“Itu tidak perlu. Katakan saja di mana sarang cabang Pek-lian-kauw di daerah ini,” kata pula Siong Li, dan Ui Kiong menekankan pedangnya ke dada Sam-liong sehingga orang tinggi kurus bermuka pucat ini menyeringai kesakitan.
“Cepat katakan!” bentak Ui Kong.
“Baiklah, Pek-lian-kauw mempunyai cabang yang bersarang di puncak Bukit Siong di sebelah utara itu!” kata Sam-liong sambil menuding ke arah sebuah bukit yang tampak dari situ.
“Katakan, siapa pemimpin mereka dan berapa banyak jumlah anak buah mereka!” kata pula Siong Li.
“Kami hanya tahu bahwa pimpinan mereka terdiri dari tiga orang yang berjuluk Ang-bin Moko (Iblis Muka Merah), Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam) dan Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih). Akan tetapi kami tidak mengenal mereka. Ada pun berapa jumlah anak buah mereka, kami tidak tahu, hanya kabarnya anak buah mereka tidak banyak akan tetapi ilmu kepandaian para pimpinan itu tinggi sekali,” kata pula Sam-liong.
Tentu saja tiga orang pendekar muda itu tidak merasa gentar, bahkan mereka telah menewaskan Hek- bin Moko. Sambil memandang ke arah bukit yang ditunjuk itu, sebuah bukit yang tidak berapa tinggi dan bukit itu tampak menghijau, tentu banyak hutan dan pohon Siong di sana, Siong Li berkata dengan suara lantang.
“Baik, aku percaya akan keterangan kalian. Akan tetapi awas, kalau ternyata kalian berbohong, kami akan mencari kalian dan tidak akan memberi ampun! Sekarang, hayo kembalikan tiga ekor kuda kami berikut semua barang yang berada di atas kuda! Awas, kami tidak akan mengampuni kalau ada sebuahpun barang kami dicuri. Cepat!”
“Cepat taati perintah itu dan kembalikan kuda dan barang-barang mereka!” bentak Ji-liong kepada anak buah mereka.
Bergegas para anak buah itu menuntun tiga ekor kuda yang tadi mereka rampas. Juga semua barang mereka kembalikan ke atas sela kuda.
“Coba periksa isinya, Hwa-moi dan Kong-te.”
Ui Kong dan Bwee Hwa lalu saling pandang dan seperti telah mengerti maksud masing-masing mereka bergerak cepat menotok dan Toa-liong roboh terkulai, berbareng dengan Sam-liong yang juga roboh terkulai karena tertotok jalan darah mereka. Setelah membuat dua orang ketua ini tidak berdaya, Ui Kong dan Bwee Hwa menghampiri kuda mereka dan memeriksa. Ternyata buntalan pakaian mereka masih utuh, juga kantung uang yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Mereka lalu mengangguk kepada Siong Li dan cepat sekali Siong Li juga bergerak menotok Ji-liong yang roboh terkulai pula. Tiga orang ketua itu tertotok roboh dan tak mampu bergerak. Siong Li berteriak kepada para anggauta Kiu-liong-pang. “Para pimpinan kalian kami robohkan dan sebelum lewat satu jam, mereka tidak akan dapat bergerak. Awas, jangan ada yang menghalangi kami pergi dari sini!”
Setelah Siong Li berkata demikian, tiga orang pendekar muda itu lalu melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan segera melarikan kuda ke arah utara di mana tampak bukit yang diceritakan Sam- liong sebagai sarang cabang Pek-lian-kauw, yaitu Bukit Siong.
Apa yang pernah diceritakan oleh Ong Siong Li tentang Leng-hong Hoatsu memang benar. Leng-hong Hoatsu adalah seorang pertapa yang datang dari Himalaya, seorang peranakan dari ayah bangsa Han dan ibu bangsa India. Sejak muda dia mengasingkan diri di Himalaya, bertemu dengan orang-orang sakti, pertapa-pertapa yang tinggi ilmunya dan dia memang suka sekali mempelajari ilmu kesaktian sehingga akhirnya dia menjadi seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dia merantau ke timur, ke daratan Cina dan mengajarkan Agama Buddha bercampur Agama Hindu. Dia menasihati rakyat agar hidup jalan kebenaran karena jalan itulah yang membawa kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan selama hidup di dunia. Dia juga selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang terserang penyakit karena di samping ilmu silat dan ilmu sihir, Leng-hong Hoatsu juga mahir ilmu pengobatan.
Pertapa sakti ini mempunyai peliharaan, seekor ular yang aneh. Di kanan kiri bawah leher, ular itu memiliki tonjolan yang dapat mekar seperti sayap sehingga ular itu disebut Hwee-coa (Ular Terbang). Sesungguhnya bukan terbang, melainkan melompat dari pohon ke pohon dan ketika melompat, tonjolan di kanan kiri itu berkembang sehingga ular itu dapat melayang.
Akan tetapi, pada waktu itu, rakyat, terutama di dusun-dusun, masih amat tahyul. Mereka mulai menyembah ular itu yang mereka anggap seekor ular sakti penjelmaan dewa dan mereka bahkan lebih menghormati ular itu daripada Leng-hong Hoatsu sendiri. Kakek pertapa itu berusaha untuk membantah. Namun, ketahyulan yang sudah mencengkeram hati dan pikiran manusia memang sukar sekali untuk dihilangkan. Akhirnya Leng-hong Hoatsu kembali ke barat karena dia tidak ingin ular peliharaannya dipuja-puja orang.
Kakek sakti ini mempunyai dua orang murid. Yang pertama bernama Sie Bun Sam, pada saat kisah ini terjadi, telah berusia duapuluh lima tahun. Sie Bun Sam adalah seorang pemuda yatim piatu dan telah menjadi murid Leng-hong Hoatsu sejak dia berusia lima tahun dan hidup sebatang kara dan terlantar karena ayah bundanya mati karena wabah yang mengamuk di desanya, di daerah Sin-kiang. Sie Bun Sam berwajah sederhana saja, seperti pemuda dusun kebanyakan, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan.
Namun ada sesuatu yang amat menarik pada wajahnya, yang membuat orang yang bertemu dengannya timbul rasa suka. Mungkin mulutnya yang selalu dihias senyum, dan matanya yang bersinar lembut penuh pengertian dan kesabaran itu. Tubuhnya sedang saja, tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang yang sakti dan lihai sekali. Pakaiannya juga sederhana namun bersih.
Kesukaannya memakai sebuah caping lebar yang melindungi mukanya dan kepalanya dari sengatan matahari dan guyuran air hujan. Dia juga tidak membawa senjata apapun, namun kalau berada di tangannya, benda apapun dapat dijadikan senjata yang ampuh! Sie Bun Sam, seorang pemuda yang berbudi luhur, setia dan berbakti kepada gurunya, maka Leng-hong Hoatsu amat sayang kepada murid ini.
Selain Sie Bun Sam, Leng-hong Hong masih mempunyai seorang murid lain, bernama Thio Kam Ki. Sebetulnya, Leng-hong Hoatsu yang bermata tajam dan peka perasaannya itu tidak begitu suka kepada anak ini, akan tetapi karena Thio Kam Ki juga ditemukan sebagai seorang anak berusia tiga tahun yang sebatang kara dan terlantar, dia merasa kasihan dan membawa anak ini ke pondoknya.
Pada saat sekarang, Thio Kam Ki berusia duapuluh tiga tahun. Dia memiliki tubuh sedang dan wajahnya tampan dan pasti akan menarik perhatian banyak wanita. Berbeda dengan Sie Bun Sam suhengnya (kakak seperguruannya) yang sederhana, sebaliknya Thio Kam Ki ini sejak kecil suka akan kemewahan. Dia suka iri hati dan pandai mengambil hati dengan sikap yang manis buatan. Karena sifat-sifat ini maka Leng-hong Hoatsu lebih sayang kepada Sie Bun Sam dan dia mengajarkan lebih banyak ilmu kepada murid pertamanya itu. Diam-diam Thio Kam Ki tahu ini dan dia merasa iri hati kepada suhengnya.
Tanpa setahu guru dan suhengnya, diam-diam ketika dia berusia duapuluh tahun, dia berguru kepada seorang pendeta aliran sesat yang juga bertapa di Pegunungan Himalaya, tidak begitu jauh dari tempat pertapaan Leng-hong Hoatsu. Dengan jalan sembunyi-sembunyi, selama dua tahun Thio Kam Ki mempelajari beberapa ilmu silat dan sihir yang sesat dari pertapa aliran sesat itu.
Pendeta itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin yang mengajarkan ilmu sihir aliran sesat yang biasa disebut sihir hitam. Setelah menjadi guru secara rahasia dari Thio Kam Ki selama dua tahun, Hwa Hwa Cinjin meninggalkan tempat pertapaannya di Himalaya. Hal ini terjadi setahun yang lalu dan ketika itu Kam Ki berusia duapuluh dua tahun.
Kam Ki kini merasa bahwa dirinya sudah memiliki ilmu yang amat tangguh. Biarpun tadinya dia merasa iri hati kepada Sie Bun Sam karena guru mereka, Leng-hong Hoatsu mengajarkan ilmu yang lebih banyak kepada suhengnya itu, namun setelah selama dua tahun menimba ilmu dari Hwa Hwa Cinjin, Kam Ki merasa bahwa kini dia tidak akan kalah oleh suhengnya.
Pada suatu sore, seperti biasa setelah menyelesaikan semua tugas pekerjaan mereka seperti membersihkan rumah dan pekarangan tempat tinggal guru mereka, mengumpulkan dan memotongi kayu bakar, mengangkut air dari sumber dan memenuhi semua kolam kamar mandi, mempersiapkan makan malam untuk Leng-hong Hoatsu dan mereka sendiri, kedua orang kakak beradik seperguruan itu berada di kebun belakang pondok guru mereka. Biasanya, sebelum mereka mandi, mereka akan lebih dulu berlatih silat untuk menyegarkan tubuh. Bun Sam sudah duduk di atas bangku di kebun itu ketika sutenya, Kam Ki, datang menghampirinya.
“Suheng !” Kam Ki menegur sambil tersenyum akrab.
“Eh, sute. Apakah engkau sudah membersihkan kamar samadhi suhu? Hari ini giliranmu membersihkannya, ingat?”
Sambil tersenyum lebar Kam Ki berkata, “Jangan khawatir, suheng! Tentu saja aku ingat dan aku sudah membersihkannya dengan rapi!”
“Bagus! Eh, sute, sudah beberapa lama ini aku sering melihat engkau malam-malam meninggalkan pondok. Pergi ke mana saja sih engkau?” “Ah, aku mencari tempat yang sunyi untuk berlatih dengan tekun, suheng. Juga aku perlu tempat sunyi dan dingin untuk menghimpun hawa murni dan memperkuat tenaga sakti. Selama ini aku memperoleh banyak kemajuan, suheng. Maukah engkau melayani aku berlatih sore ini? Hitung-hitung engkau memberi petunjuk kepadaku agar aku dapat memperbaiki kekuranganku.”
Bun Sam tersenyum. Memang sudah lama sekali dia tidak pernah latihan ber-sama sutenya ini karena dahulu, kalau mereka berdua latihan, tingkat kepandaian adik seperguruannya ini masih jauh di bawahnya. Sekarangpun dia merasa yakin bahwa sutenya ini bukan lawan seimbang. Akan tetapi untuk menyenangkan hati sutenya, dia mengangguk.
“Baiklah, sute. Mari kita latihan bersama.”