tidak berani mengambil pakaiannya yang berada di dalam pondok. Dia berlari cepat dengan hati ngeri seolah mendengar langkah Leng-hong Hoatsu mengejarnya!
Ketika peristiwa itu terjadi, Leng-hong Hoatsu sedang tekun dalam samadhinya. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak mengusiknya dan dia lalu membuka matanya dan bangkit berdiri. Tidak terdengar suara dalam pondok kayunya yang cukup besar itu, menandakan bahwa kedua orang muridnya tentu berada di luar pondok. Dia lalu melangkah keluar pondok. Karena dia tahu bahwa biasanya dua orang muridnya itu berlatih silat di kebun sebelum mereka mandi, Leng-hong Hoatsu lalu melangkahkan kakinya menuju kebun.
Tak lama kemudian Leng-hong Hoatsu sudah berjongkok dekat tubuh Bun Sam dan memeriksa keadaan muridnya itu. Bun Sam masih pingsan dan pernapasannya sesak. Leng-hong Hoatsu membuka baju pemuda itu dan dia mengerutkan alisnya dan menggumam.
“Hemm, siapa yang memukulnya dengan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang keji ini?” Karena maklum bahwa nyawa Bun Sam terancam bahaya maut, Leng-hong Hoatsu cepat turun tangan.
Dia duduk bersila menempelkan tangan kirinya ke dada Bun Sam lalu menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh muridnya itu. Tenaga sakti Leng-hong Hoatsu sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka dalam waktu beberapa menit saja, warna merah darah di dada Bun Sam menghilang dan kulit dada itu menjadi putih bersih kembali. Bun Sam kini bernapas normal dan tak lama kemudian dia membuka matanya. Leng-hong Hoatsu melepaskan tangannya. Melihat suhunya bersila di dekatnya, Bun Sam cepat bangkit duduk dan berlutut memberi hormat. Dia maklum bahwa suhunya telah menolongnya dan mungkin sekali menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut.
“Suhu……!”
“Bun Sam, apa yang terjadi? Siapa yang memukulmu?” tanya Leng-hong Hoatsu.
Bun Sam menghela napas panjang. Rasanya berat untuk menceritakan pengalamannya karena ceritanya itu pasti akan membuat gurunya menjadi sedih. Dia sendiri menyayang Kam Ki karena sejak kecil mereka berdua hidup bersama Leng Hoat Hoatsu, suka duka dihadapi bersama. Dia sendiri merasa sedih sekali melihat kelakuan Kam Ki dan tidak tahu bagaimana adik seperguruannya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri itu dapat menguasai ilmu pukulan beracun yang demikian hebatnya dan kejamnya.
Setelah menghela napas beberapa kali dia lalu berkata, “Suhu, harap suhu suka memaafkan sute Thio Kam Ki……”
Leng-hong Hoatsu mengerutkan alisnya yang sudah putih dan memandang wajah Bun Sam penuh selidik, “Hemm, kenapa sutemu? Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah, Bun Sam!”
“Teecu (murid) sendiri sampai saat ini masih terheran-heran, suhu. Tadi, sute mengajak teecu untuk latihan bersama. Mula-mula kami berdua berlatih dengan ilmu silat Hwe-coa-sin-kun dan dalam latihan itu, teecu lihat sute memang ada kemajuan, walaupun tidak banyak. Akan tetapi dia kemudian mengajak latihan mengukur tenaga sakti. Sebetulnya teecu hendak menolak, akan tetapi dia telah melakukan serangan pukulan jarak jauh kepada teecu. Terpaksa teecu menyambutnya dan teecu membatasi tenaga teecu agar dia tidak sampai terluka. Akan tetapi teecu melihat gerakan kedua tangannya berbeda dengan gerakan yang suhu ajarkan, dan dari kedua telapak tangan itu menyambar sinar merah yang aneh. Teecu merasa betapa ada kekuatan dahsyat mendorong teecu, membuat teecu terpental ke belakang dengan dada terasa nyeri dan teecu tidak ingat apa-apa lagi.”
“Hemm, kalau engkau menggunakan seluruh tenagamu, belum tentu engkau yang terluka, mungkin dia sendiri yang terluka oleh tenaganya yang membalik. Akan tetapi aneh, bagaimana Kam Ki dapat memiliki Ang-tok-ciang seperti itu……?”
“Ang-tok-ciang, suhu?”
Leng Hoat Hoatsu mengangguk. “Benar, pukulan ini adalah Ang-tok-ciang, satu di antara ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sihir. Hemm, di mana sekarang Kam Ki?”
“Teecu tidak tahu, suhu. Mungkin dia telah kembali ke pondok.”
“Panggil dia, Bun Sam. Aku harus bicara dengannya, kutunggu di ruangan depan!”
Bun Sam lalu mencari-cari. Akan tetapi dia tidak menemukan sutenya. Bahkan ketika dia mencari di kamar sutenya, kamar itupun kosong. Dia keluar dari pondok, memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Bun Sam menduga bahwa besar kemungkinannya sutenya itu telah pergi, mungkin takut setelah merobohkannya. Maka dia lalu menghadap Leng-hong Hoatsu di ruangan depan dan melaporkan bahwa sutenya tidak ada. “Hemm, kita tunggu sampai satu dua hari. Kalau dia tidak pulang, berarti dia telah melarikan diri,” kata Leng-hong Hoatsu dan dia merasa menyesal bukan main telah menerima anak itu menjadi muridnya. Memang sejak dulu dia sudah merasa bahwa Kam Ki memiliki watak dasar yang lemah dan anak itu akan mudah dikuasai oleh nafsu-nafsu daya rendah. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira anak itu berani mempelajari ilmu sesat, entah dari siapa, bahkan menggunakan ilmu itu untuk memukul Bun Sam yang menyayangnya seperti adik sendiri sehingga hampir saja Bun Sam tewas!
Setelah ditunggu sampai dua hari dan Kam Ki belum juga pulang, tahulah Leng-hong Hoatsu dan Bun Sam bahwa Kam Ki benar-benar telah minggat dan tidak akan pulang lagi. Leng-hong Hoatsu memanggil Bun Sam.
“Bun Sam, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk turun gunung dan mengamalkan semua ilmu yang kaupelajari selama ini di sini.”