Siong Li lalu berkata kepada ketua pertama gerombolan itu.
“Toa-liong, di pihakmu, dua orang telah kami kalahkan, berarti pihakmu telah kalah dan pertandingan ketiga tidak perlu diadakan lagi. Andaikata engkau menang sekalipun, tetap saja pihakmu menderita kalah, dua lawan satu.” Siong Li memang ingin mencegah Bwee Hwa bertempur mengingat akan keganasan gadis itu.
“Hemm, tidak bisa begitu!” kata Toa-liong dengan suaranya yang berat dan parau. “Aku harus bertanding dengan nona ini, dengan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah). Kalau aku kalah, ha-ha-ha!” Dia tertawa, seolah merasa geli mendengar dia akan kalah melawan gadis muda yang tampaknya masih remaja itu. “Kalau aku kalah, tentu saja kami akan menceritakan apa yang kami ketahui tentang Pek-lian- kauw menurut perjanjian. Akan tetapi kalau aku menang……” Dia menghentikan kata-katanya. “Kalau engkau menang, tetap saja pihakmu kalah!” kata Ui Kong.
“Tidak bisa!” bantah Toa-liong. “Kalau dalam pertandingan antara aku dan Si Tawon Merah ini aku yang menang, maka aku akan menantang kalian berdua agar maju satu demi satu melawanku. Kalau aku dapat mengalahkan kalian berdua pula, berarti pihakku yang menang dan akulah yang berhak menentukan apa yang selanjutnya kita lakukan!”
“Baik, kami terima aturan itu. Sudah, jangan banyak cakap lagi, mari kita bertanding!” bentak Bwee Hwa.
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Ang-hong-cu,” kata Toa-liong yang agaknya memang sengaja hendak memancing kemarahan tiga orang pendekar itu karena kemarahan membuat orang menjadi lengah. Ketua pertama ini memang seorang yang licik dan banyak pengalaman karena dalam usianya yang sudah limapuluh lima tahun sudah banyak dia malang melintang di dunia kang-ouw (sungai telaga, persilatan). “Aku belum menjelaskan, Ang-hong-cu. Kalau aku yang dapat mengalahkan kalian bertiga satu demi satu, maka kalian bertiga harus menerima hukuman karena kalian bertiga sudah berani merobohkan belasan orang anak buahku. It-kak-liong dan Pendekar Ki-lok ini harus berlutut minta maaf kepada kami, menyerahkan kuda dan barang-barang kalian, sedangkan engkau, Ang-hong-cu, engkau harus menjadi tamuku selama tiga hari tiga malam, ha-ha-ha!”
Merah wajah Bwee Hwa mendengar ucapan yang bukan saja amat sombong, akan tetapi juga menghinanya karena sudah jelas bahwa dalam ucapannya yang mengharuskan ia menjadi tamu selama tiga hari tiga malam itu mengandung maksud yang kotor dan rendah!
“Jahanam keparat engkau, Toa-liong! Tutup mulutmu yang busuk dan mari kita mulai bertanding!” bentak Bwee Hwa dan tidak seperti dua orang temannya yang tadi bersikap tenang dan sabar, gadis ini sudah mencabut pedang pusaka Sin-hong-kiam dan begitu dicabut, saking cepat dan kuatnya, pedang yang berada di tangannya itu tergetar dan mengeluarkan suara berdengung seperti tawon terbang!
“Ingat, Hwa-moi, jangan bunuh orang!” kata Siong Li.
Tanpa menoleh kepada Siong Li, Bwee Hwa menjawab pendek dan ketus. “Anjing ini tidak perlu dibunuh, hanya harus diberi hajaran agar mulutnya tidak menggonggong terus!”
Siong Li menghela napas panjang dan saling pandang dengan Ui Kong. Tanpa bicara kedua orang pendekar ini sudah sepakat, yaitu, bahwa mereka akan menjaga dan mencegah kalau Bwee Hwa akan membunuh Toa-liong. Terbunuhnya ketua Kiu-liong-pang itu mungkin saja akan membuat dua orang ketua lainnya menutup mulut dan tidak mau bercerita tentang Pek-lian-kauw.
Sementara itu, melihat Bwee Hwa bermuka merah dan sikapnya menunjukkan bahwa gadis itu marah besar, Toa-liong tertawa. Itulah yang dia kehendaki. Memang ketua ini terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah seorang lawan yang hanya seorang gadis muda remaja. Apalagi yang dalam keadaan marah seperti itu, tentu akan mudah dia kalahkan. Diapun menghunus sebatang pedang yang panjang dan besar lagi tajam berkilauan.
“Lihat serangan pedangku!” Bwee Hwa membentak dan ia yang mendahului mengirim serangan kilat. Pedangnya membentuk sinar yang panjang dan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung. Toa-liong terkejut juga, akan tetapi dia juga sudah menggerakkan pedangnya yang panjang dan berat, menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk mematahkan pedang lawan atau setidaknya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dari pegangannya.
“Tranggg……!” Bunga api berpijar, akan tetapi dengan kaget Toa-liong melihat betapa pedang lawan itu tidak terlepas, bahkan pedang yang kecil dibandingkan pedangnya yang panjang besar itu demikian kuatnya sehingga membuat telapak tangannya yang memegang gagang pedang tergetar dan panas ketika pedang mereka saling beradu.
Setelah Toa-liong membalas serangan Bwee Hwa dan, mencoba untuk mendesak gadis itu, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis Bwee Hwa, ketua pertama Kiu-liong-pang itu menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi kini diapun tidak berani meremehkan lawannya lagi, maklum bahwa gadis itu ternyata memang lihai bukan main.
Lenyaplah gairah berahinya, kalau tadinya dia hendak menundukkan gadis itu dengan ilmu pedangnya dan tidak ingin melukainya karena dia ingin mendapatkan gadis yang cantik denok itu, kini mulailah dia menyerang dengan sepenuh tenaganya dan mengeluarkan semua jurusnya yang paling ampuh. Kini dia bermaksud merobohkan gadis itu, tidak perduli bahwa pedangnya akan dapat mendatangkan luka parah. Kalau perlu dia akan membunuh gadis yang berbahaya itu.
Bwee Hwa juga merasakan betapa lawannya kini mengamuk dengan sekuat tenaga. Iapun mengimbangi ilmu pedang lawan yang cukup berbahaya itu dengan Ilmu Pedang Tawon Sakti. Karena maklum bahwa ilmu pedang Toa-liong itu jauh lebih berbahaya dibandingkan kedua orang ketua yang lain, maka Bwee Hwa juga mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan pedangnya dengan cepat. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan terdengarlah bunyi berdengung-dengung seperti ada ratusan ekor tawon yang beterbangan dan menyambar ke arah Toa-liong.
Pertandingan antara Toa-liong dan Bwee Hwa ini paling seru dan ramai di antara pertandingan melawan dua orang ketua yang lain tadi. Toa-liong memang lebih lihai dibandingkan kedua orang rekannya. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Si Tawon Merah yang amat lihai. Setelah mati-matian melawan sampai tigapuluh jurus lebih, perlahan-lahan Bwee Hwa mulai dapat mendesak lawannya.
Toa-liong menjadi semakin penasaran. Sukar baginya untuk dapat percaya bahwa gadis muda yang tampaknya masih remaja ini mampu mendesaknya! Dia, ketua Kiu-liong-pang yang ditakuti, yang telah berusia limapuluh lima tahun dan sudah tigapuluh tahun malang melintang di dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman, kini harus kalah melawan seorang perempuan, masih muda remaja lagi, masih hijau dan patutnya hanya menjadi muridnya atau anaknya?
Tiba-tiba Toa-liong mengeluarkan teriakan seperti seekor biruang marah dan tangan kirinya yang besar itu dengan telapak tangan terbuka mendorong ke arah dada Bwee Hwa, pada saat pedangnya untuk ke sekian kalinya beradu dengan pedang Bwee Hwa.
“Tranggg…… wuuuutttt……!!” Pukulan jarak jauh dengan tangan kiri yang mengandung sin-kang (tenaga dalam) kuat itu mendatangkan angin menyambar ke arah dada Bwee Hwa.
Gadis ini maklum akan kehebatan serangan tangan kiri itu. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. Bukannya mengelak, Bwee Hwa malah menyambut pukulan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan ilmu Liap-kang Pek-ko-jiu yang dapat mengeraskan tangan, juga yang mengandung tenaga dahsyat. “Dessss……!” Tangan Bwee Hwa yang lunak, mungil dan indah itu bertemu dengan telapak tangan Toa- liong dan akibatnya, Bwee Hwa terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Toa-liong terhuyung-huyung ke belakang. Selagi dia mengatur keseimbangan tubuhnya yang hampir jatuh terjengkang, Bwee Hwa sudah bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar. Toa-liong tidak mampu melindungi dirinya dengan baik.
“Srattt……!” Seperti kilat menyambar pedang itu berkelebat di depan muka Toa-liong. Begitu tajam ujung pedang Sin-hong-kiam dan begitu cepat gerakan tangan Bwee Hwa sehingga Toa-liong sendiri tidak menyadari apa yang telah terjadi dengannya.
Tiba-tiba saja kaki Bwee Hwa sudah menendang tangannya yang memegang pedang dan pedangnya terlepas dari tangan dan terlempar jauh, sedangkan semua orang memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Ada darah di kanan kiri mulutnya. Ketika merasakan perih-perih pada mulutnya, Toa-liong meraba mulutnya dan baru dia tahu bahwa mulutnya terluka ketika melihat tangannya berdarah. Tepi mulutnya, kanan kiri, telah terobek ujung pedang sehingga mulutnya bertambah lebar. Ketika dia hendak mengeluarkan suara, baru terasa betapa mulutnya perih dan nyeri dan dia lalu menutupi mulutnya dengan kedua tangan!
Siong Li dan Ui Kong terkejut, akan tetapi hati mereka lega ketika Toa-liong tidak roboh dan ternyata hanya luka ringan, ujung bibirnya kanan kiri dirobek ujung pedang!
Toa-liong memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya untuk mengeroyok. Akan tetapi tiga orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan pedang mereka sudah ditodongkan ke dada tiga orang ketua itu. Siong Li membentak kepada anak buah Kiu-liong-pang yang sudah mengepung tempat itu. Limapuluh orang lebih itu sudah mencabut senjata, siap mengeroyok!
“Semua mundur atau kami akan membunuh tiga orang pimpinan kalian kemudian membasmi kalian sampai tidak ada seorangpun dapat lolos!”
Gertakan ini manjur. Melihat betapa tiga orang pimpinan mereka sudah ditodong dan menyadari betapa lihainya tiga orang muda itu, para anak buah Kiu-liong-pang menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Mereka memandang ke arah tiga orang pimpinan mereka, tidak berani sembarangan bergerak.
“Kalian mundur semua! Tolol! Hayo mundur!” teriak Ji-liong dan Sam-liong karena Toa-liong tidak mampu bersuara dengan mulutnya yang robek itu. Mereka berdua merasa betapa ujung pedang yang menodong mereka itu telah menembus baju dan ujungnya yang runcing terasa menempel di kulit dada mereka. Karena maklum bahwa nyawa mereka terancam, maka mereka menjadi ketakutan dan cepat membentak para anak buah agar mundur. Mendengar bentakan dua orang pimpinan itu, puluhan anak buah Kiu-liong-pang segera mundur.
“Nah, Ji-liong dan Sam-liong, kalian telah kalah semua dan harus memenuhi janji. Karena Toa-liong tidak dapat bicara, maka kalian berdua harus mewakilinya. Cepat katakan di mana adanya Pek-bin Moko dan di mana pula cabang Pek-lian-kauw di daerah ini!” kata Siong Li.
“Sam-liong, engkau wakililah kami,” kata Ji-liong setelah memandang kepada Toa-liong dan ketua pertama ini masih menutupi mulutnya dengan kedua tangan, mengangguk. “Sesungguhnya kami tidak mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw dan tidak mengenal tokohnya yang berjuluk Pek-bin Moko,” kata Ji-liong.