Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 38

NIC

“Tranggg !!” Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu dan Ui Kong merasa betapa berat dan

kuatnya ruyung itu. Ternyata lawannya menjadi jauh lebih lihai setelah menggunakan senjata ruyungnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak menjadi gentar dan cepat dia mainkan pedangnya dengan Sin-liong-kiam-sut yang merupakan ilmu pedang tingkat tinggi. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar seolah seekor naga sakti yang melayang-layang di udara, menyambar-nyambar dengan cepatnya seperti kilat menyambar. Tubuh pemuda itupun lenyap, hanya kadang-kadang saja tampak kaki tangannya, selebihnya dia hanya seperti bayangan yang terbungkus gulungan sinar pedang.

Menghadapi ilmu pedang yang luar biasa dan jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmu silat ruyungnya sendiri yang hanya mengandalkan berat senjata ditambah tenaga dalamnya, Sam-liong menjadi bingung. Bagi pandang matanya, lawannya itu seolah berubah menjadi banyak orang yang mengeroyoknya dari empat penjuru!

Tiba-tiba Ui Kong membuat gerakan berputaran sehingga lawannya menjadi pening karena harus mencari dan menduga di mana adanya tubuh lawan dan pada saat Sam-liong kebingungan itu, Ui Kong berseru nyaring.

“Awas pedang!” Tahu-tahu ujung pedang Ui Kong sudah menempel di leher Sam-liong. Ketika Sam-liong hendak menggerakkan ruyungnya menangkis, tangan kiri Ui Kong bergerak memukul dengan bacokan pinggir tangan ke arah pergelangan tangan Sam-liong yang memegang ruyung.

“Dukk.......! Auhhh.......!” Sam-liong berteriak kesakitan dan ruyung itu terlepas dari tangan kanannya yang tiba-tiba terasa nyeri dan lumpuh. Sementara itu, ujung pedang di tangan Ui Kong masih menempel di lehernya.

Betapapun keras kepala dan hati Sam-liong, sekarang mau tidak mau dia harus mengaku kalah. Dia menghela napas panjang dan melangkah mundur. Ketika melihat betapa Ui Kong tidak mengejarnya, bahkan menarik kembali pedangnya dan memasukkan pedang ke sarung pedangnya, Sam-liong lalu kembali ke dekat dua orang rekannya.

Melihat betapa Sam-liong sudah kalah, Ji-liong yang merasa penasaran lalu melompat ke depan. Tingkat ilmu silatnya tentu saja lebih tinggi daripada tingkat Sam-liong dan orang yang bertubuh gemuk pendek bermata sipit dan berusia limapuluh dua tahun ini terkenal lihai sekali memainkan siang-to (sepasang golok). Sepasang goloknya itu tipis dan panjang, ringan dan tajam sekali.

Melihat kekalahan Sam-liong, Ji-liong berpikir cerdik. Dia tahu bahwa dia dan dua orang rekannya kurang pandai bersilat tangan kosong dan selalu mengandalkan senjata. Kalau dia harus bertanding tangan kosong, sukar baginya untuk menang. Akan tetapi kalau dia mengandalkan sepasang goloknya yang biasanya dia banggakan dan selama ini belum terkalahkan, hatinya menjadi besar dan banyak kemungkinan dia akan dapat mengalahkan lawannya.

“Nah, aku Ji-liong, ketua kedua Kiu-liong-pang sekarang maju. Seorang di antara kalian boleh maju menandingi aku!” katanya dan dia menggerakkan kedua tangannya ke punggung. Tampak dua sinar berkelebat dan kedua tangannya sudah memegang golok yang berkilau saking tajamnya.

Siong Li memandang kepada Bwee Hwa untuk menawarkan kalau-kalau Bwee Hwa ingin menandingi orang kedua dari Kiu-liong-pang ini agar nanti ketua pertamanya yang tentu paling lihai itu dia yang akan menandinginya. Akan tetapi Bwee Hwa yang marah terhadap Toa-liong, berkata, “Biar engkau saja yang menghadapinya, Li-ko.” Siong Li tersenyum. Dia sudah mengenal benar watak gadis yang berhati baja ini, maka dia berkata lirih, “Asal engkau ingat dan tidak sampai membunuh orang, Hwa-moi.”

“Aku tahu!” jawab Bwee Hwa singkat.

Siong Li lalu maju menghadapi Ji-liong dan dia melihat Toa-liong menyeringai, agaknya senang karena dia mendapatkan lawan Bwee Hwa! Akan tetapi Siong Li tidak memperdulikannya. Dia percaya penuh akan kemampuan gadis itu. Tidak jauh bedanya apakah dia yang maju melawan Toa-liong, ataukah Bwee Hwa. Hanya dia khawatir kalau-kalau Bwee Hwa tidak dapat menahan diri dan membunuh ketua Kiu- liong-pang itu. Setelah berhadapan dengan Ji-liong yang telah memegang kedua goloknya, disilangkan di depan dada, dia lalu mencabut pula pedangnya.

“Ji-liong, aku sudah siap. Mulai dan seranglah!” katanya menantang.

Ji-liong tidak bersikap sungkan lagi. Dia lalu mengambil sikap dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya yang sudah pendek itu menjadi lebih pendek lagi ketika dia menekuk kedua lututnya sehingga karena kedua kakinya memang pendek, pantatnya hampir menyentuh tanah. Kedua tangan digerakkan dan sepasang golok itu diputar di atas kepalanya, lalu berhenti bergerak dengan sepasang golok bersilang di depan, menunjuk ke atas.

Kemudian, dia mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya yang gendut pendek sehingga tampak bulat itu seolah menggelinding ke depan dan dia sudah menerjang Siong Li dengan sepasang goloknya melakukan serangan kilat. Golok tangan kiri membacok ke arah leher, disusul golok di tangan kanan membabat ke arah kaki lawan. Jurus serangan ini dalam Ilmu golok yang dikuasai Ji-liong disebut Siang- kwi-jio-beng (Sepasang Setan Berebut Nyawa)! Memang hebat dan berbahaya sekali. Serangan golok ke arah leher itu membuat perhatian lawan tertuju ke atas, tidak tahunya yang amat berbahaya adalah serangan susulan lain golok yang membabat ke arah kedua kaki!

Namun, Siong Li adalah seorang pendekar yang sudah berpengalaman dan sering bertanding melawan tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu silat yang ganas, curang dan penuh tipu muslihat. Karena itu, menghadapi Ji-liong dia sudah waspada. Maka, ketika serangan ke arah lehernya dilakukan lawan, dia tidak lengah dan dapat melihat gerakan kedua yang merupakan serangan susulan dan juga merupakan serangan inti. Maka, ketika golok menyambar ke arah lehernya, dengan tenang dia menangkis dengan pedangnya.

“Tranggg......!!” Ketika golok kedua membabat kaki, dia melompat dan sambil melompat itu, pedang yang tadi menangkis golok sudah dikelebatkan mengancam ke arah ubun-ubun kepala si pendek gendut!

“Hehh!” Ji-liong terkejut dan cepat melompat ke belakang. Lawan yang diserang dengan sepasang goloknya itu bukan hanya dapat menghindarkan diri, malah berbalik mengirim serangan balasan kontan yang tidak kalah dahsyatnya!

Ji-liong lalu menerjang lagi, memainkan sepasang goloknya dengan cepat dan kuat sekali. Tampak dua gulungan sinar golok menyambar-nyambar. Siong Li meimbangi sepasang golok lawan dengan Thai-san Kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Thai-san-pai) yang cepat dan indah gerakannya.

Dua orang itu lalu bertanding dan tampaknya memang ramai dan seru sekali. Gulungan sinar pedang beradu dan saling dorong, saling belit melawan dua gulungan sinar golok. Bagi para anak buah Kiu-liong- pang tampaknya pertandingan itu seru sekali dan mereka tidak tahu siapa yang lebih unggul di antara kedua orang itu. Akan tetapi, Toa-liong, Sam-liong, Bwee Hwa dan Ui Kong dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya, perlahan-lahan sinar pedang itu mulai mendesak dan menindih dua sinar golok yang makin lama menjadi semakin sempit gulungan sinarnya. Sebaliknya sinar pedang itu semakin luas, menyambar-nyambar dengan dahsyat.

Ji-liong mulai menjadi bingung. Tadi dia masih dapat mengamuk dengan sepasang goloknya. Akan tetapi perlahan-lahan, gerakan sepasang goloknya selalu bertemu sinar pedang yang amat kuat dan selalu membuat sepasang goloknya terpental. Akhirnya, dia hanya mampu menangkis dengan kedua batang goloknya, hanya mampu memutar sepasang goloknya untuk melindungi dirinya dari ancaman pedang. Inipun tidak banyak menolong. Sinar pedang itu masih terus mengancamnya sehingga terpaksa dia harus mundur dan terus mundur karena terdesak dan tertekan.

Siong Li mendesak terus dengan pedangnya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk dapat melakukan hal itu, dia harus menyerang dengan jurus maut. Padahal dia tidak mau membuat Ji-liong terluka parah, apalagi sampai terbunuh. Dia mencari kesempatan baik untuk dapat mengalahkan pemimpin kedua dari Kiu-liong-pang itu tanpa harus melukai dengan parah.

Akhirnya, kesempatan yang dinanti-nantikan itu tiba. Ketika dia menyerang dengan bacokan pedangnya dan ditangkis oleh golok di tangan kiri Ji-liong, dia sengaja mengerahkan seluruh tenaga pada bacokan itu.

“Trangggg……!” Ji-liong terkejut dan tidak dapat mempertahankan goloknya yang sebelah kiri. Ketika dia menangkis pedang itu, dan goloknya beradu dengan kuatnya dengan pedang, dia merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat dan jari-jari tangannya tidak mampu lagi menahan pegangan goloknya. Golok yang kiri itu terlempar jauh dan pada saat dia terkejut sekali, tiba-tiba kaki Siong Li mencuat dengan amat kuatnya, tepat menendang tangan kanannya yang memegang golok. Rasa nyeri yang hebat membuat tangan itu terpaksa melepaskan golok kedua itu dan tiba-tiba ujung pedang di tangan Siong Li telah menodong dadanya!

Si gemuk pendek ini tak mampu berbuat atau berkata sesuatu. Matanya menjadi semakin sipit seperti terpejam dan mulutnya menyeringai, tersenyum masam. Lenyap semua kesombongannya dan dia hanya dapat berha-ha-ha-he-he lalu mundur mendekati dua orang rekannya. Siong Li juga tidak mengejar dan menyimpan kembali pedangnya.

Posting Komentar